Malam sudah beranjak remaja,
ketika Elf minibus memboyong kami berlima belas menuju ke ujung paling barat pulau
jawa. Tidak banyak aktifitas selama dalam perjalanan, selain suara sayup-sayup tiga
orang gadis Amerika Latin ngobrol dengan bahasa espanyola, sementara yang
lainnya sibuk memperbaiki posisi duduk mencari posisi ternyaman dan memaksa diri
untuk tidur. Dua jam sebelum sampai ke titik tujuan “Taman Jaya”, goncangan Elf
memaksa seluruh penumpang untuk bangun, seakan mengajak kami ikut menikmati goyangan ombak di sisi kanan jalan dan bersuka
cita menyambut matahari pagi yang terbit memerah di ufuk timur. Perjalanan
selama delapan jam dari Jakarta ke Taman Jaya serasa hanya seperti kilatan
cahaya, setelah berdiri di dermaga memandangi hamparan laut membiru dan
segerombolan burung pipit menyambar-nyambar membelah-belah pantai.
Selanjutnya, boat kayu mengangkut kami selama tiga jam dari Taman Jaya menuju destinasi pertama “Pulau Peucang”. Mabok laut yang selalu identik dengan boat kayu tidaklah sepenuhnya benar. Saat itu, Tuhan sedang memanjakan kami dengan surga dunia di ujung paling barat pulau Jawa, di atas boat kayu sederhana itu, menyusuri pinggiran hijaunya hutan Ujung Kulon dan putihnya pasir pantai yang menyerupai garis gradasi hijau putih hijau biru.
Itu belum seberapa ternyata,
Pantai Peucang jauh lebih indah dibanding apapun yang kami saksikan disepanjang
perjalanan sebelumnya. Tak ada yang menghuni Pulau Peucang selain binatang
marga satwa dan petugas Dinas Kehutanan yang mengelolah penginapan dan taman
nasional tersebut. Sesampai di penginapan, kami disambut hal yang tidak biasa, babi
hutan yang dikenal sangat pemalu malah mengerumuni kami, mengendus-endus
seperti ingin mencium, monyet-monyet lalu lalang, biawak tidak segan-segan
melintas di depan kami, sementara rusa dan kijang asik saja menyelesaikan
santap siangnya.
======
Ada yang salah dengan kebiasaan
binatang-binatang ini. Hewan selayaknya berkeliaran dan berinteraksi di hutan serta
mencari makanannya sendiri. Di Peucang, yang sudah mulai dikunjungi banyak
orang, sebagian hewan-hewannya malah kehilangan insting memburu dan mencari
makan sendiri, mereka menjadi manja dan bergantung pada pengunjung yang sering
memberinya makanan. Kata guide kami, yang menghawatirkan adalah bayi-bayi babi
dan monyet itu, mereka benar-benar sangat pemalas, tidak punya inisiatif
mencari makan, jika tidak ada yang memberinya makan atau tidak ada pengunjung yang
datang, kerjaan mereka hanya tidur-tiduran saja. Ini disebabkan karena mereka
sedari kecil sudah tinggal disekitaran penginapan itu dan tidak pernah kembali
ke dalam hutan. Saya mulai memaklumi, akses menuju taman jaya yang sangat sulit
biarlah seperti itu adanya. Sekali akses ke tempat itu membaik, entah apa yang
akan terjadi dengan binatang-binatang itu, ekosistemnya tentu akan semakin
terganggu.
=====
Peristiwa alam yang satu ini saya kira adalah yang paling berkesan selama berada di Peucang. Matahari sedang bersiap-siap tenggelam di ufuk barat saat gerimis mulai membasahi bumi Peucang. Sinar matahari yang menghujam titik-titik air hujan menghasilkan perpaduan warna yang sungguh sempurna, melengkung tepat di depan kami, di atas laut menghubungkan Pulau Peucang dan Ujung Kulon. Belum pernah saya menyaksikan pelangi sesempurna dan sedekat itu. Ingin rasanya menggenggamnya dan membawanya pulang. What a perfect rainbow! Di tambah lagi keindahan pinggir pantai peucang melebih kecantikan gadis-gadis perawan tercantik dalam dongeng-dongeng ataupun deskripsi kecantikan Rengganis dalam buku Cantik itu Luka. Dan akhirnya saya tidak mampu menahan hasrat mengunggah foto-foto ini.
Mejeng dulu |
Bersama Ketua Rombongan |
Pelangi Peucang |
Foto Geje di Peucang |
===
Selain pantainya, Peucang juga di
kenal dengan karang copongnya yang eksotis. Diperlukan waktu sejam dari
penginapan untuk menikmati sunset di atas karang copong.
Karang Copong |
Di seberang Peucang, jika
beruntung kita juga bisa menyaksikan binatang-binatang di pagi atau sore hari
sebelum mereka masuk ke hutan. Sayang saat itu kami kesiangan karena harus
menunggu Fitri yang bangunnya paling siang (hahaha) dan mengisi kampung tengah
yang tidak mau berkompromi. Sesampai di Savana Cidaon, saya masih berkesempatan
melihat punggung beberapa burung merak dan gerombolan banteng yang terburu-buru
masuk ke hutan setelah melihat kami berdatangan. Manusia ini memang senang
mengganggu ya teng yahhh? Kalian tak berbuat apa-apa, tapi kami malah seenaknya
menganggu sarapan pagimu. Tidak berhasil bertemu hewan-hewan itu, kami disibukkan
dengan berfoto narsis ria norak khas indonesia. Tiga cewek amerika latino hanya
tertegun melihat kami, entah apa yang ada di benak mereka, dan akhirnya kami
paksa ikutan berfoto geje.
Dermaga Cidaon |
Foto gaya K-Pop |
another geje photo |
Waktu berjalan sangat cepat, sudah siang dan kami harus balik ke Taman Jaya. Tapi kami menyempatkan diri berkano ria mengelilingi pulau cigenter terlebih dahulu. Cigenter tidak jauh dari Handeleum. Ah banyak sekali pulau di sana, jauh melebihi hasil risetku di om google sebelum ke sana. Eksplorasi Cigender juga menyisakan kenangan yang manis. Sepanjang perjalanan di atas kano, tak hentinya kami bernyanyi lagu apapun termasuk menyelesaikan upacara pengibaran bendera sarung balinya Ribka dengan pelaksana upacara yang almost crazy.
Pulau Hendeleum mendadak berpenghuni |
Formasi Lengkap |
Berkano happy |
Kanoing di Cigenter dan Upacara Selesai |
Perjalan kamipun semakin bernas saat
menantang ombak yang tinggi dalam perjalanan pulang ke Taman Jaya. Saya merasa
mendapatkan kekuatan waktu itu. Tak ada ketakutan, saya hanya memasang baju
pelampung karena memang tidak tahu berenang. Selebihnya, terpukau dengan
kebesaran Tuhan.
Saya pun mulai memahami, kenapa
orang-orang yang senang melakukan perjalanan keliling indonesia ketagihan dan
tak bisa berhenti. Negeri ini memang di anugerahi keindahan alam disertai
dengan kultur yang sangat beragam. Tak perlu jauh-jauh ke Hawai, Thailand, atau
ke Tibet. Toh kita memiliki semuanya di sini, di negeri ini. Kita hanya perlu
melestarikannya, bukan hanya keindahan alamnya, tapi juga kulturnya. Pulau
Peucang dan tempat lainnya jangan sampai di sulap menjadi seperti Bali. Cukup bali
saja yang menerima perlakuan over dosis eksploitasi sehingga kultur yang mereka
lestarikan lebih untuk memuaskan hasrat para pelancong yang
berkunjung ke sana.
Karena hakikatnya, kebudayaan
bukan untuk dipertontonkan tetapi untuk dipahami nilai-nilainya, alam sepatutnya
dijaga dan dilestarikan bukan untuk dieksplotasi demi memenuhi pundi-pundi para
investor.
========
Foto was taken by Diah, Ginta, Anggi, Khalis, dan Rimbi
mbak niar tulisannya bagus.. :D
BalasHapusSepakat mba, biarlah pulau perawan itu tetap perawan ya, biar lautnya tetap bening kebiruan, hutannya tetap hijau, dan binatang2 penghuni asli tetap dapat mencari makan dg damai..
Aduuuuh duh duh, saya ketinggalan sendiri buat posting di blog :(
BalasHapus