Kami ingin Anda memutarnya, membicarakannya, menyebarkannya kepada
teman-teman di seluruh pelosok Nusantara. Kami bekerjasama selama tujuh tahun
untuk membuka sebuah ruang agar masalah ini bisa dibicarakan tanpa rasa takut,
dengan harapan bahwa hal ini dapat membantu Anda semua memperjuangkan
kebenaran, rekonsiliasi, dan keadilan--Joshua Oppenheimer.
Saya kira, Ini merupakan hadiah
paling berharga bagi bangsa ini, dan
mungkin akan mengguncang Indonesia, tepat sehari setelah sebagian orang--yang terus
menutup mata terhadap kebenaran sejarah-- memperingati hari yang mereka sebut hari
Penghianatan G 30 S/PKI. Ironisnya, hadiah ini didedikasikan oleh seorang sutradara
asal Amerika, Joshua Oppenheimer, yang menghabiskan waktunya selama tujuh tahun (2005-2012)
di Medan Sumatera Utara untuk sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing/ Jagal.
Setahun sebelumnya, majalah Tempo
menerbitkan Edisi khusus berisi pengakuan para algojo-algojo peristiwa 1965 yang
merupakan pengembangan dari The Act of
Killing. Sayangnya, tidak banyak orang yang bisa mengaksesnya, seperti
ditelan bumi, majalah edisi oktober 2012 tersebut tetiba menghilang dari
peredaran dunia real. Mungkin masih ada pihak yang belum rela membuka fakta
sebenarnya, terkait apa sebenarnya yang terjadi di tahun-tahun paling berdarah di
negeri ini, saat-saat dimana setengah juta orang dibunuh dan dihilangkan secara kejam.
Tapi waktu berlahan akan mengungkap segalanya, arwah orang-orang tak bersalah
itu akan terus bergentayangan menghantui dan menjadi mimpi buruk bagi para
pembantainya, bagi para penguasa yang ditutup mata batinnya akan kebenaran
sejarah.
Jagal sejak setahun lalu telah
menuai banyak penghargaan di dunia internasional, sementara di Indonesia
sendiri, tempat dimana persitiwa tersebut terjadi, tidak mudah untuk diakses,
jika tidak dikatakan terlarang. Ada beberapa lembaga yang berani memutar dan
mendiskusikannya, tetapi tidak banyak dan tertutup, takut diserang kelompok-kelompok
tertentu. Sejak pertama kali di putar pada Toronto International Film Festival 2012, sampai
saat ini The Act of Killing telah memenangkan banyak penghargaan internasional,
antara lain Panorama Audience Award dan Prize of the Ecumenical Jury dari
Berlin International Film Festival 2013, Robert Award dari Film Academy of
Denmark, Bodil Awards dari Asosiasi Kritikus Film Nasional Denmark, Penghargaan
Aung San Suu Kyi pada Festival Film Internasional Hak Azasi dan Martabat Manusia
2013 Yangon Myanmar, Grand Prize pada Biogra film Festival 2013 di Bologna
Italia, penghargaan Golden Chair dari Grimstad Short and Documentary Film
Festival 2013 di Norwegia, dan Basil Wright Prize dari Royal Anthropological
Institute Film Festival 2013 di Edinburgh Skotlandia. Bahkan, Situs agregator ulasan
Rotten Tomatoes memberikan penilaian positif 97% dengan
nilai rata-rata 8.8/10 berdasarkan 104 ulasan. Konsensusnya adalah,
"Keras, mengerikan, dan sangat sulit untuk ditonton. The Act of Killing
adalah bukti menakutkan dari kekuatan film dokumenter yang mendidik dan
frontal.
Meskipun terlambat, tepat di tanggal 1 Oktober 2013, Oppenheimer, mempersilahkan seluruh penduduk indonesia untuk menyaksikan secara langsung pengakuan algojo-algojo tersebut, The Act of Killing dapat diunduh secara gratis, segratis kau menghembuskan gas dari perutmu! Semoga situs-situs tersebut tidak berakhir naas seperti nasib majalah tempo setahun sebelumnya, terblokir, dan menghilang dari peredaran dunia maya.
Awalnya saya membayangkan film
Jagal ini akan sesadis dan semengerikan film penghianatan G 30 S PKI yang telah
dicekokkan kepada kita selama tiga dekade lamanya. Film itu terlalu
kejam dan meninggalkan trauma yang mendalam bagi saya pribadi. Sewaktu kecil, sambil
menonton tak hentinya saya menangis menyaksikan irma anaknya Jenderal Nasution
kehilangan seluruh anggota keluarganya, karena waktu itu saya seumuran dengan
irma, saya bisa merasakan penderitaannya. Hingga akhirnya, pada saat kuliah, saya
mulai mengetahui bahwa film itu merupakan propaganda yang diciptakan oleh rezim Soeharto
untuk membusuki komunis.
Prediksi saya tentang Jagal
sepenuhnya salah. Film ini malah memiliki selera humor yang elegan dan tak
terduga, meskipun ke belakang berjalan merambat semakin sepi. Saya mencatat (in
my opinion as a sotoy viewer), ada beberapa poin yang ingin ditonjolkan oleh
Oppenheimer, pertama pengakuan narasumber utamanya si tukang jagal Anwar Congo, kedua organisasi paramiliter yang berperan banyak dalam sejarah pemerintahan
indonesia termasuk dalam pembantaian komunis 1965, ketiga fakta bahwa sesungguhnya
yang paling keji dari peristiwa 1965 adalah pembantaian terhadap sekitar
setengah juta komunis dan tionghoa (jumlah korban sesungguhnya hampir tak
mungkin untuk diketahui karena terjadi di rezim dimana begitu banyak kegiatan
yang dilarang).
Film yang disutradarai oleh
lulusan summa cum laude filmmaking di universitas Harvard ini, berbeda dari
film dokumenter pada umumnya. Narasumbernya (algojo-algojo) dipersilahkan bebas
membuat filmnya sendiri, mereka ulang masa-masa pembantaian itu dengan
properti-properti yang tidak begitu canggih, dan membuat dialognya sendiri. Anwar
dipersilahkan memanggil orang-orang yang dianggapnya bisa memerankan ulang
peristiwa pembantaian tersebut. Maka dia libatkanlah Herman Koto dan beberapa
preman yang juga merupakan anggota organisasi
kepemudaan yang membawahinya. Selain itu, Anwar Congo juga melibatkan teman
seperjuangannya dalam pembantaian 48 tahun silam Adi Zulkadri. Adi Zulkadri
inilah yang selanjutnya menjadi tokoh pencerah dalam film ini, karena tak ada
narasi atau sedikitpun pendapat dari sang sutradara Oppenheimer terkait
pembantain tersebut. Pantaslah jika para pengamat film menganggap bahwa alih-alih
menjawab bertanyaan, film ini malah lebih banyak menyuguhkan pertanyaan, yang
selanjutnya membuka ruang bagi penonton untuk mencari tahu dan mendiskusikan
apa yang sebenarnya terjadi dibalik pembantaian 1965 itu.
Di awal-awal, Anwar Congo mengajak Oppenheimer mengunjungi tempat-tempat pembantaian pada tahun 1965 itu, dan
menjelaskan dengan pongah dan sangat bahagia atau tepatnya sangat lugu, pembantaian
yang dilakukannya. Katanya, karena bau darah itu amis dan lama hilangnya, maka
dia memakai cara pembunuhan yang baru pada saat itu, setidaknya di Medan mungkin
(cara pembunuhan seperti itu sering dia tonton dari film-film hollywood
di bioskop tempat mangkalnya sambil mencatut karcis-karcis penonton), yaitu
dengan mengikatkan salah satu ujung kawat di tiang dan melilitkannya dileher
korbannya, lalu menarik ujung kawat yang satunya sekuat tenaga, pembunuhan
seperti itu menurutnya paling efektif karena membunuh secara berlahan tanpa
darah dan erangan. Agar bisa menikmati pembantaian itu, Anwar meminum sedikit
alkohol dan marijuana, lalu sambil berjoget chacha dia membantai korbannya. Anwar
tidak mampu mengingat berapa orang yang telah dia jagal. Menurut pengakuan pemilik salah satu koran di Medan yang juga tahu banyak soal pembantaian 1965 dan bertugas mempropogandakan kebusukan komunis melalui korannya, dia tidak bisa mengingat satu persatu para penjagal itu, karena ada ratusan orang yang melakukannya. Anwar dan organisasi
Pemuda yang membawahinya menganggap bahwa pembantaian yang dilakukannya adalah
perbuatan patriotik, pembantaian itu adalah titah Tuhan, yang mereka pahami
waktu itu Tuhan benci PKI!
Selain Anwar sebagai tokoh utama,
ada beberapa orang yang sering muncul sebagai pemeran pembantu atas film yang
mereka akan buat. Oppenheimer sering merekam pembicaraan antara Anwar Congo dan
Herman Koto. Herman Koto inilah yang memiliki peran penting dalam membuat film ini menjadi jenaka. Perawakannya yang gempal, bermata sipit, dan sering mendapat peran sebagai perempuan (gerwani) dengan dandanan menor dan sekseh (uyee), menjadikan film ini lebih cair dan lucu. Mereka berdua dan orang-orang yang terlibat dalam film tersebut sampai akhir
film terus menganggap bahwa mereka akan membuat film spektakuler bercerita
tentang jasa yang mereka lakukan menyelamatkan bangsa dari komunis. Mereka bereskpektasi
akan menjadi bintang film yang terkenal (apa coba kalau bukan lugu namanya?). Kecuali
adi Zulkadri yang dengan sangat berapi-api, menyampaikan ke teman-temannya bahwa
dia meyakini film tersebut akan menjadi titik balik bagi sejarah bangsa Indonesia.
Kalau sukses kita bikin ini film, bahwa yang kejam itu kita, bukan G 30 SPKI. Ini bukan soal kesangsian, sudah 40 tahun lewat juga kok. Ini masalah image dalam hati masyarakat, ternyata benar dugaanku dulu, gak mungkin PKI begitu, nyatanya mereka (para pembantai) lebih sadis dan kejam. Ini bukan untuk kita, tapi untuk satu sejarah, penilaian suatu sejarah berbalik, bukan 180 , tapi 360 derajat. Tidak semua kejujuran bisa menjadi konsumsi publik, saya percaya Tuhanpun punya rahasia, kita sadar sekali kitapun sangat kejam.
Saat Adi ditanyai oleh Oppenheimer soal konvensi Jenewa yang menganggap pembantaian komunis tahun 1965 adalah kejahatan perang. Adi menjawab belum tentu kita sependapat dengan kesepakatan internasional itu, Bush waktu kuasa, Guantanamau benar, Saddam Husain waktu berkuasa, bikin senjata pembunuh massal, itu kebenarannya Bush dan Saddam Husain, sekarang kebenaran itu ternyata tidak benar. jadi bisa jadi kebenaran konfensi jenewa tidak benar, besok ada konvensi Jakarta, Jenewa kita buang. Defenisi kejahatan perang adalah buatan para pemenang, saya pemenang, saya mesti bikin defenisi sendiri, saya tidak perlu ikut defenisi secara internasional.
Tapi pak, bagi jutaan orang yang anggota keluarganya dibunuh, bagi mereka kan jika pembunuhan itu diungkapkan itu baik?
Ya silahkan, pembunuhan pertama itu habil dan kabil, kenapa hanya soal PKI yang direpoti? orang amerika membunuh orang indian diadili gak? adili dong!
Bagaimana kalau bapak di bawa ke Denhag untuk diadili di pengadilan Internasional?
Oh saya siap, kenapa, padahal saya tidak merasa bersalah, kenapa saya siap, waah saya jadi terkenal dong, hahah, padahal saya bukan siapa-siapa. saya siap, tolong di buat itu supaya saya dipanggil sama konvensi Jenewa.
Adi tak pernah mengakui merasa bersalah (dalam hati siapa yang tahu), dia berpendapat bahwa yang dia lakukan adalah proses sejarah yang tidak bisa dia hindari, rezim pada waktu itu yang membuatnya melakukan serangkaian pembantaian itu.
Kalau sukses kita bikin ini film, bahwa yang kejam itu kita, bukan G 30 SPKI. Ini bukan soal kesangsian, sudah 40 tahun lewat juga kok. Ini masalah image dalam hati masyarakat, ternyata benar dugaanku dulu, gak mungkin PKI begitu, nyatanya mereka (para pembantai) lebih sadis dan kejam. Ini bukan untuk kita, tapi untuk satu sejarah, penilaian suatu sejarah berbalik, bukan 180 , tapi 360 derajat. Tidak semua kejujuran bisa menjadi konsumsi publik, saya percaya Tuhanpun punya rahasia, kita sadar sekali kitapun sangat kejam.
Saat Adi ditanyai oleh Oppenheimer soal konvensi Jenewa yang menganggap pembantaian komunis tahun 1965 adalah kejahatan perang. Adi menjawab belum tentu kita sependapat dengan kesepakatan internasional itu, Bush waktu kuasa, Guantanamau benar, Saddam Husain waktu berkuasa, bikin senjata pembunuh massal, itu kebenarannya Bush dan Saddam Husain, sekarang kebenaran itu ternyata tidak benar. jadi bisa jadi kebenaran konfensi jenewa tidak benar, besok ada konvensi Jakarta, Jenewa kita buang. Defenisi kejahatan perang adalah buatan para pemenang, saya pemenang, saya mesti bikin defenisi sendiri, saya tidak perlu ikut defenisi secara internasional.
Tapi pak, bagi jutaan orang yang anggota keluarganya dibunuh, bagi mereka kan jika pembunuhan itu diungkapkan itu baik?
Ya silahkan, pembunuhan pertama itu habil dan kabil, kenapa hanya soal PKI yang direpoti? orang amerika membunuh orang indian diadili gak? adili dong!
Bagaimana kalau bapak di bawa ke Denhag untuk diadili di pengadilan Internasional?
Oh saya siap, kenapa, padahal saya tidak merasa bersalah, kenapa saya siap, waah saya jadi terkenal dong, hahah, padahal saya bukan siapa-siapa. saya siap, tolong di buat itu supaya saya dipanggil sama konvensi Jenewa.
Adi tak pernah mengakui merasa bersalah (dalam hati siapa yang tahu), dia berpendapat bahwa yang dia lakukan adalah proses sejarah yang tidak bisa dia hindari, rezim pada waktu itu yang membuatnya melakukan serangkaian pembantaian itu.
Sementara itu, Anwar Congo berlahan mulai
menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya menyakitkan banyak orang pada saat
dia berperan sebagai tokoh PKI yang disiksa dan dibunuh. Dia bahkan tidak mampu
mengulang adegan itu dan hanya menangis dan mematung. Dia bertanya kepada
Oppenheimer “apakah orang-orang yang
telah dia bunuh juga merasakan perasaan sakit dan ketakutan yang sama?”. “Yang mereka
rasakan jauh jauh jauuuuh lebih menakutkan dari apa yang anda rasakan bang Anwar”
jawab Oppenheimer. Anwar menangis tak mampu berkata-kata. Film ini ditutup
dengan kunjungan Anwar ke tempat dimana dia membantai tak terhitung orang,
muntah-muntah dan menangis.
Yang menggelitik dari film ini
adalah munculnya tokoh-tokoh terkenal seperti YK, SA, YA, SA dan banyak lainnya, sebagai bagian dari
organisasi kepemudaan yang selalu menjadi algojo pnguasa dari zaman orba
sampai sekarang. Organisasi tersebut jugalah yang memegang peran penting dalam
pembantaian 1965, organisasi kepemudaan tempat Anwar Congo, Herman Koto, dan
teman-teman premannya bernaung. Dalam satu adegan setelah memalak para pedagang
di pasar, para preman-preman tersebut kemudian berpakaian seragam loreng
mengikuti acara organisasi tersebut mendengarkan ketua umumnya YS berorasi
“semua kader organisasi tersebut adalah
pahlawan dari mulai memberantas komunisme, neokomunisme, ekstrim kiri, dan
hal-hal yang mengancam bangsa, bukan hanya tugas tentara dan polisi, pancasila
pancasila pancasila”.
Di pertemuan yang lain, YK dalam sambutannya dalam pertemuan organisasi tersebut berkata ”semangat yang ada dalam Pemuda pancasila yang
banyak orang katakan preman, preman itu adalah orang yang bekerja di luar,
bukan pemerintah. Berasal dari free man, karena itu free man dibutuhkan bangsa
indonesia. Kita butuh preman/swasta melaksanakan jalan. Kita butuh preman yang
berani mengambil resiko untuk berdagang. Pergunakan otot kita bukan untuk
berkelahi, walaupun berkelahi bukan hal yang tidak perlu”. Entah apa yang
dalam benak Yusuf Kalla saat itu.
Oppenheimer dengan menayangkan bagian-bagian tersebut seperti sedang mengajak kita membuka mata bahwa sesungguhnya
pemerintahan ini di topang oleh organisasi yang isinya adalah free man.
Dengan beredarnya The Art of
Killing secara bebas, sepertinya akan menjadi tonggak sejarah baru bagi bangsa
indonesia, karena semua orang akan bertanya, ada apa sebenarnya dibalik
pembantaian 1965. Betul, sudah begitu banyak buku yang mengulas hal ini. Tapi belum
ada satu orang pun di dunia ini selain Oppenheimer yang memiliki keberanian
membuatnya dalam sebuah film, tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling,
menerobos semua ketakutan yang bersarang selama puluhan tahun lamanya.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Jagal
http://www.tribunnews.com/seleb/2013/06/22/enam-penghargaan-diraih-film-jagalthe-act-of-killing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar