Rabu, 02 Oktober 2013

TAOK


Kami ingin Anda memutarnya, membicarakannya, menyebarkannya kepada teman-teman di seluruh pelosok Nusantara. Kami bekerjasama selama tujuh tahun untuk membuka sebuah ruang agar masalah ini bisa dibicarakan tanpa rasa takut, dengan harapan bahwa hal ini dapat membantu Anda semua memperjuangkan kebenaran, rekonsiliasi, dan keadilan--Joshua Oppenheimer.

Saya kira, Ini merupakan hadiah paling berharga bagi bangsa ini,  dan mungkin akan mengguncang Indonesia, tepat sehari setelah sebagian orang--yang terus menutup mata terhadap kebenaran sejarah-- memperingati hari yang mereka sebut hari Penghianatan G 30 S/PKI. Ironisnya, hadiah ini didedikasikan oleh seorang sutradara asal Amerika, Joshua Oppenheimer,  yang menghabiskan waktunya selama tujuh tahun (2005-2012) di Medan Sumatera Utara untuk sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing/ Jagal.

Setahun sebelumnya, majalah Tempo menerbitkan Edisi khusus berisi pengakuan para algojo-algojo peristiwa 1965 yang merupakan pengembangan dari The Act of Killing. Sayangnya, tidak banyak orang yang bisa mengaksesnya, seperti ditelan bumi, majalah edisi oktober 2012 tersebut tetiba menghilang dari peredaran dunia real. Mungkin masih ada pihak yang belum rela membuka fakta sebenarnya, terkait apa sebenarnya yang terjadi di tahun-tahun paling berdarah di negeri ini, saat-saat dimana setengah juta orang dibunuh dan dihilangkan secara kejam. Tapi waktu berlahan akan mengungkap segalanya, arwah orang-orang tak bersalah itu akan terus bergentayangan menghantui dan menjadi mimpi buruk bagi para pembantainya, bagi para penguasa yang ditutup mata batinnya akan kebenaran sejarah. 

Jagal sejak setahun lalu telah menuai banyak penghargaan di dunia internasional, sementara di Indonesia sendiri, tempat dimana persitiwa tersebut terjadi, tidak mudah untuk diakses, jika tidak dikatakan terlarang. Ada beberapa lembaga yang berani memutar dan mendiskusikannya, tetapi tidak banyak dan tertutup, takut diserang kelompok-kelompok tertentu. Sejak pertama kali di putar pada Toronto International Film Festival 2012, sampai saat ini The Act of Killing telah memenangkan banyak penghargaan internasional, antara lain Panorama Audience Award dan Prize of the Ecumenical Jury dari Berlin International Film Festival 2013, Robert Award dari Film Academy of Denmark, Bodil Awards dari Asosiasi Kritikus Film Nasional Denmark, Penghargaan Aung San Suu Kyi pada Festival Film Internasional Hak Azasi dan Martabat Manusia 2013 Yangon Myanmar, Grand Prize pada Biogra film Festival 2013 di Bologna Italia, penghargaan Golden Chair dari Grimstad Short and Documentary Film Festival 2013 di Norwegia, dan Basil Wright Prize dari Royal Anthropological Institute Film Festival 2013 di Edinburgh Skotlandia. Bahkan, Situs agregator ulasan Rotten Tomatoes memberikan penilaian positif 97% dengan nilai rata-rata 8.8/10 berdasarkan 104 ulasan. Konsensusnya adalah, "Keras, mengerikan, dan sangat sulit untuk ditonton. The Act of Killing adalah bukti menakutkan dari kekuatan film dokumenter yang mendidik dan frontal. 


Meskipun terlambat, tepat di tanggal 1 Oktober 2013, Oppenheimer, mempersilahkan seluruh penduduk indonesia untuk menyaksikan secara langsung pengakuan algojo-algojo tersebut, The Act of Killing dapat diunduh secara gratis, segratis kau menghembuskan gas dari perutmu! Semoga situs-situs tersebut tidak berakhir naas seperti nasib majalah tempo setahun sebelumnya, terblokir, dan menghilang dari peredaran dunia maya.

Awalnya saya membayangkan film Jagal ini akan sesadis dan semengerikan film penghianatan G 30 S PKI yang telah dicekokkan kepada kita selama tiga dekade lamanya. Film itu terlalu kejam dan meninggalkan trauma yang mendalam bagi saya pribadi. Sewaktu kecil, sambil menonton tak hentinya saya menangis menyaksikan irma anaknya Jenderal Nasution kehilangan seluruh anggota keluarganya, karena waktu itu saya seumuran dengan irma, saya bisa merasakan penderitaannya. Hingga akhirnya, pada saat kuliah, saya mulai mengetahui bahwa film itu merupakan propaganda yang diciptakan oleh rezim Soeharto untuk membusuki komunis.

Prediksi saya tentang Jagal sepenuhnya salah. Film ini malah memiliki selera humor yang elegan dan tak terduga, meskipun ke belakang berjalan merambat semakin sepi. Saya mencatat (in my opinion as a sotoy viewer), ada beberapa poin yang ingin ditonjolkan oleh Oppenheimer, pertama pengakuan narasumber utamanya si tukang jagal Anwar Congo, kedua organisasi paramiliter yang berperan banyak dalam sejarah pemerintahan indonesia termasuk dalam pembantaian komunis 1965, ketiga fakta bahwa sesungguhnya yang paling keji dari peristiwa 1965 adalah pembantaian terhadap sekitar setengah juta komunis dan tionghoa (jumlah korban sesungguhnya hampir tak mungkin untuk diketahui karena terjadi di rezim dimana begitu banyak kegiatan yang dilarang).

Film yang disutradarai oleh lulusan summa cum laude filmmaking di universitas Harvard ini, berbeda dari film dokumenter pada umumnya. Narasumbernya (algojo-algojo) dipersilahkan bebas membuat filmnya sendiri, mereka ulang masa-masa pembantaian itu dengan properti-properti yang tidak begitu canggih, dan membuat dialognya sendiri. Anwar dipersilahkan memanggil orang-orang yang dianggapnya bisa memerankan ulang peristiwa pembantaian tersebut. Maka dia libatkanlah Herman Koto dan beberapa preman yang juga merupakan anggota organisasi kepemudaan yang membawahinya. Selain itu, Anwar Congo juga melibatkan teman seperjuangannya dalam pembantaian 48 tahun silam Adi Zulkadri. Adi Zulkadri inilah yang selanjutnya menjadi tokoh pencerah dalam film ini, karena tak ada narasi atau sedikitpun pendapat dari sang sutradara Oppenheimer terkait pembantain tersebut. Pantaslah jika para pengamat film menganggap bahwa alih-alih menjawab bertanyaan, film ini malah lebih banyak menyuguhkan pertanyaan, yang selanjutnya membuka ruang bagi penonton untuk mencari tahu dan mendiskusikan apa yang sebenarnya terjadi dibalik pembantaian 1965 itu. 

Di awal-awal, Anwar Congo mengajak Oppenheimer mengunjungi tempat-tempat pembantaian pada tahun 1965 itu, dan menjelaskan dengan pongah dan sangat bahagia atau tepatnya sangat lugu, pembantaian yang dilakukannya. Katanya, karena bau darah itu amis dan lama hilangnya, maka dia memakai cara pembunuhan yang baru pada saat itu, setidaknya di Medan mungkin (cara pembunuhan seperti itu sering dia tonton dari film-film hollywood di bioskop tempat mangkalnya sambil mencatut karcis-karcis penonton), yaitu dengan mengikatkan salah satu ujung kawat di tiang dan melilitkannya dileher korbannya, lalu menarik ujung kawat yang satunya sekuat tenaga, pembunuhan seperti itu menurutnya paling efektif karena membunuh secara berlahan tanpa darah dan erangan. Agar bisa menikmati pembantaian itu, Anwar meminum sedikit alkohol dan marijuana, lalu sambil berjoget chacha dia membantai korbannya. Anwar tidak mampu mengingat berapa orang yang telah dia jagal. Menurut pengakuan pemilik salah satu koran di Medan yang juga tahu banyak soal pembantaian 1965 dan bertugas mempropogandakan kebusukan komunis melalui korannya, dia tidak bisa mengingat satu persatu para penjagal itu, karena ada ratusan orang yang melakukannya. Anwar dan organisasi Pemuda yang membawahinya menganggap bahwa pembantaian yang dilakukannya adalah perbuatan patriotik, pembantaian itu adalah titah Tuhan, yang mereka pahami waktu itu Tuhan benci PKI! 

Selain Anwar sebagai tokoh utama, ada beberapa orang yang sering muncul sebagai pemeran pembantu atas film yang mereka akan buat. Oppenheimer sering merekam pembicaraan antara Anwar Congo dan Herman Koto. Herman Koto inilah yang memiliki peran penting dalam membuat film ini menjadi jenaka. Perawakannya yang gempal, bermata sipit, dan sering mendapat peran sebagai perempuan (gerwani) dengan dandanan menor dan sekseh (uyee), menjadikan film ini lebih cair dan lucu. Mereka berdua dan orang-orang yang terlibat dalam film tersebut sampai akhir film terus menganggap bahwa mereka akan membuat film spektakuler bercerita tentang jasa yang mereka lakukan menyelamatkan bangsa dari komunis. Mereka bereskpektasi akan menjadi bintang film yang terkenal (apa coba kalau bukan lugu namanya?). Kecuali adi Zulkadri yang dengan sangat berapi-api, menyampaikan ke teman-temannya bahwa dia meyakini film tersebut akan menjadi titik balik bagi sejarah bangsa Indonesia.

Kalau sukses kita bikin ini film, bahwa yang kejam itu kita, bukan G 30 SPKI. Ini bukan soal kesangsian, sudah 40 tahun lewat juga kok. Ini masalah image dalam hati masyarakat, ternyata benar dugaanku dulu, gak mungkin PKI begitu, nyatanya mereka (para pembantai) lebih sadis dan kejam. Ini bukan untuk kita, tapi untuk satu sejarah, penilaian suatu sejarah berbalik, bukan 180 , tapi 360 derajat. Tidak semua kejujuran bisa menjadi konsumsi publik, saya percaya Tuhanpun punya rahasia, kita sadar sekali kitapun sangat kejam. 

Saat Adi ditanyai oleh Oppenheimer soal konvensi Jenewa yang menganggap pembantaian komunis tahun 1965 adalah kejahatan perang. Adi menjawab belum tentu kita sependapat dengan kesepakatan internasional itu, Bush waktu kuasa, Guantanamau benar, Saddam Husain waktu berkuasa, bikin senjata pembunuh massal, itu kebenarannya Bush dan Saddam Husain, sekarang kebenaran itu ternyata tidak benar. jadi bisa jadi kebenaran konfensi jenewa tidak benar, besok ada konvensi Jakarta, Jenewa kita buang. Defenisi kejahatan perang adalah buatan para pemenang, saya pemenang, saya mesti bikin defenisi sendiri, saya tidak perlu ikut defenisi secara  internasional.

Tapi pak, bagi jutaan orang yang anggota keluarganya dibunuh, bagi mereka kan jika pembunuhan itu diungkapkan itu baik?

Ya silahkan, pembunuhan pertama itu habil dan kabil, kenapa hanya soal PKI yang direpoti? orang amerika membunuh orang indian diadili gak? adili dong! 

Bagaimana kalau bapak di bawa ke Denhag untuk diadili di pengadilan Internasional?

Oh saya siap, kenapa, padahal saya tidak merasa bersalah, kenapa saya siap, waah saya jadi terkenal dong, hahah, padahal saya bukan siapa-siapa. saya siap, tolong di buat itu supaya saya dipanggil sama konvensi Jenewa.

Adi tak pernah mengakui merasa bersalah (dalam hati siapa yang tahu), dia berpendapat bahwa yang dia lakukan adalah proses sejarah yang tidak bisa dia hindari, rezim pada waktu itu yang membuatnya melakukan serangkaian pembantaian itu.

Sementara itu, Anwar Congo berlahan mulai menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya menyakitkan banyak orang pada saat dia berperan sebagai tokoh PKI yang disiksa dan dibunuh. Dia bahkan tidak mampu mengulang adegan itu dan hanya menangis dan mematung. Dia bertanya kepada Oppenheimer “apakah orang-orang yang telah dia bunuh juga merasakan perasaan sakit dan ketakutan yang sama?”. “Yang mereka rasakan jauh jauh jauuuuh lebih menakutkan dari apa yang anda rasakan bang Anwar” jawab Oppenheimer. Anwar menangis tak mampu berkata-kata. Film ini ditutup dengan kunjungan Anwar ke tempat dimana dia membantai tak terhitung orang, muntah-muntah dan menangis. 

Yang menggelitik dari film ini adalah munculnya tokoh-tokoh terkenal seperti YK, SA, YA, SA dan banyak lainnya, sebagai bagian dari organisasi kepemudaan yang selalu menjadi algojo pnguasa dari zaman orba sampai sekarang. Organisasi tersebut jugalah yang memegang peran penting dalam pembantaian 1965, organisasi kepemudaan tempat Anwar Congo, Herman Koto, dan teman-teman premannya bernaung. Dalam satu adegan setelah memalak para pedagang di pasar, para preman-preman tersebut kemudian berpakaian seragam loreng mengikuti acara organisasi tersebut mendengarkan ketua umumnya YS berorasi “semua kader organisasi tersebut adalah pahlawan dari mulai memberantas komunisme, neokomunisme, ekstrim kiri, dan hal-hal yang mengancam bangsa, bukan hanya tugas tentara dan polisi, pancasila pancasila pancasila”.
 
Di pertemuan yang lain, YK dalam sambutannya dalam pertemuan organisasi tersebut berkata ”semangat yang ada dalam Pemuda pancasila yang banyak orang katakan preman, preman itu adalah orang yang bekerja di luar, bukan pemerintah. Berasal dari free man, karena itu free man dibutuhkan bangsa indonesia. Kita butuh preman/swasta melaksanakan jalan. Kita butuh preman yang berani mengambil resiko untuk berdagang. Pergunakan otot kita bukan untuk berkelahi, walaupun berkelahi bukan hal yang tidak perlu”. Entah apa yang dalam benak Yusuf Kalla saat itu.
Oppenheimer dengan menayangkan bagian-bagian tersebut seperti sedang mengajak kita membuka mata bahwa sesungguhnya pemerintahan ini di topang oleh organisasi yang isinya adalah free man.

Dengan beredarnya The Art of Killing secara bebas, sepertinya akan menjadi tonggak sejarah baru bagi bangsa indonesia, karena semua orang akan bertanya, ada apa sebenarnya dibalik pembantaian 1965. Betul, sudah begitu banyak buku yang mengulas hal ini. Tapi belum ada satu orang pun di dunia ini selain Oppenheimer yang memiliki keberanian membuatnya dalam sebuah film, tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling, menerobos semua ketakutan yang bersarang selama puluhan tahun lamanya.

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Jagal
http://www.tribunnews.com/seleb/2013/06/22/enam-penghargaan-diraih-film-jagalthe-act-of-killing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar