Rabu, 11 Maret 2015

Pseudo Happiness



Bisa jadi presiden Joko “Jokowi” widodo merasa tak terganggu dengan nilai tukar rupiah yang terus merangkak naik menembus nominal Rp13.200 per dolar. Sebagai pemimpin yang baik, wajar jika Pak Presiden mengajak seluruh warganya untuk tetap optimis  dengan kondisi ekonomi negara kita saat ini. Presiden bahkan mengklaim kondisi ekonomi kita tahun ini jauh lebih baik dari kondisi ekonomi tahun sebelumnya, hal tersebut bisa dilihat dari ruang fiskal, kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG), pasar obligasi, yang jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Dua bulan terakhir, kita bahkan mengalami deflasi! Pemerintah terus menjaga optimismenya dengan hanya melihat parameter-parameter ekonomi terkini, pertumbuhan ekonomi membaik, inflasi terkendali, IHSG membaik, defisit APBN terkendali, ruang fiskal melebar, dan sederet parameter lainnya.

Lalu, apa kabar “kami”, nelayan, petani, buruh, pedagang kaki lima, tukang sol sepatu, pedagang eceran, guru honorer, pengasuh, asisten rumah tangga, tukang cuci, tukang becak, cleaning service out sourching? Kami tak hanya menghadapi harga bensin yang naik turun seenak udelnya, listrik, harga beras, tiket pesawat dan kereta, sewa angkot dan ojek, yang meningkat tajam. Kami juga harus menikmati pahitnya efek domino dari lonjakan harga-harga tersebut. Lalu makna dari deflasi itu apa? Apakah hitung-hitungan yang dihasilkan oleh para pakar ekonomi itu adalah hal yang berbeda dengan yang terjadi disekitar kami?

Kurs memang telah menembus angka Rp13.200, namun postur APBN masih aman, defisit anggaran kita bahkan tidak melebar seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya. Yang terjadi malah sebaliknya, semakin tinggi nilai kurs rupiah terhadap dolar amerika serikat, pundi-pundi pemerintah akan semakin gemuk. Hal ini tentu berbeda dengan tahun sebelumnya dimana tiap kali kurs mengalami depresiasi, defisit APBN membengkak tak terkendali. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu alasan kuat kenapa Pemerintah mencabut subsidi bbm waktu itu. Penjelasan sederhananya seperti ini, setiap kali kurs melemah (depresiasi), maka yang akan terpengaruh adalah pendapatan Negara bukan pajak/PNBP (penerimaan minyak dan gas), belanja negara (subsidi bbm dan bunga utang luar negeri), dan pembiayaan (pembayaran pokok utang luar negeri). Dari item-item tersebut, yang paling sensitive adalah belanja Negara subsidi bbm. Kurs dan ICP adalah parameter fundamental yang digunakan pemerintah dalam menghitung subsidi. Apabila salah satunya naik, maka subsidi bbm akan naik pula. Betul, naiknya nilai kurs rupiah terhadap dolar amerika serikat akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari penerimaan minyak dan gas, akan tetapi pemerintah harus mengeluarkan uang yang jauh lebih besar untuk subsidi bbm. Oleh karenanya pelebaran defisit menjadi tak terkendali. Itu dulu, sebelum subsidi bbm dicabut.

Kita harus mengucapkan terimakasih kepada pak Presiden atas jasa-jasanya telah menyelamatkan Negeri ini dari krisis moneter dengan mencabut subsidi bbm tepat sebelum kurs rupiah melonjak tajam. Dengan dicabutnya subsidi bbm, APBN menjadi sangat bebal terhadap pergerakan kurs dan icp. Itulah impian dari setiap ekonom dan pemerintahan disetiap negara, yaitu mewujudkan anggaran negara (APBN) yang sustainable dan unvulnerable dari gangguan luar terutama asumsi ekonomi makro. Negara kita berhasil melakukannya, kita patut bangga, yah, bangga! Kita adalah Negara yang kuat dari gempuran krisis ekonomi. APBN kita kuat, melemahnya rupiah terhadap dolar amerika serikat, diluar kebiasaan, malah meningkatkan ruang fiskal kita, atau kita surplus/untung, dan keuntungan itu bisa digunakan untuk belanja prioritas presiden yang lain. Fantastis bukan?

Pertanyaannya, kenapa rakyat tidak merasakan hal yang sama? Jika APBN kuat dan tak mudah digoyahkan, seharusnya masyarakatpun juga demikian. Jika keuangan Negara kita stabil, harusnya asap dapur di rumah-rumah juga tetap mengepul stabil. Jika APBN menguat, masyarakat harusnya tak menjerit, dengan harga yang naik dan tak mau turun, meskipun harga bensin sudah turun! Kenapa selalu ada standar ganda? Apa sebetulnya yang kita perjuangkan? Angka-angka atau perut yang menahan lapar karena harus menghemat beras? Deretan angka parameter ekonomi atau anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena harus bekerja membantu orang tuanya? Siapa yang bertanggung jawab atas orang-orang yang hidup di jalan, di emperan toko, atau di gerobak-gerobak? Siapa yang bertanggung jawab atas anak-anak yang harus bekerja menjadi pengamen, bayi yang diberi obat tidur oleh ibu atau entah siapa itu, atau orang-orang gila yang telanjang memperlihatkan vaginanya di tengah pasar?

Masihkah kita berpikir sedang menyelamatkan dunia?

#selftalk