Sabtu, 14 November 2015

***

Bukan mimpi namanya, jika itu terlalu mudah bagimu, mimpi sepatutnya setinggi-tinggi imajinasi. Anak-anak sepertinya sangat memahami konsep itu. Tidak heran, sebagian besar anak-anak akan memilih profesi dokter, astronot, atau  pilot sebagai cita-cita dan impiannya. Selain itu, profesi tersebut hampir mirip dengan kerjaan tukang sulap, expecto patrunum!, maka jadilah ia, si fulan yang sakit seketika menjadi sehat, berada diluar angkasa--apa yang lebih menakjubkan dari itu, apalagi terbang bak superhero-- hemm pastilah sangat menyenangkan. Namun seiring dengan bertambahnya usia, logika bercampur kenyataan hidup terkadang membawa kita pada kutub yang berbeda, mimpi yang tadinya setinggi langit berlahan menyusut cetek. Hanya sedikit yang bisa menjaga dan mengawal mimpinya menjadi kenyataan. Siapa yang menyangka teori relativitas Enstein yang besar dan revolusioner itu berawal dari imajinasi anak berusia enam tahun tentang bagaimana rasanya berkendara dengan kecepatan cahaya  bersama seberkas sinar. Enstein konsisten mengembangkan imaginasinya, dan beberapa dekade kemudian, seluruh dunia makfum terhadap teori itu. Seharusnya seperti itu cara merawat mimpi.

Saya pernah, bahkan cukup lama, mengagumi dan merawat mimpi menjadi seorang dokter, sampai akhirnya hasil SPMB menghempaskan mimpi itu atau tepatnya nyali saya. Meskipun pada akhirnya saya memahami bahwa menjadi orang berguna tidak harus menjadi dokter, tapi sampai saat ini, saya tetap menyimpan 6 bintang untuk profesi itu. Betapa tidak, saat kau merasakan sakit tak berdaya, kau melangkahkan kakimu menuju rumah sakit menemui dokter, seluruh harapan seolah kau limpahkan ke dia, hidup dan matimu tergantung dari keuletan dan intelegensinya.

Sebelum ilmu pengobatan modern seperti yang kita kenal saat ini berkembang, sebagian besar kebudayaan dalam masyarakat awal menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal dan hewan untuk tindakan pengobatan. Sebetulnya metode pengobatan alamiah tidak pernah benar-benar punah. Saat ini metode pengobatan herbal malah menjadi alternatif pengobatan yang cukup digandrungi menyusul issu konspirasi perusahaan farmasi dalam meraup untung.

Di desa, pengobatan herbal tidak pernah surut, masyarakat tak pernah takut jauh dari dokter, karena mereka punya dokter keluarga masing-masing, sekiranya setiap orang yang bisa menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Sayangnya sebagian besar dokter keluarga ini sudah uzur. Di keluarga saya, mama tua (nenek) adalah dokter andalan di keluarga kami. Setiap ada salah seorang dari kami keturunannya yang sakit, terlebih dahulu kami akan berkonsultasi ke mama tua. Tak lama kemudian, mama tua akan datang membawa daun-daunan yang dia dapatkan di kebun belakang rumah atau kebun tetangga. Dan saya bisa memastikan, sejauh ini, pengobatan mama tua mujarab. Kami baru akan ke dokter, jika lebih dari 3 hari, penyakitnya tak kunjung surut, dan biasanya penyakit kami tak akan berlanjut ke dokter. Ironisnya, tak ada minat untuk mempelajari resep pengobatan mama tua, kami bahkan sangat jarang memberikan kredit kepada mama tua atas kemampuan pengobatannya tersebut, hanya karena dia tidak memperoleh pengetahuannya secara formal. Berbeda dengan profesi dokter, dengan jas putih bersih mentereng, stetoskop menggantung di pundak, tulisan tangan yang tak bisa dibaca, dan alat kedokteran yang canggih, membuatnya beribu-ribu kali lipat lebih keren dari mama tua. Profesi dokter hampir selalu  ada dalam list cita-cita seorang anak, profesi dokter dihormati, mulia, putih serupa peri penolong yang menentukan hidup matimu.

Lalu, belakangan, dokter menjadi mahluk baru bermuka dua, mereka dipuja, sekali waktu dicaci. Pemujaan terhadap profesi dokter membuat mereka membangun dunianya sendiri, eksklusif, dan nyaris tidak dapat dijangkau oleh masyarakat kecil. Tak banyak yang bisa dihasilkan oleh popularitas dan pemujaan yang berlebihan selain kecongkakan. Ditambah lagi kasus malpraktek, mahalnya biaya konsultasi ke dokter berikut biaya obat-obatan dan fasilitas kesehatan lainnya, attitude sebagian dokter yang memperlakukan pasien seperti onggokan sampah yang tinggal menunggu waktu terurai, dan dokter yang berafiliasi dengan perusahaan farmasi, dokter muda wefie-wefiean saat sedang belajar operasi, membuat dokter menjadi semakin berjarak dengan masyarakat. Sebetulnya dokter tidak berdiri sendiri dalam mambangun stigma ini, sistem pendidikan dan regulasi kesehatan kitalah yang membuatnya menjadi lebih buruk. Tapi kita tak akan membahasnya sampai ke sana.

===

Saya masih mengagumi profesi dokter, dan juga masih menyimpan stigma sebagian besar dokter congkak, sampai akhirnya saya berurusan dengan dokter dan harus menginap di rumah sakit dengan jarum menancap di nadi. Saya adalah pasien BPJS, dan sudah siap diperlakukan setengah hati oleh dokter dan seluruh crew rumah sakit. Saya sudah siap menelan ludah menahan perasaan sedih karena tidak dianggap, dan berbisik dalam hati sekiranya petugas rumah sakit itu tahu betapa penghargaan mereka kepada pasien adalah obat yang bisa menyembuhkan. Saya sungguh sudah siap dengan seluruh kenyataan dan stigma itu.

Namun, harapan tak selalu menjadi kenyataan, dan ini sangat langka, harapan buruk berakhir dengan kenyataan memuaskan, what a releaf! Kami mendapati semua petugas di RS itu melakukan fungsinya dengan sangat baik, sebelum masuk ruang tindakan, saya sudah merasa sembuh. Saya bisa merasakan dokter memperlakukan saya sepenuh hati, misalnya menjelaskan segala sesuatunya dengan rinci, memberikan dorongan dan semangat, menjelaskan tindakan apa yang mau diberikan kepada saya, bahkan sebelum dibius, dokter anastesinya (yang dari perawakannya sudah sangat senior dan berpengalaman) memperkenalkan diri dan menjelaskan saya akan disuntik apa dan akan kehilangan kesadaran selama berapa menit. Selesai tindakan, tak ada masalah dengan administrasi, hanya butuh beberapa menit, urusan dengan rumah sakit beres.

Saya memilih dokter itu secara acak, ekspektasi sayapun tak terlalu tinggi. Namun sekali control dengannya, saya sudah berkesimpulan, saya memilih dokter yang tepat. Satu hal yang paling menarik, dia pelit memberikan resep obat. Saat dia harus memberikan resep obat, dia menganjurkan saya membelinya di apotik umum, katanya dia tidak suka obat di RS tempat dia praktek, harganya terlalu mahal, kamu beli di apotik umum saja, lebih  murah! Hahah, see, tidak semua dokter berafiliasi dengan perusahaan farmasi. Terberkatilah dokter-dokter baik hati dan punya prinsip.


Saya sangat percaya, pelayanan dan kehangatan dokter dan petugas rumah sakit merupakan hal yang tidak terpisahkan dari upaya penyembuhan pasien. Saya merasa perlu menulis pengalaman ini, di tengah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap kredibiltas dokter, selain itu saya masih terlalu respek dengan profesi dokter. Bagiku, dia masih seperti tukang sulap, perpanjangan tangan Tuhan, expecto patrunum, kunfayakun, maka sembuhlah kamu. 

===