Kamis, 27 Juni 2013

MADIBA

Tanggal 18 juli nanti, usianya genap 95 tahun. Dia telah melaksanakan tugasnya sebagai manusia dengan sangat luar biasa.

Penyakit infeksi paru-paru yang menggerogotinya sudah menyiksanya sekian lama. Mungkin jalan terbaik baginya adalah kembali kepada Sang Pencipta. Bukankah kematian juga merupakan bagian dari kehidupan? Tapi kecintaan masyarakat Afrika juga seluruh penduduk dunia seolah menarik separuh jiwanya untuk tetap berada di bumi, tidak bisa beranjak sepenuhnya.

Kakek yang sering menggunakan kemeja batik lengan panjang ini telah menghabiskan hampir separuh hidupnya di balik jeruji penjara (1964-1990) karena pembangkangannya terhadap Apharteid di Africa Selatan waktu itu. Apharteid adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990. Pada tahun 1993, tiga tahun setelah menikmati kebebasannya, Mandela yang akrab disapa Madiba ini menerima Nobel perdamaian. Selanjutnya, Madiba menjabat sebagai Presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan (1994-1999).

Invictus, saya kira film garapan sutradara Clint Eastwood ini sukses menggambarkan sosok Mandela sih penyayang itu. Invictus sendiri adalah puisi karya William Ernest Henley. Mandela yang diperankan oleh Morgan Freeman mengutip bait terakhir dari puisi tersebut "I thank whatever Gods may be, For my unconquerable soul, I am the master of my fate, I am the captain of my soul", menuliskannya dikertas, dan memberikannya kepada Kapten Rugby Afrika Selatan waktu itu----Francois Pienaar yang diperankan oleh Matt Damon, yang mana hampir seluruh pemainnya adalah dari kulit putih (apharteid).

Berkat dukungan Mandela, Tim Rugby Afrika Selatan mampu mengalahkan Tim dari New Zealand dan menjadi pemenang Rugby World Cup 1995, yang juga diselenggarakan di Afrika Selatan. Kemenangan tersebutlah yang menjadi tonggak pemersatu orang kulit putih dan orang kulit hitam di Afrika Selatan, dan menandakan matinya Apharteid. Orang-orang tumpah ruah dijalan merayakan kemenangan tersebut. Tanpa banyak yang tahu, itulah tujuan Mandela memberikan dukungan sebesar-besarnya kepada Tim Rugby tersebut. Untuk melihat seluruh penduduk dinegerinya bersatu, sama  rata, tanpa membedakan warna kulit dan ras.

Meskipun seluruh pejabat dan perangkat pemerintahan waktu itu adalah orang kulit putih, Mandela tidak menyimpan dendam sedikitpun apalagi menyingkirkannya. Pada hari pertama masuk ke gedung Presiden, dia hanya mengumpulkan seluruh stafnya yang hampir semuanya berkulit pucat, dan menyampaikan bahwa dia tidak akan menyingkirkan siapapun, hanya saja, jika masih ada yang masih menganggap orang kulit hitam sebagai warga negara kelas dua, silahkan keluar dari kantor ini. Penderitaan yang telah dilewatinya selama dalam penjara, tak lantas menghabiskan rasa cintanya kepada kemanusiaan. Dia bahkan mengangkat beberapa orang kulit putih sebagai orang kepercayaan/ajudannya, padahal jelas itu sangat berbahaya bagi keselamatannya. Katanya "Forgiveness liberates the soul".

Hari ini, Madiba masih terbaring lemas dipembaringannya. Tak ada kata yang mampu mengungkapkan betapa kebaikannya, perjuangannya, kebesaran hatinya, telah menyelamatkan generasi-generasi setelahnya. Madiba, jika hanya kematian yang bisa membebaskanmu dari sakit yang menderamu saat ini, mungkin sebaiknya orang-orang yang mencintaimu belajar untuk mengikhlaskanmu.

@office 27 Juni 2013

Senin, 17 Juni 2013

Trying Not To Be Careless

Miris sekali melihat drama yang dipertontonkan negara ini. Di luar gedung aspirasi rakyat (katanya) itu, anak-anak bangsa di tembaki gas air mata, digebukin sampai penyok, diseret seperti maling sapi, sementara wakil rakyat (katanya) yang duduk didalamnya, mempertontonkan banyolan paling konyol, memperlakukan keputusan menaikkan harga bbm seperti tawar menawar ikan di pasar.

Apa mereka sekali saja pernah memikirkan, atas rencana kenaikan bbm itu, puluhan juta ibu rumah tangga terus cemas memikirkan kemungkinan dapurnya tidak bisa mengepul lagi, cemas akan biaya sekolah anak-anaknya yang pasti akan naik lagi, cemas akan biaya hidup yang semakin mencekik, sementara penghasilan tidak bertambah. Apa mereka tahu bagaimana rasanya menjadi miskin.
Seperti sudah tidak ada jalan lain lagi, Pemerintah membeberkan bermacam-macam alasan untuk menaikkan harga bbm. Ada yang percaya, ada juga yang mencak-mencak tak menerima.

Semalam sehabis menonton lelucon wakil rakyat itu di tv, yang kekonyolannya mengalahkan kekonyolan OVJ atau komedi paling lucu yang pernah ada, saya kemudian tertegun sendiri. Saya menitikkan air mata, entah karena terlalu lucu, ataukah terlalu menyedihkan, dan kemudian melanjutkan makan malamku. Tak ada yang saya lakukan, bahkan dengan lisan sekalipun. Mengutip quote dari film The Godfather "I spent my life trying not to be careless". Masihkah?



Minggu, 09 Juni 2013

KLUB FILM


Weekend kali ini saya isi dengan menenggelamkan diri bersama seorang bapak bernama David Gilmour yang cintanya kepada anaknya sungguh luar biasa dan menuliskannya dalam sebuah memoar berjudul Klub Film.

Jika wawan menikmati buku itu dari sudat pandang bahwa buku tersebut menyajikan review dan kritikan film yang cerdas, maka saya menikmatinya dari sudut pandang bahwa buku itu mengungkap hubungan ayah dan anak yang sangat romantis. Memang betul, setengah dari buku itu bercerita tentang film-film terbaik dunia  sampai yang terburuk sekalipun, akan tetapi sebagian besar dari film-film itu adalah film lama (tahun 1930 – 1990) yang tak pernah saya tonton. Agak sulit bagi saya untuk berimajinasi hanya dengan review yang terpotong-potong. Akan tetapi satu hal yang bisa dipelajari dari kritikus film seperti David Gilmour tersebut, bahwa film itu tidak bisa dipisahkan dari sutradanya. Ketika mengingat atau menyebutkan satu film, maka jangan pernah melupakan siapa sutradaranya. Sangat berbeda dengan saya penikmat film level abal-abal ini, yang tidak bisa mengingat atau bahkan sama sekali tidak pay attention kepada sutradara. wakakakka. Seumpama makan kue, saya hanya keblinger oleh kue-kue yang enak, tanpa berusaha mencari tahu siapa pembuat kue tersebut untuk bisa mencicipi kue selanjutnya. Sangat dangkal. Huhu malu.

Minggu, 02 Juni 2013

Sesal tak ada gunanya

Perasaan saya berkecamuk saat membaca ulasan tentang konser Sigur Ros  ini. Beginilah nasib seorang pecinta musik Sigur Ros tapi terlalu ceroboh melewatkan konsernya yang entah kapan kesempatan itu akan datang kembali. Saya sudah tahu Sigur Ros akan konser di Jakarta sejak lama, tapi waktu seolah merambat begitu cepat, hingga di suatu pagi 10 Mei 2013 saya baru teringat kembali tentang Sigur Ros yang akan manggung di Jakarta. Saya kesetanan mencari info di internet, dan ternyata jadwalnya hari itu juga tanggal 10 Mei 2013. Terlambat sudah, semuanya sudah terlalu mepet. Sementara janji dan tiket sudah di tangan untuk menghadiri pernikahan teman di Solo pada hari itu juga.

Saya sempat berhaluan arah, membatalkan janji ke Solo, dan memilih menenggelamkan diri di tengah hiruk pikuk alunan musik Sigur Ros. Tapi adakah yang lebih menyakitkan dari janji dan kata-kata yang teringkari? selain itu tiketnya juga sangat mahal, Rp900.000 untuk kelas festival. Sejujurnya saya protes kenapa tiket konser mereka terlalu  mahal (setidaknya untuk ukuran saya)? bukankah mereka pernah bilang popularitas, limpahan uang, dan publikasi membuat mereka tidak nyaman. Lantas ini apa? seharusnya tiketnya tidak semahal itu. ah, sudahlah. Mereka telah menjadi bagian dari industri musik yang sangat kapitalistik ini.

Membaca ulasan konser ini "Sigur Ros, Tarian Cahaya, Hiburan Visual dan Orgasme Jiwa" membuatku menyesal dan iri seberat-beratnya. hiks. Saya ingin sekali menikmati orgasme musik mereka. Itu saja...