Weekend kali ini saya isi dengan menenggelamkan diri bersama
seorang bapak bernama David Gilmour yang cintanya kepada anaknya sungguh luar
biasa dan menuliskannya dalam sebuah memoar berjudul Klub Film.
Jika wawan menikmati buku itu dari sudat
pandang bahwa buku tersebut menyajikan review dan kritikan film yang cerdas,
maka saya menikmatinya dari sudut pandang bahwa buku itu mengungkap hubungan
ayah dan anak yang sangat romantis. Memang betul, setengah dari buku itu
bercerita tentang film-film terbaik dunia sampai yang terburuk sekalipun, akan tetapi sebagian
besar dari film-film itu adalah film lama (tahun 1930 – 1990) yang tak pernah
saya tonton. Agak sulit bagi saya untuk berimajinasi hanya dengan review yang
terpotong-potong. Akan tetapi satu hal yang bisa dipelajari dari kritikus film
seperti David Gilmour tersebut, bahwa film itu tidak bisa dipisahkan dari
sutradanya. Ketika mengingat atau menyebutkan satu film, maka jangan pernah
melupakan siapa sutradaranya. Sangat berbeda dengan saya penikmat film level abal-abal
ini, yang tidak bisa mengingat atau bahkan sama sekali tidak pay attention kepada sutradara. wakakakka.
Seumpama makan kue, saya hanya keblinger oleh kue-kue yang enak, tanpa berusaha
mencari tahu siapa pembuat kue tersebut untuk bisa mencicipi kue selanjutnya. Sangat
dangkal. Huhu malu.
Gilmour dan Jesse |
Jesse, diusianya yang ke 15 tahun,
menunjukkan gejala anti terhadap pendidikan formal atau sekolah. Nilainya anjlok,
setiap pagi ijin berangkat ke sekolah, nyatanya tidak sampai di sekolah, atau hanya
melewati sekolah, sekalinya sampai ke sekolah taunya berbuat onar dan vandal. Gilmour
tidak bisa tinggal diam, dia tidak bisa memaksa anaknya terus mengikuti
keinginannya untuk terus bersekolah seperti anak-anak lain. Belajar harus tulus
dari dalam hati, bukan karena terpaksa. Akhirnya sampailan dia pada keputusan
penting. Dia mengizinkan Jesse untuk berhenti sekolah, selama Jessie mau
menonton 3 film bersamanya setiap
minggu, dan tidak memakai kokain dan obat-obatan terlarang. Jesse hampir tidak percaya dengan keputusan
Bapaknya. Akan tetapi, apapun akan dia lakukan, yang penting tidak sekolah.
Tidak mudah bagi Gilmour membuat
keputusan tersebut. Dia harus berdiskusi sengit dulu dengan ibunya Jesse sampai
bercucuran air mata. Gilmoaur tidak habis pikir dengan sikap mantan istrinya
tersebut yang tidak berani keluar dari mainstream. Sementara, dulu mereka
bertemu diacara anak punk, mantan istrinya itu bahkan merupakan vokalis band
punk. Punk identik dengan pemberontakan dan kebebasan. Lantas kenapa dia
menjadi begitu ketakutan sekarang.
Namun pada akhirnya, mereka sepakat
dengan keputusan Jesse berhenti sekolah. Ibunya Jesse meyakini, seorang anak
laki-laki lebih membutuhkan sentuhan didikan seorang bapak tanpa mengurangi
peran ibunya. Jalan Jessie masih panjang, banyak hal yang bisa terjadi di depan
sana.
Di saat yang bersamaan, pekerjaan Gilmour mengalami masa
paling kritis. Dari pembawa acara TV yang terkenal, tiba-tiba tak ada satupun tawaran
yang datang, tidak ada tawaran menulis ataupun membuat film. Dia bahkan pernah
melamar jadi Kurir, tapi ditolak karena usianya sudah di atas 50 tahun. Yang paling
ditakutkan oleh Gilmour adalah keputusannya membiarkan Jesse berhenti sekolah
salah. Dia takut telah mendorong anaknya sendiri jatuh ke dalam sumur dalam dan
gelap yang tidak ada jalan keluarnya. Apalagi dirinya sekarang adalah seorang
pengangguran. Harapannya semoga keputusannya mengajak Jesse menonton minimal 3
film dalam seminggu merupakan bentuk pendidikan lain yang bisa dia berikan
kepada anaknya.
Sisi baiknya, Gilmaour jadi
banyak waktu untuk menghabiskan waktu bersama Jesse menonton film dan
mendiskusikannya. Hubungan mereka menjadi semakin intim. Tidak hanya berdiskusi
soal film, mereka bahkan membicarakan hal yang paling intim sekalipun, yang
biasanya hanya dibicarakan dengan teman saja tidak dengan orang tua. Jesse
menjadi sangat terbuka kepada Bapaknya. Gilmour membangun pola hubungan yang
equal, dia tidak ingin ditakuti oleh anaknya sendiri. Bagian yang manis adalah saat
Jesse putus cinta, kembali ke rumah dan menceritakannya kepada Bapaknya, dengan
lemah Jessi bertanya apakah dia kelihatan cengeng kalau
menangis di depan Bapaknya? Atau saat Jesse mengakui telah memakai kokain dan
obat-obat terlarang sampai mengalami hangover
parah. Jesse mengakui tidak memiliki kemampuan untuk berbohong kepada
Bapaknya.
Setelah dua tahun berlalu tanpa
sekolah, Jessie memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Mulai dari menjadi
marketing majalah pemadam kebakaran yang ternyata palsu, sampai menjadi tukang
cuci piring. Gilmour awalnya memandang sebelah mata niat anaknya, ah paling
bertahan beberapa lama. Tapi seperti yang terjadi pada kebanyakan orang tua,
ekspektasi terhadap anak yang sering salah. Gilmour berkata bahwa selalu ada
ruang dalam diri anak yang belum terjamah, kita para orang tua selalu merasa
paling mengenal anak sendiri, tapi nyatanya tidak. Jessie ternyata mampu
bertahan menjadi tukang cuci piring selama 6 minggu dan naik pangkat menjadi
anak magang di restoran. See, anak yang nakalnya minta ampun, tiba-tiba
mau melakukan pekerjaan seperti itu. Di
restoran itulah dia bertemu dengan temannya yang seorang rapper. Dan bakatnya
menulis lagu tumbuh dari situ.
Bagian yang melankolis adalah
ketika Jessie pergi keluar kota, Gilmour tidak bisa menapikkan kegelisahan dan
kerinduanya kepada Jessie. Di tengah malam, dia mengendap-endap menuju kamar
Jessie dan memandangi seluruh sudut di dalam kamar, duduk di ranjang, dan
menyadari bahwa anaknya sudah tumbuh besar, sebentar lagi akan meninggalkannya.
“ketika duduk di ranjang itu aku sadar bahwa dia tidak akan pernah
kembali lagi sebagai sosok yang sama. Mulai sekarang dia adalah tamu. Tetapi masa
itu, masa tiga tahun dalam kehidupan seorang pemuda dimana biasanya dia akan
mulai mengunci diri dari orang tuanya, sungguh merupakan sebuah anugerah tak
teduga yang menakjubkan dan langka”
Atau saat Jessie menelpon
bapaknya di tengah malam yang dingin ketika habis mengisap kokain dan
menanyakan “apakah Bapak masih menyayangiku? Aku sayang Bapak.” Ah masih adakah
percakapan seintim itu antara anak dan Bapak di zaman sekarang ini.
Jesse diusianya yang ke 20 (kalau
tidak salah) memutuskan untuk sekolah penyetaraan dan melanjutkan sekolahnya di
universitas, sepertinya dia mengambil jurusan sastra atau perfilman (dibukunya tidak
disebutkan dengan jelas). Jesse juga tumbuh menjadi kritikus film yang jauh
melebihi kemampuan bapaknya.
Buku ini mengisahkan satu
teladan, bagaimana seorang Bapak yang begitu sabar menghadapi anaknya, dan mengantarkannya menantang dunia. Ini yang sering diabaikan oleh para orang tua,
memposisikan diri sebagai sosok yang selalu benar dan doyan mendikte, tanpa
berusaha menyelami pribadi dan kemauan anak.
Saya menyukai bagian ini “membesarkan anak merupakan rangkaian ucapan
selamat tinggal, satu per satu, kepada popok –popok dan kemudian kepada
jaket-jaket tebal dan akhirnya kepada anak itu sendiri”.
kayaknya bakal nangis baca buku ini. Cinta antara ayah dan anak... :')
BalasHapusiya ca, bukunya bagus :)
BalasHapus