Minggu, 09 Juni 2013

KLUB FILM


Weekend kali ini saya isi dengan menenggelamkan diri bersama seorang bapak bernama David Gilmour yang cintanya kepada anaknya sungguh luar biasa dan menuliskannya dalam sebuah memoar berjudul Klub Film.

Jika wawan menikmati buku itu dari sudat pandang bahwa buku tersebut menyajikan review dan kritikan film yang cerdas, maka saya menikmatinya dari sudut pandang bahwa buku itu mengungkap hubungan ayah dan anak yang sangat romantis. Memang betul, setengah dari buku itu bercerita tentang film-film terbaik dunia  sampai yang terburuk sekalipun, akan tetapi sebagian besar dari film-film itu adalah film lama (tahun 1930 – 1990) yang tak pernah saya tonton. Agak sulit bagi saya untuk berimajinasi hanya dengan review yang terpotong-potong. Akan tetapi satu hal yang bisa dipelajari dari kritikus film seperti David Gilmour tersebut, bahwa film itu tidak bisa dipisahkan dari sutradanya. Ketika mengingat atau menyebutkan satu film, maka jangan pernah melupakan siapa sutradaranya. Sangat berbeda dengan saya penikmat film level abal-abal ini, yang tidak bisa mengingat atau bahkan sama sekali tidak pay attention kepada sutradara. wakakakka. Seumpama makan kue, saya hanya keblinger oleh kue-kue yang enak, tanpa berusaha mencari tahu siapa pembuat kue tersebut untuk bisa mencicipi kue selanjutnya. Sangat dangkal. Huhu malu.


Gilmour dan Jesse
Oke, kita balik ke Klub Film. Saya terkesima dengan David Gilmour atas cintanya kepada anaknya Jesse yang sangat elegan itu.  Cinta yang hanya dimiliki oleh orang tua kepada anak. Cinta yang tidak bisa dibandingkan dengan hubungan percintaan dua sejoli yang paling romantis manapun. Cinta yang mengakar di seluruh sel dan serabut pembulu darah. Cinta yang rela mengorbankan apa saja, tanpa berharap balas jasa. Membaca tulisan ini membawa saya kembali mengunjungi bilik-bilik memori saya, saat-saat masih tumbuh besar bersama orang tua. Cinta mereka bisa sangat nyata tetapi sekali waktu bisa dalam bentuk tangan-tangan tak terlihat. Dan kita, anak yang tidak tahu diuntung ini, terkadang menerima itu sebagai kekangan yang menyesakkan. Ah, sungguh memalukan.

Jesse, diusianya yang ke 15 tahun, menunjukkan gejala anti terhadap pendidikan formal atau sekolah. Nilainya anjlok, setiap pagi ijin berangkat ke sekolah, nyatanya tidak sampai di sekolah, atau hanya melewati sekolah, sekalinya sampai ke sekolah taunya berbuat onar dan vandal. Gilmour tidak bisa tinggal diam, dia tidak bisa memaksa anaknya terus mengikuti keinginannya untuk terus bersekolah seperti anak-anak lain. Belajar harus tulus dari dalam hati, bukan karena terpaksa. Akhirnya sampailan dia pada keputusan penting. Dia mengizinkan Jesse untuk berhenti sekolah, selama Jessie mau menonton 3  film bersamanya setiap minggu, dan tidak memakai kokain dan obat-obatan terlarang.  Jesse hampir tidak percaya dengan keputusan Bapaknya. Akan tetapi, apapun akan dia lakukan, yang penting tidak sekolah.

Tidak mudah bagi Gilmour membuat keputusan tersebut. Dia harus berdiskusi sengit dulu dengan ibunya Jesse sampai bercucuran air mata. Gilmoaur tidak habis pikir dengan sikap mantan istrinya tersebut yang tidak berani keluar dari mainstream. Sementara, dulu mereka bertemu diacara anak punk, mantan istrinya itu bahkan merupakan vokalis band punk. Punk identik dengan pemberontakan dan kebebasan. Lantas kenapa dia menjadi begitu ketakutan sekarang. 

Namun pada akhirnya, mereka sepakat dengan keputusan Jesse berhenti sekolah. Ibunya Jesse meyakini, seorang anak laki-laki lebih membutuhkan sentuhan didikan seorang bapak tanpa mengurangi peran ibunya. Jalan Jessie masih panjang, banyak hal yang bisa terjadi di depan sana.

Di saat yang bersamaan, pekerjaan Gilmour mengalami masa paling kritis. Dari pembawa acara TV yang terkenal, tiba-tiba tak ada satupun tawaran yang datang, tidak ada tawaran menulis ataupun membuat film. Dia bahkan pernah melamar jadi Kurir, tapi ditolak karena usianya sudah di atas 50 tahun. Yang paling ditakutkan oleh Gilmour adalah keputusannya membiarkan Jesse berhenti sekolah salah. Dia takut telah mendorong anaknya sendiri jatuh ke dalam sumur dalam dan gelap yang tidak ada jalan keluarnya. Apalagi dirinya sekarang adalah seorang pengangguran. Harapannya semoga keputusannya mengajak Jesse menonton minimal 3 film dalam seminggu merupakan bentuk pendidikan lain yang bisa dia berikan kepada anaknya.

Sisi baiknya, Gilmaour jadi banyak waktu untuk menghabiskan waktu bersama Jesse menonton film dan mendiskusikannya. Hubungan mereka menjadi semakin intim. Tidak hanya berdiskusi soal film, mereka bahkan membicarakan hal yang paling intim sekalipun, yang biasanya hanya dibicarakan dengan teman saja tidak dengan orang tua. Jesse menjadi sangat terbuka kepada Bapaknya. Gilmour membangun pola hubungan yang equal, dia tidak ingin ditakuti oleh anaknya sendiri. Bagian yang manis adalah saat Jesse putus cinta, kembali ke rumah dan menceritakannya kepada Bapaknya, dengan lemah Jessi bertanya apakah dia kelihatan cengeng kalau menangis di depan Bapaknya? Atau saat Jesse mengakui telah memakai kokain dan obat-obat terlarang sampai mengalami hangover parah. Jesse mengakui tidak memiliki kemampuan untuk berbohong kepada Bapaknya.

Setelah dua tahun berlalu tanpa sekolah, Jessie memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Mulai dari menjadi marketing majalah pemadam kebakaran yang ternyata palsu, sampai menjadi tukang cuci piring. Gilmour awalnya memandang sebelah mata niat anaknya, ah paling bertahan beberapa lama. Tapi seperti yang terjadi pada kebanyakan orang tua, ekspektasi terhadap anak yang sering salah. Gilmour berkata bahwa selalu ada ruang dalam diri anak yang belum terjamah, kita para orang tua selalu merasa paling mengenal anak sendiri, tapi nyatanya tidak. Jessie ternyata mampu bertahan menjadi tukang cuci piring selama 6 minggu dan naik pangkat menjadi anak magang di restoran. See, anak yang nakalnya minta ampun, tiba-tiba mau  melakukan pekerjaan seperti itu. Di restoran itulah dia bertemu dengan temannya yang seorang rapper. Dan bakatnya menulis lagu tumbuh dari situ.

Bagian yang melankolis adalah ketika Jessie pergi keluar kota, Gilmour tidak bisa menapikkan kegelisahan dan kerinduanya kepada Jessie. Di tengah malam, dia mengendap-endap menuju kamar Jessie dan memandangi seluruh sudut di dalam kamar, duduk di ranjang, dan menyadari bahwa anaknya sudah tumbuh besar, sebentar lagi akan meninggalkannya.
“ketika duduk di ranjang itu aku sadar bahwa dia tidak akan pernah kembali lagi sebagai sosok yang sama. Mulai sekarang dia adalah tamu. Tetapi masa itu, masa tiga tahun dalam kehidupan seorang pemuda dimana biasanya dia akan mulai mengunci diri dari orang tuanya, sungguh merupakan sebuah anugerah tak teduga yang menakjubkan dan langka”

Atau saat Jessie menelpon bapaknya di tengah malam yang dingin ketika habis mengisap kokain dan menanyakan “apakah Bapak masih menyayangiku? Aku sayang Bapak.” Ah masih adakah percakapan seintim itu antara anak dan Bapak di zaman sekarang ini. 

Jesse diusianya yang ke 20 (kalau tidak salah) memutuskan untuk sekolah penyetaraan dan melanjutkan sekolahnya di universitas, sepertinya dia mengambil jurusan sastra atau perfilman (dibukunya tidak disebutkan dengan jelas). Jesse juga tumbuh menjadi kritikus film yang jauh melebihi kemampuan bapaknya.

Buku ini mengisahkan satu teladan, bagaimana seorang Bapak yang begitu sabar menghadapi anaknya, dan mengantarkannya menantang dunia. Ini yang sering diabaikan oleh para orang tua, memposisikan diri sebagai sosok yang selalu benar dan doyan mendikte, tanpa berusaha menyelami pribadi dan kemauan anak.

Saya menyukai bagian ini “membesarkan anak merupakan rangkaian ucapan selamat tinggal, satu per satu, kepada popok –popok dan kemudian kepada jaket-jaket tebal dan akhirnya kepada anak itu sendiri”.

 
Penerbit :    Gramedia Pustaka Utama
Edisi :    Soft Cover
ISBN :    9792277757
ISBN-13 :    9789792277753
Tgl Penerbitan :    2011-12-00
Bahasa :    Indonesia
Halaman :    288
Ukuran :    200x135x0 mm




2 komentar: