Bisa jadi presiden Joko “Jokowi” widodo merasa
tak terganggu dengan nilai tukar rupiah yang terus merangkak naik menembus
nominal Rp13.200 per dolar. Sebagai pemimpin yang baik, wajar jika Pak Presiden
mengajak seluruh warganya untuk tetap optimis
dengan kondisi ekonomi negara kita saat ini. Presiden bahkan mengklaim kondisi
ekonomi kita tahun ini jauh lebih baik dari kondisi ekonomi tahun sebelumnya,
hal tersebut bisa dilihat dari ruang fiskal, kinerja indeks harga saham
gabungan (IHSG), pasar obligasi, yang jauh lebih baik dari tahun sebelumnya.
Dua bulan terakhir, kita bahkan mengalami deflasi! Pemerintah terus menjaga
optimismenya dengan hanya melihat parameter-parameter ekonomi terkini,
pertumbuhan ekonomi membaik, inflasi terkendali, IHSG membaik, defisit APBN
terkendali, ruang fiskal melebar, dan sederet parameter lainnya.
Lalu, apa kabar “kami”,
nelayan, petani, buruh, pedagang kaki lima, tukang sol sepatu, pedagang eceran,
guru honorer, pengasuh, asisten rumah tangga, tukang cuci, tukang becak, cleaning
service out sourching? Kami tak hanya menghadapi harga bensin yang naik turun
seenak udelnya, listrik, harga beras, tiket pesawat dan kereta, sewa angkot dan
ojek, yang meningkat tajam. Kami juga harus menikmati pahitnya efek domino dari
lonjakan harga-harga tersebut. Lalu makna dari deflasi itu apa? Apakah
hitung-hitungan yang dihasilkan oleh para pakar ekonomi itu adalah hal yang
berbeda dengan yang terjadi disekitar kami?
Kurs memang telah menembus angka Rp13.200, namun
postur APBN masih aman, defisit anggaran kita bahkan tidak melebar seperti yang
terjadi pada tahun sebelumnya. Yang terjadi malah sebaliknya, semakin tinggi
nilai kurs rupiah terhadap dolar amerika serikat, pundi-pundi pemerintah akan
semakin gemuk. Hal ini tentu berbeda dengan tahun sebelumnya dimana tiap kali
kurs mengalami depresiasi, defisit APBN membengkak tak terkendali. Hal
tersebutlah yang menjadi salah satu alasan kuat kenapa Pemerintah mencabut
subsidi bbm waktu
itu. Penjelasan
sederhananya seperti ini, setiap kali kurs melemah (depresiasi), maka yang akan
terpengaruh adalah pendapatan Negara bukan pajak/PNBP (penerimaan minyak dan
gas), belanja negara (subsidi bbm dan bunga utang luar negeri), dan pembiayaan
(pembayaran pokok utang luar negeri). Dari item-item tersebut, yang paling
sensitive adalah belanja Negara subsidi bbm. Kurs dan ICP adalah parameter fundamental yang
digunakan pemerintah dalam menghitung subsidi. Apabila salah satunya naik, maka
subsidi bbm akan naik pula. Betul, naiknya nilai kurs rupiah terhadap dolar
amerika serikat akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari penerimaan minyak
dan gas, akan tetapi pemerintah harus mengeluarkan uang yang jauh lebih besar
untuk subsidi bbm. Oleh karenanya pelebaran defisit menjadi tak terkendali. Itu
dulu, sebelum subsidi bbm dicabut.
Kita harus mengucapkan terimakasih kepada pak
Presiden atas jasa-jasanya telah menyelamatkan Negeri ini dari krisis moneter
dengan mencabut subsidi bbm tepat sebelum kurs rupiah melonjak tajam. Dengan
dicabutnya subsidi bbm, APBN menjadi sangat bebal terhadap pergerakan kurs dan
icp. Itulah impian dari setiap ekonom dan pemerintahan disetiap negara, yaitu
mewujudkan anggaran negara (APBN) yang sustainable
dan unvulnerable dari gangguan luar
terutama asumsi ekonomi makro. Negara kita berhasil melakukannya, kita patut
bangga, yah, bangga! Kita adalah Negara yang kuat dari gempuran krisis ekonomi.
APBN kita kuat, melemahnya rupiah terhadap dolar amerika serikat, diluar
kebiasaan, malah meningkatkan ruang fiskal kita, atau kita surplus/untung, dan keuntungan itu bisa digunakan untuk
belanja prioritas presiden yang lain. Fantastis bukan?
Pertanyaannya, kenapa rakyat tidak merasakan hal
yang sama? Jika APBN kuat dan tak mudah digoyahkan, seharusnya masyarakatpun juga demikian. Jika keuangan Negara kita stabil,
harusnya asap dapur di rumah-rumah juga tetap mengepul stabil. Jika APBN
menguat, masyarakat harusnya tak menjerit, dengan harga yang naik dan tak mau
turun, meskipun harga bensin sudah turun! Kenapa selalu ada standar ganda? Apa
sebetulnya yang kita perjuangkan? Angka-angka atau perut yang menahan lapar
karena harus menghemat beras? Deretan angka parameter ekonomi atau anak-anak yang tidak bisa melanjutkan
sekolahnya karena harus bekerja membantu orang tuanya? Siapa yang bertanggung jawab
atas orang-orang yang
hidup di jalan, di emperan toko, atau di gerobak-gerobak? Siapa yang bertanggung jawab
atas anak-anak yang harus
bekerja menjadi pengamen, bayi yang diberi obat tidur oleh ibu atau entah siapa
itu, atau orang-orang gila yang telanjang memperlihatkan vaginanya di tengah pasar?
Masihkah kita berpikir sedang menyelamatkan
dunia?
#selftalk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar