Matahari
masih sangat bersemangat menyiramkan hangatnya di bumi Jakarta, bisa jadi
sebesar semangatku bergerak menuju Goethe siang itu, 24 Agustus 2014. Goethe
merupakan lembaga pusat bahasa dan kebudayaan jerman bertempat di Jl. Sam
Ratulangi No 9-15 Jakarta. Tanggal 22 –
31 Agustus 2014 kemarin, Pemerintah Jerman mengadakan festival film Jerman
dibeberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Jakarta, dan patut dicatat
seluruh pemutaran filmnya gratis!
Jam
2 siang, tempat itu sudah mulai ramai dikunjungi, mulai dari anak-anak muda
sampai orang tua. Perbedaan mencolok dari kedua generasi ini adalah anak muda
selalu datang bergerombol, sementara orang tua datang sendirian atau setidaknya
berdua. Anak muda berteman riuh riah kebersamaan, orang tua berteman kesepian,
begitukah? Haha. Apapun itu, satu hal yang menyatukan kami di sana adalah
kecintaan pada film. Film serupa taman bermain tempat mempalajari nilai-nilai
universal dan kebudayaan, wadah mengapresiasi kebaikan dan memasung kejahatan,
tempat imaginasi beranak pinak, seperti halnya kau akan menemukannya pada buku
lebih dalam lagi.
Hari
itu, ada tiga film yang diputar di Goethe, Kaddisch fur einen freund, Oh Boy,
dan Westen. Saya hanya bisa nonton dua film saja Kaddisch Fur Einen Freund dan
Oh Boy. Untuk film pertama, saya menyimpan sobekan karcis saya di wadah yang
disediakan oleh panitia, sebagai tanda saya menyukai film itu. Sementara film
oh boy, saya tidak terlalu menikmatinya, karena diserang keram leher dan mata
juling selama dalam teater, akibat kebagian tempat duduk paling depan.
----------
Kaddisch Fur Einen Freund
Meskipun rilis di tahun 2012, nampaknya
film ini patut untuk diangkat dan disimak lagi. Pembantaian warga Gaza yang
telah menembus angka lebih dari 2.000 jiwa menyusul perebutan tanah Palestina
dan genozida keji oleh Israel selama bertahun-tahun, dibarengi dengan pembantaian yang dilakukan
ISIS terhadap kaum minoritas di Suriah dan Irak, tidak bisa dipungkiri melahirkan
kemarahan bagi siapapun yang berakal sehat, dan olehnya sangat rawan untuk berkembang
menjadi permusuhan yang serius, bahkan
bagi mereka yang berada di luar konflik.
Dari serangkaian peristiwa itu,
otak kita kemudian membuat sebuah cabang sendiri, bernama stigma paranoid. Apa
yang kamu ingat ketika mendengar Yahudi, terbayang negara bengis yang tega
membunuh ribuan orang tak bersalah dan melakukan cara apapun untuk merebut
tanah rakyat Palestina. Sebaliknya apa yang kamu ingat ketika mendengar Islam, jika
kau menanyakan itu pada orang-orang eropa atau negara-negara nonmuslim, Islam
adalah mereka pria dan wanita diselimuti bom, meledakkan dirinya di tengah
keramaian, kelompok orang-orang ekstrim fanatik, tempat berkumpulnya para
teroris.
Film ini, ingin meluruskan stigma
itu. Tidak betul bahwa semua orang islam adalah teroris, begitu juga tidak
betul jika kau menganggap semua orang yahudi Jahat. Pembantaian rakyat
Palestina yang sudah tidak bisa diterima nalar manusia bahkan setan sekalipun,
harus diperangi dan diakhiri!!! Pemenggalan secara biadab yang dilakukan oleh
ISIS kepada kelompok minoritas di Suriah
dan Irak juga tidak bisa dibiarkan. Dunia harus bergerak mengakhiri ini. Bukan
cuma celotehan prihatin dan basa basi---jangan pernah berharap itu akan
dilakukan oleh Amerika Serikat, Fuck them!. Di lain pihak, satu hal yang perlu
selalu diingat, jangan membenci secara membabi buta, itu adalah cara berpikir
yang tidak adil. Film ini mengajak kita untuk keluar dari hegemoni cara
berfikir mengeneralisir.
Dua tokoh utama dalam film ini
berasal dari dua generasi yang sangat jauh berbeda, Ali remaja Palestina dan
Alexander veteran Yahudi asal Rusia. Sang Sutradar Leo Khasin sedari awal
sekali, mencoba membangun hubungan yang unik antara Ali dan Alexander. Hubungan
yang sangat intim namun malu untuk diakui yang berujung kekocakan yang natural.
Kekakuan mereka mungkin disebabkan karena history masa lalu—latar belakang--
mereka yang pahit.
Ali dan keluarganya terusir dari
Palestina, beberapa lama hidup di pengungsian Libanon, dan akhirnya memutuskan
untuk pindah dan memulai menata hidup di Berlin. Dari sini, bisa dimaklumi
kenapa ayah Ali sangat anti terhadap Yahudi. Mereka tinggal di Apartemen dimana
Alexander juga tinggal selama berpuluh-puluh tahun tepat di atas apartemen mereka.
Alexander hidup sendiri, sesekali dirawat oleh perawat, dan secara berkala
dikunjungi oleh petugas sosial untuk memastikan apaka Alexander masih mampu
hidup sendiri atau sudah saatnya diangkut ke dinas sosial.
Konflik bermula saat Ali ikut
bergabung dengan geng sepupunya. Mereka melakukan aksi terencana, masuk ke
apartemen Alexander, mengobrak-abrik seisi ruangan, dan melakukan vandalisme rasis
yang serius. Akibat kelakuannya itu, Ali sekeluarga terancam di deportase. Ibu
Ali yang sedang hamil tua, menghukum Ali dengan memerintahkan Ali memperbaiki
kekacauan dan kerusakan di rumah orang tua yang sudah sepuh itu. Ali diharuskan
membantu Alexander mengecat dinding, menyusun rak-rak yang rusak, dan membuat
dinas sosial setempat yakin bahwa alexander masih mampu hidup sendiri dengar
rumah yang tertata rapi. Ibu Ali menyembunyikan perihal itu dari Suaminya yang
sangat membenci Yahudi.
Dalam masa Ali mengunjungi
Alexander secara sembunyi-sembunyi dan membantu Alexander membenahi
apartemennya yang hancur, hubungan emosional mereka perlahan terbangun. Mereka
menjadi sahabat yang kocak. Perdebatan tentang islam vs yahudi tidak pernah
bisa berujung. Namun di luar itu semua, mereka menyadari bahwa islam dan yahudi
yang mereka rasakan saat itu, berbeda dengan apa yang mereka dengar di luar
sana. Alexander diam-diam mendatangi kantor polisi dan mencabut laporannya.
Namun laporan sudah sampai ke meja hijau dan tidak bisa dicabut lagi. Alexander
terserang struk saat memberikan kesaksian dan memaksa hakim menghentikan
tuntutannya kepada Ali dan akhirnya meninggal.
Film
ini dibuka dengan lantunan ayat suci Alqur’an Alfatihah, dan ditutup dengan Kaddisch
Fur Einen Freund. Kaddisch Fur Einen Freund adalah nyanyian (doa-doa) bagi
seorang yahudi yang akan dikuburkan. Ali menyanyikan lagu itu untuk sahabatnya
Alexander. Sahabat yang megajarnya banyak hal, sahabat yang mengajarkannya
berpikir adil sejak dalam pikiran.
--------------
Dari dua film yang saya tonton
hari itu, saya mengambil satu asumsi bahwa film Jerman memiliki selera humor
yang manis dan spontan dibanding dengan film Eropa lainnya. Kau tidak perlu
menyediakan kesabaran saat menyaksikannya, seperti kau harus melakukannya saat
menonton film Prancis. Tidak usah khawatir kebosanan akan menyergapmu di tengah-tengah
atau bahkan mungkin dari awal, tetapi harus menunggu sampai ending dan kemudian bernapas lega lalu
berujar, wauuu filmnya bagus. Di film ini, spontanitas, selera humor yang pas,
dan pesan yang tersampaikan dengan jernih, membuat saya rela menyimpan sobekan
karcis saya dan menyerahkannya ke panitia. Film ini layak mendapat apresiasi.
Semoga tahun depan bisa bertemu dengan
film-film Jerman yang lebih baik lagi. Semoga perfilman indonesia bisa belajar
dari yang lebih baik, dan bisa move on
dari genre hantu jadi-jadian, beralih ke film yang lebih cerdas dan edukatif.
Semoga Indonesia bisa membuat event yang setidaknya sama seperti Festival Film
German ini atau festival Film Prancis, yang selalu disosialisasikan secara luas
dan GRATIS, gratis seperti udara.
Danke Goethe
blogwalking, Mbak Niar :))
BalasHapus