Jumat, 09 Agustus 2013

Balada Negeri Baliho #2

Di negeri Baliho, masyarakatnya tak mengenal kata demokrasi. Jika anda tanya apa itu demokrasi, maka mereka akan menunjuk pada pembungkus kacang yang berserak di pasar atau bak sampah. Yah hanya sebatas itu. Konon, ketika para pejabat atau politisi berbusa-busa mulutnya berbicara tentang demokrasi, maka kata demokrasi itu secara otomatis berubah menjadi bunyi tuuuuutt, seperti bunyi sensor di tv-tv jika ada kata-kata yang tidak seharusnya diperdengarkan. Orang-orang yang berbusa-busa mulutnya itupun konon tak mengerti apa yang dibicarakannya, mereka seperti kesurupan ketika mengumbar janji-janjinya.

Pemilihan Bupati yang baru saja berlangsung beberapa bulan lalu, sebagai simbol dari demokrasi, tidak lantas memberikan gambaran sedikitpun tentang apa itu demokrasi. Yang mereka tahu, orang yang dia coblos di bilik suara, adalah jasa yang harus dia berikan atas rokok, kaos oblong, dan souvenir yang dia peroleh saat kampanye kemarin.


Di negeri baliho, pekerjaan paling dominan adalah PNS dan honorer di instansi pemerintah. Mereka menganggap PNS adalah pekerjaan paling aman yang dikejar-kejar seperti anjing menguber pencuri. Pejabat-pejabatnya pun sangat pandai melihat potensi ini. Untuk mempertahankan status kuonya, PNS dicekoki sebagai aparat pemerintah yang harus nurut manut tunduk patuh sembah sujud samina wata’na iye puang iye puang iye puang pada pemimpin. PNS bisa dikata tak punya hak pilih, pilihan mereka sudah tersistem masuk ke kantong-kantong pemimpin/bupati existing. Para kepala sekolah bahkan disuruh membuat penyataan di atas kertas bermaterai bahwa mereka dan guru-guru di sekolahnya akan nurut manut tunduk patuh sembah sujud samina wata’na iye puang iye puang iye puang, dan 100 persen memilih Bupati existing. Jika tidak, dianggap makar dan tidak patuh terhadap pemerintah. Ada yang sangat antusias, mendukung sampai menjilat-jilat pantat, ada yang biasa saja, namun ada juga yang bandel malah mendukung oposisi/rival dari bupati existing.


Cilakanya, bupati yang menang dalam pemilihan kemarin adalah si rival alias oposisi. Seperti ada badai yang menyambar-nyambar, negeri baliho ribut bukan kepalang. Hari pembalasan dendam telah tiba. Mereka yang menikmati lumuran empedunya adalah si pendukung yang menjilat-jilat Bupati exisiting, bahkan mereka yang hanya sekedar ikut-ikutan karena takut. istilah NON JOB menjadi sangat poluler atau ngehits istilah gaulnya, melebihi populernya cherrybelle atau smash di kampung-kampung. Seperti virus yang menular dalam kurun waktu sepersekian detik. Semua orang berbicara soal NON JOB. Bagaimana tidak, semua pendukung bupati yang lama, yang berarti hampir semua PNS akan di non jobkan dari jabatannya. Digantikan dengan penjilat-penjilat bupati terpilih.

Semua orang berbicara non job, di rumah-rumah, di pos kamling, di sawah, di pinggir-pinggir jalan, ribut seperti ada segerombolan lebah, mengiung-ngiung memekakkan telinga. Kakek-kakek yang sudah uzur pun ikut nimbrung. Anak-anak yang belum tahu membersihkan ingusnya sekalipun tak mau ketinggalan. “bapak.. bapak...mauti di non jok bapak...?”

Di negeri Baliho, demokrasi tak di kenal. Seperti negara bar-bar, mereka yang memegang tampuk kepemimpinan berkuasa atas rezeki orang lain, atas kebahagiaan orang lain, atas apapun itu. Preman-preman kini beralih profesi menjadi penasehat Bupati. Mereka yang dipasang di posisi-posisi strategis adalah mereka yang setia mendukung dan menjilat bupati terpilih. dan pihak yang kalah bersiaplah di lempar ke ujung kampung paling terpencil.

Budaya bar-bar ini sudah berlangsung cukup lama. Anak muda yang seharusnya menjadi agen perubahan, menjadi tumpuan dan harapan masa depan, sayangnya tak berbuat banyak. Mereka malah melenakan diri dengan ikut mengambil bagian dari politik bar-bar ini. jika tidak, menjadi honorer, dan seharian main twiter, facebook, atau main game dikantor. Atau merantau di negeri orang, dan cuman menjadi komentator seperti saya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar