Sutradara Faozan Rizal harus berterimakasih kepada Reza Rahardian. Karena
rezalah yang menjadi roh dari keseluruhan film yang digarapnya “Ainun Habibie”.
Reza telah menyelamatkan film ini dengan actingnya yang begitu cemerlang.
Tidak mudah untuk menggarap film yang diangkat dari buku
best seller. Film tersebut tentu selalu akan disandingkan dengan bukunya, dan
sangat jarang yang mampu menyamai apalagi melampaui kepuasan pembaca terhadap
bukunya. Sebut saja Perahu Kertas. Buku
itu telah gagal diterjemahkan menjadi sebuah film yang sukses seperti bukunya. Meskipun
animo penonton lumayan tinggi, tapi bagi pecinta tulisan Dee pasti akan kecewa
dengan film yang dipecah menjadi dua bagian tersebut. Bagaimana bisa buku
sebagus Perahu Kertas menjadi begitu membosankan di layar kaca.
Saya ngotot nonton “Habibie Ainun” sampai dua kali tidak
lain karena saya hanya penasaran dan terpesona terhadap acting Reza Rahardian. Selebihnya
saya keluar dari bioskop dengan list protes
dan kritikan atas kejanggalan dan ketidakpuasan saya terhadap film tersebut.
Ada banyak bagian penting yang disingkirkan, tetapi banyak bagian yang tidak begitu penting dimasukkan ke dalam film.
Dalam memoar yang di tulis Habibie tentang istrinya menceritakan bahwa Ainun adalah
siswi yang sangat cerdas sejak mereka sekolah di sekolah yang sama. Ainun bukan
hanya dokter cantik dan dikagumi banyak pria, tapi juga ahli dalam bidang
exacta. Ainun bahkan sering membantu Habibie menyelesaikan
pekerjaan/hitung-hitungan habibie yang keliru. Tidak hanya itu, Ainun sangat
aktif membangun dan mengelolah yayasan-yayasan di bidang pendidikan dan
kesehatan, bahkan sampai saat dia terbaring di meja operasi di Aachen Jerman
sebelum dia meninggal. Detail-detail tersebut harusnya bisa lebih menghidupkan
film ini, tapi entah karena pertimbangan apa, kesemuanya itu diabaikan. Ainun hanya
digambarkan sebagai perempuan yang bermoral baik, setia pada suami, dan tidak
pernah lupa menyediakan obat buat suaminya.
Habibie juga begitu dihargai di Jerman, dia adalah sosok
jenius yang mendapatkan tawaran karier yang menjanjikan oleh Negara tempatnya menimba ilmu itu.
Selama kuliah di Echnische Hochschule Die Facultaet Fue Maschinenwesen Habibie
telah bekerja sebagai asisten Riset Ilmu Pengetahuan Institut Konstruksi Ringan.
Selain itu Habibie juga mengembangkan
beberapa teori tekhnik pembuatan pesawat terbang, namun tidak meninggalkan
jejak karena berpindah hak cipta ke tangan pemegang kuasa dan modal. Di usianya yang ke 28 Habibie telah
menyelesaikan program doktornya yang kemudian ditawari menjadi professor dan
guru besar. Dia juga pernah dilamar oleh Boeing untuk bekerja mengembangkan industry pembuatan
pesawat terbang di perusahanaan pesawat terbang terbesar di dunia itu. Sederetan penemuan dan penghargaan mendunia telah
diperoleh Habibie. Sebelum dipanggil oleh presiden Soeharto kembali ke Indonesia, Habibie pun
beberapa kali dipanggil untuk bekerja di Industri pengembangan pesawat terbang oleh
Negara lain. Namun, tawaran-tawaran menggiurkan itu ditolaknya karena ingin pulang ke Indonesia. Tangisan Reza Rahardian ketika melihat N-250nya mogok beroperasi
tentu akan lebih menyayat hati ketika kejeniusan dan sepak terjang Habibie itu
disampaikan.
Jika produser dan sutradara tidak mampu menggambarkan
hal-hal tersebut dengan alibi durasi yang tidak cukup. Lantas kenapa masih ada
adegan-adegan Hanung Bramantio berusaha menyogok Habibie berkali-kali yang
sumpah sama sekali tidak menarik dan wasting time. Atau gadis seksi tak tahu
senyum dimunculkan untuk menyogok Habibie?
Fim inipun tidak memerhatikan detail. Entah karena
persoalan keterbatasan dana atau apa. Misalnya adegan habibi pulang dari kantor
dan tidak memiliki uang lagi untuk naik bus, dia harus berjalan menerobos salju
di malam yang gelap. Layar bergambar salju dan salju buatan itu sungguh sangat
mengganggu. Atau uji coba kereta api main-mainan itu. oh God!
Beruntunglah acting Reza Rahardian sangat memukai dan mampu menyedot
perhatian penonton Indonesia yang pada umumnya sangat melankolis. Beranjak dari
bangku bioskop, terdengar isakan tangis tertahan di samping kiri kanan depan
balakang saya. Sejujurnya mata sayapun terasa pekat di beberapa adegan. Ah
reza, kau memang keren. Hebatnya sudah hampir sebulan, animo penonton masih
tinggi, Bioskop tua Atrium Senen saja masih penuh sampai kursi paling depan.
Semoga saja film ini mampu menyadarkan penonton Indonesia bahwa masih
banyak film yang jauh lebih bagus dari film hantu-hantu. Produser-produser itu
juga semoga tersadarkan bahwa hidup ini bukan hanya persoalan duit, tanggung
jawab moral dan edukasi jauh lebih penting man!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar