Minggu, 25 November 2012

Akar dan Ranjau Kamboja



Kell terlihat di antara rerumputan, terkapar di atas tanah yang baru muntah, yang dahak-dahak coklatnya berantak melumuri jasad. Tak ada apa-apa yang berarti di rentang 20 meter jarak kami. Namun, kenapa tidak bisa aku mencapainya. Kell, kakimu beroles saus merah, hangus, dan ―hilang.
Bodhy terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkraman Khie Tang, Epona, dan Neang. Kell sudah terpanggang macam barbeque. Tapi tak ada satupun yang bisa ke sana sampai ada detector yang berfungsi. This is a Standard Operating Procedure!
Namun, Bodhy berhasil melepaskan diri, mencari batas aman agar tidak lagi disergap oleh siapapun. Mendekati Kell yang tubuhnya tinggal setengah saja.
sssst. Tak ada ruang untuk kalian. Kini aku harus mendengarkan bumi. Jumput-jumput. Desik daun. Nyanyian batu. Desas-desus tanah. Mereka bicara pada tubuhku yang lebih tahu dan lebih bijak dari isi benak.
Bodhy berhasil mencapai Kell. Bodhy memang seperti kucing, memiliki 1000 nyawa. Berkali-kali lolos dari maut. Bahkan dari maut yang dia buatnya sendiri.
Lutut kanan Kell membengang terbuka. Gua yang tak berongga. Padat oleh cabikan daging bercampur serpihan-serpih logam hitam. Merah mengalir memandikan rumput. Paha kirinya terputus tepat di tengah. Memampangkan tulang putih yang akhirnya merasakan nikmat udara bebas, sensasi yang dulu cuma dikuasai kulit. Namun tulang, daging, dan darah, mensyukuri belaian angin dengan rasa sakit.
Kell menolak untuk dievakuasi. Dia hanya ingin menyelesaikan misi terakhirnya sebelum mati. Perjanjian yang membuat Bodhy seperti orang gila masuk ke Kamboja, dikejar-kejar tentara Khmer, bergulat dengan pria raksasa , dan bertemu Epola yang sedang membersihkan ranjau di hutan belantar, Pailin. di Dia tidak ingin hidup lagi dengan kondisi seperti itu. setengah mati Bodhy menolak permintaan Kell, sekarat Kell memohon agar Bodhy tetap mentatonya. Tato terakhir ke 168, satu-satunya manusia yang ditakdirkan untuk melukisnya di tubuh Kell adalah Bodhy.
Kell menginjak bom dan meninggal dalam perjalanan dari Pailin menuju Batambang, saat dia menyelinap ke semak-semak untuk buang air kecil. Epona, Neang, dan Khie Tang baru menyelesaikan satu detector setelah tato Kell selesai dan Kell menghembuskan nafas terakhir. Epona dan Neang bekerja sebagai deminer untuk CMAC. Peralatan dan suku cadang penjinak bom hanya bisa didapatkan di Batambang. Kell berada dalam rombongan Epona, karena dia tergila-gila pada Epona, gadis kuda pengangkut bom. Namun Kell harus melepaskan satu-satunya nyawanya dengan kondisi yang menggenaskan di hutan belantara Pailin.
======
Cerita fiksi di atas, digambarkan dengan sangat detail dan cerdas oleh Dewi Lestari atau lebih dikenal dengan nama pena “Dee”. Dee merangkai cerita fiksi tersebut dari sebuah kerangka nonfiksi, dipenuhi riset yang tidak main-main, dan tidak lupa dibumbui dengan kekonyolan-kekonyolan mengocok perut. Betul sekali, jika anda pernah membaca Supernova “Akar”, anda tentu akan sangat familiar dengan cerita di atas.
======
Beberapa hari yang lalu, saya meminjam Majalah National Geographic yang tergeletak di meja Pak doni saat pak doni lagi rapat di luar. Ketika pak Doni kembali, saya sedang keluar, dan saya lupa mengembalikan Majalah itu ke tempatnya semula. Hehe, Pak Doni yang baik, dia menawarkan meminjamkan majalah itu di perpustakaan.
======
Saya langsung membuka kembali Novel “Akar” karya Dee setelah selesai membaca halaman 96 NGI berjudul “LADANG PEMULIHAN”. Saya baru tahu kenapa Dee membahas Kamboja dan ranjau di separuh bukunya itu.
========
Dalam peperangan yang membara di Kamboja dari 1970 sampai 1998, semua pihak menggunakan ranjau darat. Terdapat lebih dari 30 jenis. Sebagian besar buatan China, Rusia, atau Vietnam, sebagian kecil dibuat di AS. Pol Pot, yang rezimnya bertanggung jawab atas kematian sekitar 1,7 juta penduduk Kamboja antara 1975  sampai 1979, dikabarkan menyebut ranjau darat  sebagai “tentara yang sempurna”. Mereka tak pernah tidur. Mereka menunggu, dengan kesabaran tak terbatas. Meskipun merupakan senjata perang, ranjau darat tidak seperti peluru dan bom karena dua hal yang khusus. Pertama mereka dirancang untuk melumpuhkan dan bukannya membunuh, sebab tentara yang terluka memerlukan bantuan dua atau tiga orang lainnya, sehingga mengurangi jumlah pasukan musuh. Kedua dan yang  paling jahat, ketika perang berakhir, ranjau darat masih terkubur di tanah, di tanam untuk meledak. Hanya 25 persen korban ranjau darat di seluruh dunia adalah tentara. Sisanya adalah warga sipil.
Meskpun memiliki sejarah yang mengerikan, kamboja kini menjadi teladan bagaimana suatu bangsa dapat pulih dari bencana ranjau darat. Terdapat lebih dari selusin program penjinakan ranjau, pendidikan risiko ranjau darat, dan bantuan bagi penyintas di Negara itu. jumlah lelaki, perempuan, dan anak-anak yang terbunuh atau terluka setiap tahun karena ranjau, sisa peralatan perang, atau IED, telah menurun jauh dari 4.320 pada 1996 menjadi 286 pada 2010.
Jika berkunjung ke Kamboja, anda akan menemukan banyak sekali orang-orang yang tak berkaki.  Seniman jalanan, pelari, gadis-gadis belia, bahkan para penjinak ranjaunya sekalipun. Betapa besar kerusakan yang ditinggalkan oleh perang, bahkan puluhan tahun setelahnya.
Murah dan mudah digunakan, ranjau darat terus mengancam meski konflik telah berakhir. Menurut kampanye internasional pelarangan ranjau darat (ICBL), lebih dari 82.000 orang tewas atau terluka karena ranjau darat dan sisa peledak di 117 negara dan kawasan antara 1999 dan 2001. Hingga kini, 157 negara sudah menandatangani pakta pada 1997 untuk melarang pembuatan, penyimpanan, pengiriman, atau penggunaan ranjau darat. 39 negara termasuk Amerika Serikat belum menandatangani kesepahaman itu. ―Lihat Monster paling munafik itu terus berkelit, kemudian mengklaim diri sebagai Negara paling peduli terhadap perdamaian dunia. Lucu, miris!

I Love Sunday! Feel free…

Sumber :  1. Dee Supernova Akar
                  2. National Geographic Indonesia Edisi Januari 2012
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar