“Kell terlihat di antara rerumputan, terkapar di atas tanah yang baru
muntah, yang dahak-dahak coklatnya berantak melumuri jasad. Tak ada apa-apa
yang berarti di rentang 20 meter jarak kami. Namun, kenapa tidak bisa aku
mencapainya. Kell, kakimu beroles saus merah, hangus, dan ―hilang.”
Bodhy terus meronta-ronta
berusaha melepaskan diri dari cengkraman Khie Tang, Epona, dan Neang. Kell
sudah terpanggang macam barbeque.
Tapi tak ada satupun yang bisa ke sana sampai ada detector yang berfungsi. This is a Standard Operating Procedure!
Namun, Bodhy berhasil
melepaskan diri, mencari batas aman agar tidak lagi disergap oleh siapapun. Mendekati
Kell yang tubuhnya tinggal setengah saja.
“sssst. Tak ada ruang untuk kalian. Kini aku harus mendengarkan bumi. Jumput-jumput.
Desik daun. Nyanyian batu. Desas-desus tanah. Mereka bicara pada tubuhku yang
lebih tahu dan lebih bijak dari isi benak.”
Bodhy berhasil mencapai
Kell. Bodhy memang seperti kucing, memiliki 1000 nyawa. Berkali-kali lolos dari
maut. Bahkan dari maut yang dia buatnya sendiri.
“Lutut kanan Kell membengang terbuka. Gua yang tak berongga. Padat oleh
cabikan daging bercampur serpihan-serpih logam hitam. Merah mengalir memandikan
rumput. Paha kirinya terputus tepat di tengah. Memampangkan tulang putih yang
akhirnya merasakan nikmat udara bebas, sensasi yang dulu cuma dikuasai kulit.
Namun tulang, daging, dan darah, mensyukuri belaian angin dengan rasa sakit.”
Kell menolak untuk
dievakuasi. Dia hanya ingin menyelesaikan misi terakhirnya sebelum mati.
Perjanjian yang membuat Bodhy seperti orang gila masuk ke Kamboja,
dikejar-kejar tentara Khmer, bergulat dengan pria raksasa , dan bertemu Epola
yang sedang membersihkan ranjau di hutan belantar, Pailin. di Dia tidak ingin
hidup lagi dengan kondisi seperti itu. setengah mati Bodhy menolak permintaan
Kell, sekarat Kell memohon agar Bodhy tetap mentatonya. Tato terakhir ke 168, satu-satunya
manusia yang ditakdirkan untuk melukisnya di tubuh Kell adalah Bodhy.
Kell menginjak bom dan
meninggal dalam perjalanan dari Pailin menuju Batambang, saat dia menyelinap ke
semak-semak untuk buang air kecil. Epona, Neang, dan Khie Tang baru
menyelesaikan satu detector setelah tato Kell selesai dan Kell menghembuskan
nafas terakhir. Epona dan Neang bekerja sebagai deminer untuk CMAC. Peralatan dan suku cadang penjinak bom hanya
bisa didapatkan di Batambang. Kell berada dalam rombongan Epona, karena dia
tergila-gila pada Epona, gadis kuda pengangkut bom. Namun Kell harus melepaskan
satu-satunya nyawanya dengan kondisi yang menggenaskan di hutan belantara
Pailin.
======
Cerita fiksi di atas,
digambarkan dengan sangat detail dan cerdas oleh Dewi Lestari atau lebih
dikenal dengan nama pena “Dee”. Dee merangkai cerita fiksi tersebut dari sebuah
kerangka nonfiksi, dipenuhi riset yang tidak main-main, dan tidak lupa dibumbui
dengan kekonyolan-kekonyolan mengocok perut. Betul sekali, jika anda pernah
membaca Supernova “Akar”, anda tentu akan sangat familiar dengan cerita di atas.
======
Beberapa hari yang lalu,
saya meminjam Majalah National Geographic yang tergeletak di meja Pak doni saat
pak doni lagi rapat di luar. Ketika pak Doni kembali, saya sedang keluar, dan
saya lupa mengembalikan Majalah itu ke tempatnya semula. Hehe, Pak Doni yang
baik, dia menawarkan meminjamkan majalah itu di perpustakaan.
======
Saya langsung membuka
kembali Novel “Akar” karya Dee setelah selesai membaca halaman 96 NGI berjudul
“LADANG PEMULIHAN”. Saya baru tahu kenapa Dee membahas Kamboja dan ranjau di separuh bukunya itu.
========
Dalam peperangan yang
membara di Kamboja dari 1970 sampai 1998, semua pihak menggunakan ranjau darat.
Terdapat lebih dari 30 jenis. Sebagian besar buatan China, Rusia, atau Vietnam,
sebagian kecil dibuat di AS. Pol Pot, yang rezimnya bertanggung jawab atas
kematian sekitar 1,7 juta penduduk Kamboja antara 1975 sampai 1979, dikabarkan menyebut ranjau
darat sebagai “tentara yang sempurna”.
Mereka tak pernah tidur. Mereka menunggu, dengan kesabaran tak terbatas. Meskipun
merupakan senjata perang, ranjau darat tidak seperti peluru dan bom karena dua
hal yang khusus. Pertama mereka dirancang untuk melumpuhkan dan bukannya
membunuh, sebab tentara yang terluka memerlukan bantuan dua atau tiga orang
lainnya, sehingga mengurangi jumlah pasukan musuh. Kedua dan yang paling jahat, ketika perang berakhir, ranjau
darat masih terkubur di tanah, di tanam untuk meledak. Hanya 25 persen korban
ranjau darat di seluruh dunia adalah tentara. Sisanya adalah warga sipil.
Meskpun memiliki sejarah
yang mengerikan, kamboja kini menjadi teladan bagaimana suatu bangsa dapat
pulih dari bencana ranjau darat. Terdapat lebih dari selusin program penjinakan
ranjau, pendidikan risiko ranjau darat, dan bantuan bagi penyintas di Negara
itu. jumlah lelaki, perempuan, dan anak-anak yang terbunuh atau terluka setiap
tahun karena ranjau, sisa peralatan perang, atau IED, telah menurun jauh dari
4.320 pada 1996 menjadi 286 pada 2010.
Jika berkunjung ke Kamboja,
anda akan menemukan banyak sekali orang-orang yang tak berkaki. Seniman jalanan, pelari, gadis-gadis belia,
bahkan para penjinak ranjaunya sekalipun. Betapa besar kerusakan yang
ditinggalkan oleh perang, bahkan puluhan tahun setelahnya.
Murah dan mudah digunakan,
ranjau darat terus mengancam meski konflik telah berakhir. Menurut kampanye
internasional pelarangan ranjau darat (ICBL), lebih dari 82.000 orang tewas
atau terluka karena ranjau darat dan sisa peledak di 117 negara dan kawasan
antara 1999 dan 2001. Hingga kini, 157 negara sudah menandatangani pakta pada
1997 untuk melarang pembuatan, penyimpanan, pengiriman, atau penggunaan ranjau
darat. 39 negara
termasuk Amerika Serikat belum menandatangani kesepahaman itu. ―Lihat Monster paling munafik itu terus berkelit, kemudian mengklaim diri sebagai Negara paling peduli terhadap perdamaian dunia. Lucu, miris!
I Love Sunday! Feel free…
Sumber : 1. Dee Supernova
Akar
2. National
Geographic Indonesia Edisi Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar