Minggu, 19 Agustus 2012

MUDIK LEBARAN 2012

Jakarta, 16 Agustus 2012, 2.30 dini hari

Pagi-pagi sekali saya sudah mempersiapkan diri. Perjalanan ini selalu saya tunggu sepanjang tahun setiap tahun sejak masa kuliah. MUDIK. Entah kenapa ritual ini begitu berjiwa dan memiliki magnet yang sangat kuat. Masih jam 3 pagi, saya sudah mandi dan berdandan rapi, diantarkan cici mencari taksi dijalan raya menuju gambir, kemudian naik damri menuju bandara. Beruntung saya berangkat satu jam lebih awal. Di bandara sudah sesak dengan orang yang ngantri check in, padahal baru jam 4 pagi. Selama sejam saya harus menahan pipis yang benar-benar sudah diujung tanduk, karena harus ngantri, selain itu saya tidak bisa meninggalkan barang bawaan saya segede gaban. Tepat jam 6.30 pagi, pesawat sudah take off menuju Makassar. Bayangan rumah, ayah ibu, atting, keluarga, teman-teman yang akan menjemputku di bandara, seperti menari-nari bersama gumpalan awan putih dibalik jendela pesawat. Yang saya rasakan susah digambarkan, mungkin secerah dan sesegar langit biru pagi itu, senangnya bukan main.

Makassar, 16 Agustus 2012, pukul 10.00

Sesampai di Bandara Sultan Hasanuddin, Asad, Adam, dan Dedy sudah menunggu. Seperti biasa kami lesehan sejenak di pelataran pintu keberangkatan, menertawakan banyak hal, menertawakan dedy yang semakin gendut, adam yang tidak puasa, asad yang sok cool. Ketika mahluk bernama asad dan dedy bertemu, maka bisa dipastikan gigimu akan kering karena ketawa. Meskipun tinggal satu kota, mereka ternyata jarang bertemu.

Makassar sudah jauh berubah. Sayangnya berubah menjadi tak terkendali. Macet dimana-mana. Lebar jalanan tidak mampu mengimbangi pertumbuhan jumlah kendaraan yang menggila. Ruko-ruko berjejal disepanjang jalan. Setiap tiang, pohon, atau apapun yang berdiri tegak, dipenuhi baliho-baliho calon gubernur yang setengah mati ingin terpilih. Panas Makassar sungguh menyengat. Jauh lebih panas dari Jakarta. Sepanjang jalan saya dan asad terus menggerutu. Sepertinya Makassar bukan lagi kota yang ramah untuk dijadikan tempat domisili. Saya merindukan kota itu karena orang-orangnya, kenangannya, semangatnya, keras kepalanya, tapi tidak dengan jalanannya, regulasinya, sistemnya, kerakusan para penguasanya.

Saya memang sudah merencanakan untuk singgah di Makassar dulu, sebelum melanjutkan perjalanan ke kampong halaman di Lonrong Kabupaten Bone. Namun saya harus menitipkan barang-barang saya terlebih dahulu di kos-kosan saudara saya Lusi. Setelah itu, baru kemudian ke rumahnya Ana dan nongkrong di sana beberapa jam. Disana ada Ana, Asad, Dedy, Dimas, Adam, dan Nini. Kamipun merencanakan untuk nonton perahu kertas. Dua orang sangat exited dan kegirangan Ana dan Nini. Asad Dedy dan Dimas biasa saja. Adam mencak-mencak tidak sepakat tapi tidak mau bilang tidak. Terus beralibi bahwa nonton di bioskop itu tidak asik karena tidak bisa ngobrol. Meskipun pada akhirnya mereka semua ikut.

 Perahu Kertas merupakan film based on novelnya dewi lestari atau lebih dikenal dengan Dee. Saya, Nini, dan Ana sama-sama sangat menyukai novel itu. Karena motor cuma tiga, sementara kami bertuju, akhirnya saya, nini, dan Asad berboncengan tiga, sambil terus mengawasi apakah ada polisi di depan sana. Tepat Jam 14.20, filmnya baru dimulai. Kami cewek-cewek pecinta novel perahu kertas, tidak henti-hentinya tersenyum, melihat sosok Kugi dan Keenan. Karakter Kugy dan Keenan dalam novel, lumayan bisa direpresentasikan oleh dua anak muda yang sangat cantik dan tampan Maudy Ayunda dan Adipati Dolken. Adam dan Dedy terus berkomentar. Kata Adam, tempat macam apa ini, masa kita dilarang memberikan apresiasi terhadap sesuatu yang perlu diapresiasi. Dia pengennya teriak dan tertawa sesuka hati seperti di hutan tempat dia berdomisili. Sementara orang-orang di bioskop itu memang agak jaim bahkan terlalu jaim. Jadilah kami yang paling berisik.

Secara keseluruhan filmnya tidak mengecewakan. Kata dedy, untuk film skala ringan, filmnya bagus. Film yang bagus itu, ketika dialog-dialognya bisa dipetik menjadi kata-kata sakti. Yang satu ini, sepertinya tidak ada. Hahah. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, kami menyempatkan diri ke danau unhas tetapt di pelataran Ipteks. Ditempat itu terlalu banyak kenangan. Hahah. Sambil duduk memandangi air danau yang tenang dan berwarna agak kehijau-hijauan karena tercemari limbah rumah sakit, kami juga dihibur oleh sekumpulan anak Teater kampus yang sedang latihan. Setelah puas dan sesi foto-foto sudah dilaksanakan kami melanjutkan perjalanan ke BTP, tempat kami akan berbuka, warung kampong Nike Ardilla. Warung itu dipenuhi oleh gambar dan aksesoris dari Nike. Siaran TVnya juga cuma mengulas tentang Nike.

Seperti biasa, sang Malam tidak pernah telat barang sedetikpun untuk menjemput sang Siang. Itu artinya saya harus segera ke kosan Lusi dan melanjutkan perjalan menuju Bone.

Lonrong, 17 agustus 2012, Pukul 01.20
Jam 1.20 dini hari saya baru sampai di rumah, di kampung halaman tercinta. Kampung yang selalu jadi bahan ledekan wawan, kampung yang seperti hutan dan jalanannya jelek katanya. Heheh. Disinilah rumah saya sesungguhnya, tempat dimana saya akan kembali kapanpun saya mau, tempat paling nyaman sedunia. Setiap kita punya konsep “ternyaman” masing-masing. Ibu dan ayah masih melek menunggu kedatanganku. Atting memang belum tidur jam segini. Kami tidak tidur lagi sampai subuh melepas rindu dan ngobrol banyak hal.

 Lonrong, 17 Agustus 2012, Jam 11 pagi menjelang siang

Pagi ini udaranya sangat segar, sinar matahari sudah menerangi kamarku, masuk melalui celah jendela, yang kain gordennya sudah disingkap oleh ibu pagi-pagi sekali. Semangat dan Baterai saya sudah full kembali. Tempat ini selalu membawa kedamaian. Disinilah saya ingin beberada. Seminggu rasanya tidak cukup. Saya ingin lebih lama. Sekiranya bisa. Harusnya bisa.   Life is great..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar