Arus balik, adalah buku pertama yang aku baca
dari sekian banyak karyanya yang gemilang. Waktu itu aku masih di semester-semester
awal menjelang pertengahan kuliah. Sungguh disayangkan baru mengenal penulis sekaliber
dia di usia yang bisa dibilang sangat telat untuk melek buku-buku bagus. Jika
tidak bergabung dengan unit kegiatan pers mahasiswa (UKPM) yang hari ini
berulang tahun, mungkin akan lebih telat lagi aku mengenalnya. Sebelumnya aku hanya
terbuai dengan novel-novel remaja atau detektif, dan buku inovasi, belakangan
buku inovasi selfhelp atau apapun namanya tidak kusentuh lagi.
Selanjutnya aku berkelana dengan tetralogi Pulau Buru
dan semakin terkesima dibuatnya. Keempat buku itu sangat kaya dengan informasi
dan dibangun dengan kekaguman dan kecintaan pada ilmu pengetahuan.
Setelah sekian lama tak membaca buku-bukunya Pram
lagi, beberapa bulan lalu aku membeli Panggil Aku Kartini, tapi tak habis aku
baca, entah kenapa aku tidak mendapatkan energi seperti di arus balik atau di Tetralogi
Pulau Buru. Terakhir, aku ke
toko buku loak senen dan seperti biasa langsung menuju tokonya bang Mora si
Batak ganteng dan slengean, mataku langsung tertuju pada Nyanyian Sunyi Seorang
Bisu (NSSB), tanpa babibu langsung kubawa pulang dengan harga yang lumayan murah 30 rb. Sebenarnya ada dua bagian, tapi aku hanya
membeli bagian pertamanya saja dulu.
Mungkin terlalu prematur untuk membagi apa yang
aku baca di NSSB ini, tapi sudah terlalu banyak yang aku dapat dan tak kuasa lagi untuk kusimpan sendiri. Selain itu, aku
tidak bisa mengandalkan ingatanku saja, makanya harus aku tulis.
======
Tak kenal maka tak sayang. Pepatah kuno itu memang benar adanya. Jika tidak mengetahui pribadi Matt Damon yang asli, maka kekagumanku pada film-filmnya Damon mungkin tidak akan sefanatik sekarang. Nyanyian Sunyi Seorang Bisu (NSSB) baru aku baca setengah, dan semakin aku kagum pada sosok Pram dan bertekad ingin membaca ulang Arus Balik dan Tetralogi Buru. NSSB adalah catatan harian Pram selama dikebiri di pulau Buru yang kemudian dikumpulkan menjadi buku. Pram menghabiskan hampir separuh dari usianya dari penjara ke penjara dan dan terakhir dalam pembuangan di pulau Buru, tanpa pernah dibawah ke pengadilan dan diberitahukan kesalahannya apa. Setelah 14 tahun dijadikan sebagai tahan politik (tapol) di pulau Buru, Pramoedya dibebaskan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jaktim selama kurang lebih 2 tahun. Oh shiiit itu bukan waktu yang singkat man, 34 tahun!
Goenawan Muhammad pernah membandingkan Pram
dengan Nelson Mandela dan menceramahi Pram meminta kebesaran hati Pram untuk
memaafkan rezim yang pernah menzaliminya “orde baru”, seperti Mandela memaafkan
orang-orang kulit putih (apharteid). Namun Pram menolaknya dengan keras,
jangankan Goenawan Muhammad, permintaan maaf Gusdur saja dia tolak. Tanggapan
Pram berjudul “Saya Bukan Nelson Mandela” atas kesoktahuan Goenawan Muhammad itu belumlah
lama aku baca, ini tidak lebai, tapi aku
dapat merasakan kepedihan Pram saat menulis tanggapan itu. Kasus Mandela dengan
Pram adalah dua hal yang berbeda. Mandela memang pernah dipenjara selama 27
tahun dan
setelah keluar dia
memaafkan apartheid yang pernah menzaliminya. Mandela tentu dengan besar hati
mampu melakukan itu, karena Apartheid waktu itu kalah, dan Mandela mampu
menunjukkan bahwa apa yang dia perjuangkan dan dia menangkan adalah harga mati
dan diakui seluruh dunia. Sementara Pram, dia dipenjara tanpa pernah diadili terlebih
dahulu, setelah keluarpun tak pernah ada penegakan hukum ataupun permintaan
maaf oleh bangsa Indonesia melalui institusi resmi. Dalam tanggapannya, Pram dengan jelas menginginkan penegakan hukum
bukan hanya kepada dirinya sendiri tetapi kepada seluruh korban pembantaian dan
penculikan, tapol, dan keluarga-keluarga yang dikucilkan di negerinya sendiri, bukan permintaan maaf
basa-basi. Fakta pembantaian setengah juta manusia pada tahun 1965,
penghilangan, dan pembuangan tahanan politik di pulau Buru tidak pernah dibawa
kepengadilan, semuanya menguap begitu saja, seperti tidak pernah terjadi
apa-apa. Bagi Pram ini bukan hanya soal penderitaan, ini adalah menyangkut
memperjuangkan hak dan kebenaran. Di bagian akhir tanggapannya atas surat GM,
pram menulis kepedihan dan amarah yang membatu berikut ini:
“Gunawan mungkin mengira
saya pendendam dan mengalami sakit yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat
kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua
yang dimiliki bangsanya sendiri.
Saya sudah memberikan semua
kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda, sampai setua ini. sekarang saya
sudah tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan
mungkin saya akan mati karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak
lagi bisa menghibur saya!”
=======
Pada waktu membaca Arus Balik dan tetralogi Pulau Buru, aku sama
sekali tak mengetahui motif atau maksud dari ditulisnya roman tersebut. Aku hanya
membacanya sebagai novel semi-fiksi sejarah yang kompleks dan sangat mengalir
dan tentunya keren. Tak pernah kubayangkan bahwa buku sekeren itu ditulis ditengah
penderitaan, penyiksaan, dan penghinaan dalam pembuangan. Bagaimana kalau buku
itu ditulis ditengah fasilitas dan referensi buku yang berlimpah seperti yang
dipunyai penulis-penulis masa kini? Pantaslah pram begitu dieluk-elukan di luar
negeri, bahkan karya-karyanya dijadikan sebagai bacaan wajib di sekolah-sekolah
lanjutan di Amerika Serikat. Lucunya di Indonesia, dalam waktu yang cukup lama karya-karya
Pram di larang beredar. Sampai sekarangpun doktrinisasi tentang Pram yang jahat
dan tak boleh dibaca karya-karyanya masih sangat kuat.
Pernah suatu kali, ibu-ibu teman kantorku memintaku menemaninya
membelikan anaknya buku sastra. Katanya buku itu sebagai syarat untuk masuk ke
sekolah pesantren. Dengan semangat aku mengantarkannya dan memilihkan Bumi
Manusia, sebetulnya aku ingin memilihkan Arus Balik, tapi tak kami dapatkan. Aku
pikir, adakah karya sastra indonesia yang lebih sempurna dari pada roman-romannya
Pram? Sesampai di kantor, salah seorang teman melihat buku itu, dan langsung
bereaksi keras. “Wah ini bahaya nih bu,
jangan buku ini, zzzzzzzzzzz, penulisnya ateis, zzzzzzzzzzz, komunis,
zzzzzzzzzzzzz”. Ibu itu ketakutan, dan buku itu terpaksa beralih kepadaku,
jadilah koleksi Bumi Manusiaku bertambah menjadi dua. Separah itu ketakutan
masyarakat kita pada karya-karya Pram, satu-satunya manusia indonesia yang
hampir diganjar nobel sastra namun tidak jadi karena dianggap komunis.
Masyarakat kita menghindari pram dan juga kawan-kawan seperjuangannya seperti menghindari
bom yang akan meremukkan dan mencincang-cincang
tubuhnya, mencap karya-karya pram sebagai barang haram tanpa pernah mencari
tahu karya pram itu seperti apa sih. Jangankan orang-orang yang tidak sekolah,
tamatan megister pun bahkan profesor masih banyak yang bertingkah seperti itu. Miris...., bagaimana Pram tidak sakit hati
atas perlakuan bangsa ini padanya.
=======
Dari Nyanyian Sunyi Seorang bisu, aku menemukan fakta-fakta:
Bukan hanya Pram yang ditahan oleh rezim orde
baru atas kesalahan yang tidak pernah mereka perbuat, tetapi ketiga adiknya
juga ikut ditahan : Waluyadi Toer, Koesalah Subagyo Toer, dan Seosilo Toer.
Bahkan Soesilo ditangkap di lapangan terbang Halim setibanya dari Moskwa
menyelesaikan doktornya di Universitas Lumumba.
Pram menyelesaikan Arus Balik pada tahun 1974,
delapan tahun setelah dia dikirim ke pulau Buru. Dalam NSSB, pram menjelaskan
tema Arus Balik adalah bahwa pada jaman Majapahit arus mengalir dari selatan ke
utara: kapal, muatan, dan pengaruh. Setelah kejatuhan majapahit, yaitu cerita
yang termaktub dalam naskah itu sendiri, arus berbalik dari utara ke selatan:
kapal, muatan, pengaruh. Kebesaran
nusantara dapat diukur dari jalannya arus ini.
Tetralogi Pulau Buruh dikerjakan Pram pada saat
tefaat di pegang oleh Kolonel Soetikno tahun 1974 ke
atas. Ide utama dari keempat buku luar biasa itu adalah mengenai periode
kebangkitan nasional. Dalam bukunya tersebut, Pram menuliskan “Kebangkitan nasional bukanlah satu peristiwa
sebagaimana biasanya umum menganggap, dan dihubungkan dengan lahirnya Boedi
oetomo pada 20 Mei 1908. Kebangkitan nasional adalah suatu proses, satu
periode, dalam mana lahirnya Boedi Oetomo bukan satu-satunya peristiwa sejarah,
tetapi satu mata rantai belaka dan tidak
lebih, juga tidak lebih penting daripada yang lain, juga tidak kurang penting
daripada yang lain. Dan Pram memiliki dugaan yang tidak sepatutnya, bahwa
pidato-pidato tentang kebangkitan nasional yang biasa diucapkan pada tanggal 20
Mei, pada umumnya dilakukan oleh orang yang lebih sedikit pengetahuannya
tentang kebangkitan nasional itu sendir. Barangkali dengan penyusunan roman itu
bisa memberikan sedikit bantuan pada generasi yang lebih muda untuk mengetahui
awal dari sejarah modernnya sendiri”. Pikiranku langsung kembali meraba-raba
keempat tetralogi Pulau Buru dan menarik benang merah dengan apa yang
dijelaskan Pram dalam NSSB. Aku baru paham sosok Minke di Bumi Manusia yang
sangat haus akan ilmu dan perkembangan teknologi, kemudian merantau dan
membangun organisasi juga media massa dalam rangka mendukung perjuangannya,
adalah bagian dari periode kebangkitan nasional yang panjang itu.
Fakta lain, dalam
menulis anak-anak ruhaninya tersebut, Pram mengatakan bahwa dia terus diganggu
oleh perasaan tidak puas, karena cerita itu tidak dilandasi oleh perpustakaan
yang mencukupi. Bahaya tuduhan memalsu sejarah tetap terbuka dan bisa dilakukan
oleh anak sekolah dasar sekalipun. “Aku
bekerja hanya dengan modal sisa-sisa yang tertinggal dalam ingatan, maka juga
tak ada jalan lain bisa ditempuh daripada minta pendapat dan koreksi atas
naskah yang tersusun pada teman-teman untuk bisa agak disempurnakan dalam
penyusunan kembali kemudian. Dan tak ada orang yang paling tidak puas daripada
aku sendiri sebagai pengarangnya”.
Pram memang sudah mempersiapkan penulisan roman
tentang awal kejatuhan nusantara (Arus Balik) dan periode kebangkitan nasional
(Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) jauh sebelum
dia dijebloskan ke penjara dan di buang ke pulau buruh. Dia sudah berjanji
bahwa di usianya yang ke 40 akan menulis roman. Namun apa yang terjadi, tepat diusianya yang ke 40, tahun 1965, dia ditahan, dan
semua bahan yang telah dia kumpulkan dengan susah payah dan mahal, binasa di
tangan orang-orang yang tidak mengerti. Perpustakaan dan ensiklopedi sejarah
gerakan kemerdekaan nasional 1900-1945 yang telah dia susun sebanyak kurang
lebih 750 kontigen diberangus habis oleh orang-orang tak berakal. Hal inilah
yang paling membuat Pram sangat sakit hati.
“sudah aku
usahakan sekuat daya agar semua itu (perpustakaan) tinggal selamat. Pada
seorang Letkol Kostrad, waktu aku dibawa aku berpesan kalau Negara hendak ambil
itu, ambillah, jangan sampai dirusak, karena dia punya harga nasional.
Kenyataannya justru lain, kertas-kertas itu malah dijual orang dipinggir jalan.
Jika yang dipermasalahkan oleh orang-orang yang menakuti Pram, bahwa
pram adalah seorang atheis dan PKI, toh saat dibebaskan pada 21 Desember 1979 Pram mendapatkan surat pembebasan
secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI. Saat
ditanyai tentang agama oleh Mayor
Soepanji di pulau Buru, pram mengatakan:
Aku
memang dari keluarga islam dan tak pernah bisa berpikir lain daripada islam. Namun
dia juga tidak menampik bahwa dia mempelajari filsafat dan teologis agama lain.
“Aku sendiri tidak pernah percaya, bahwa
ada atheis di dunia ini, selama manusia membutuhkan kepercayaan, dan nilai
rendah yang bersifat praktis sampai tertinggi”.
Lagi pula, siapa kita yang seenaknya menilai keimanan dan drajat
seseorang di depan Tuhan.
======
Membaca karya pram dan mempelajari Pram seperti berkelana ke masa
lalu namun dalam sekali waktu kita bisa terpental jauh ke masa depan. Sungguh rugi
kita anak-anak bangsa yang masih menutup mata, telinga, dan hati terhadap ilmu
pengetahuan dan kenyataan masa lalu bangsa sendiri.
Sayangnya itu masih saja terjadi, kita masih saja kolot dan kolot dan
kolot sekolot-kolotnya. Pembatalan acara
bedah buku Tan Malaka di C20
Library Jalan Dr Cipto, Surabaya, Jawa Timur, Jumat 7 Februari 2014, menyusul puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah
elemen yang tergabung Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur yang memaksa datang di lokasi acara untuk membubarkan
paksa bedah buku tokoh revolusioner tersebut, seperti mengorek-ngorek luka dan mempecundangi bangsa sendiri.
Jika kebanyakan
dari kalangan terpelajar mencak-mencak atas perlakuan bangsa indonesia kepada
Habibie yang ternyata lebih dihormati dan terkenal di luar, Pram dan Tan Malaka
tak kalah berjasanya bagi bangsa indonesia dan jauh lebih terkenal di luar. Tapi
kenapa masih saja kita menutup mata?
=======
9 Februari 2014
Singing:
Rajin
baca jadi pintar
Malas baca
jadi FP*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar