Minggu, 03 November 2013

Surat untuk Purnama #4


Terimakasih sudah membalas suratku.

Jika bukan karena janji, aku berencana ingin ngambek dan tidak dulu membalas suratmu. Isi suratmu yang pertama agak menyinggungku, kau menudingku nenek-nenek  yang  sok tahu. Kau tahu, semakin berumur seseorang, semakin dia menjadi sensitif. Tapi aku memaklumi, kamu anak muda yang masih impulsif, aku tahu kamu tak bisa menahan isi benakmu terkerangkeng dikepala tanpa kamu konversi menjadi kata-kata (menyakitkan sekalipun). Aku yang menawarkan model komunikasi macam ini, kau tahu aku tak akan melanggar janji, jadi tenang saja.

Suratmu yang terakhir membawaku kembali ke masa-masa saat kuliah di Tanah daeng, kemudian mengungsi ke Tanah Babe. Hidup di Tanah Daeng memang keras, tapi di Tanah Babe tidak kalah kerasnya. Di Tanah Daeng mudah menemui orang-orang membentak-bentak atau memaki di jalan raya, di Tanah Babe pun begitu. Tetapi, Tanah Babe lebih mengerikan dan lebih memprihatinkan menurutku, disana penduduknya tiap hari dicekam rasa takut, was-was, dan tidak percaya kepada siapapun. Di angkot-angkot preman menodong dengan sangat vulgar, berceramah tentang utamanya berbagi dan peduli kepada gelandangan, dari pada menjadi preman lebih baik meminta-minta katanya, dan kemudian menyayat-nyayat kulitnya dengan silet (sampai sekarang aku tak mengerti maksudnya apa), selanjutnya meminta atau tepatnya menodong dengan tarif minimal yang sudah dia tentukan, dan memaki-maki penumpang yang tidak memedulikannya. Ada pula yang membawa anak berumur beberapa bulan, sempoyongan memalak para penumpang dengan semburan bau alcohol dari mulutnya, aku masih ingat wajah bringas itu, keterlaluan! Di setiap sudut Tanah Babe, kita bisa menemukan pengemis, gelandangan, atau orang gila. Orang yang masih tenang-tenang saja dan tidak gelisah dengan kondisi seperti itu patutlah dipertanyakan kondisi psikologinya.  

Selain mental yang bobrok, ketidak mampuan Pemerintah menyediakan lapangan kerja dan pendidikan yang merata dan murah adalah pemicu itu semua. Sayangnya, sebagian besar dari penduduk Tanah Babe hanya melihatnya dari sisi yang pertama (mental bobrok) saja, mereka tak mampu melihatnya dari aspek yang lebih besar dan menyeluruh. Memandang rendah orang-orang miskin sebagai kelas tidak terdidik dan malas, tanpa melihat penyebab utamanya apa. Harusnya ada upaya memperbaikinya dari berbagai aspek!

Kehidupan di Tanah Babe (mungkin juga di kota-kota lain) mendidik penduduknya menjadi seperti mesin, tidak punya keinginan lain selain mengumpulkan uang dan hidup nyaman bersama keluarga. Untuk mencapai itu, sekali lagi, mereka menjadi sangat egois. apa kau merasakannya? setiap hari di jalan raya, kau tidak peduli lagi dengan orang-orang disekitarmu, tidak peduli ada kecelakaan di depan sana selama tidak menyebabkan kemacetan, sebaliknya kamu akan mengumpat karena macetnya jalan raya akibat ada dua orang anak sekolah meninggal tertabrak bus, kamu mengumpat dan panik karena gajimu dipotong akibat telat sampai ke kantor. Miris. Semakin maju perkembangan zaman, semakin mundur peradaban dan moral kita.

Tapi Purnama, betapapun menyebalkannya kota itu, selalu saja kita bisa menemukan malaikat-malaikat yang menjelma ke dalam bentuk manusia. Para pemulung itu, pedagang asongan, petugas kebersihan, aku melihat surga di mata mereka. Kesabaran, kejujuran, pantang menyerah, dan kerja keras mereka, membuatku merasa sangat kerdil. Senantiasalah mendoakan orang-orang seperti mereka Purnama.

Purnama, kita tidak akan membicarakan hal-hal yang terlalu pribadi, termasuk apakah rambutku sudah memutih semua, kapan aku menikah, siapa suamiku, apakah saat ini aku sudah punya cucu, apakah kondisi ekonomiku baik atau buruk, atau bagaimana detailnya caraku mendidik anak-anakku. Kita hanya akan membicarakan kondisi di lingkungan kita, atau apa saja yang terlintas dikepala, tentang pendapat, ide, ketidaksepakatan, dan semacamnya. Mengenai kehidupan pribadiku, biarlah menjadi misteri, begitu juga dengan kehidupan pribadimu, simpanlah untuk dirimu sendiri dan untuk orang-orang yang memang punya keterkaitan dengannya.

Nabi Muhammad SAW, manusia termulia yang pernah di ciptakan oleh Allah SWT, apa dia pernah menceritakan soal hubungannya dengan anak dan istrinya atau sahabat-sahabatnya? Tidak Purnama, dia hanya memberikan contoh dan kemudian di riwayatkan oleh orang-orang terdekat dan sahabatnya. Dia Manusia berahlak paling mulia tidak pernah dengan narsisnya menceritakan kehidupan pribadinya, apalagi merasa bangga dengan itu. Tidak ada satupun foto atau lukisan wajah Nabi Muhammad SAW yang beredar di muka bumi ini, dia tidak ingin dipuja! Lantas kenapa kita yang begitu banyak keterbatasan ini begitu ingin di puja? Apalagi sejak adanya Sosial Media yang dipopulerkan oleh Mark Zuckerberg itu. Tiba-tiba semua orang menjadi sangat narsis, tidak hanya mengapload fotonya tiap jam tiap hari, tapi juga menceritakan semua kegiatan sehari-harinya termasuk hal yang sangat pribadi sekalipun. menyedihkan karena kita juga menjadi bagian dari kegiatan gila itu.  

Oh ya, soal Gie, kamu ingat cerita Adam, katanya sewaktu Nikolas Saputra datang ke Tanah Daeng dalam rangka promosi filmya berjudul Gie? bukannya disambut teriakan histeris, dia malah didatangi sekelompok anak muda dekil gondrong bau keringat, protes karena Nikolas dianggap tidak pantas menjadi sosok Gie. Ah mereka iri saja dengan kegantengan Nicolas. hahaha. Bacalah sampai akhir, mungkin kamu akan kecewa pada beberapa bagian.

Aku sangat senang dengan cerita-ceritamu, aku seperti di serang de javu bertubi-tubi.

Terima Kasih Purnama
November 2046

2 komentar: