Pada hari ini, kita bersama sama akan
menyaksikan sebuah peristiwa, dimana kebrutalan kapitalisme, tidak akan mampu
menggusur akal sehat dan hati nurani bangsa ini. Kita menyaksikan keangkaramurkaan, betapa(pun)
besar kekuatan yang digunakan gubernur DKI jakarta, tidak akan mampu
mengalahkan kami yang kecil ini, rakyat jelata, yang meskipun kami sudah lama
diperlakukan secara tidak adil, saksikanlah kami tidak takut, tidak jera,
karena kami punya harga diri! kami akan melawan dengan sikap dan jiwa yang
besar tanpa kekerasan!
Kami mengajak seluruh warga Jakarta, yang
mempunya hati nurani, untuk merapat dan tidak takut lagi dengan ancaman dan
kebrutalan pembangunan kota Jakarta, yang hanya mementingkan tembok-tembok dan gedung-gedung
besar, tetapi melupakan ekonomi rakyat kecil, melupakan kemanusiaan yang adil
dan beradab. Kami sudah lama melakukan sikap yang lebih berbudaya ketimbang
Pemprov DKI yang main gusur, sementara orang-orang kaya yang membangun kotanya
di pulau reklamasi, tanpa ijin, tanpa IMB, tanpa Raperda, dibiarkan begitu saja!
Sebuah tindakan yang tidak adil! Bagaimana mungkin rakyat kecil, yang mempunyai
sertifikat dan bukti-bukti kepemilikan tanah dikatakan tidak pantas memilikinya,
hanya karena miskin?
Sandyawan berorasi sesaat sebelum Bukit Duri diluluhlantahkan aparat/Sumber Facebook |
Penggalan
orasi di atas diteriakan dengan nada lantang bergetar oleh seorang lelaki paruh
bayah ringkih, dengan topi baret yang bertengger dikepalanya, di sebuah pagi
yang kelam, di perkampungan Bukit Duri, sesaat sebelum diluluh lantahkan oleh
buldozer dan gerombolan robot-robot bermuka datar suruhan Gubernur DKI sang
penguasa Jakarta Raya. Pria yang disapa Romo Pemulung itu tidak bisa tinggal
diam menyaksikan kezaliman menimpa ratusan keluarga, ibu-ibu dan anak-anak,
kehilangan tempat tinggal, kehidupan sosial dan mata pencaharian mereka, dalam
sekali waktu. Romo kelahiran Jeneponto bernama lengkap Ignatius Sandyawan Sumardi itu, terus melawan dan mengadvokasi
masyarakat, menolak penggusuran dan pemindahan ke Rusunawa di luar jangkauan
kemampuan ekonomis warga yang sudah turun-menurun bermukim di kawasan Bukit
Duri. Namun demikian, meskipun proses gugatan class action warga Bukit Duri masih berlangsung di pengadilan,
pemerintah tetap melakukan penggusuran dengan dalih telah melaksanakan sesuai
prosedur karena telah memberikan surat peringatan kepada warga.
Dalam sebuah
video yang diunggah di Youtube oleh akun Iman D Nugroho berjudul Babak Baru
Perlawan Sandy, Pria yang belakangan menolak disapa Romo itu menjelaskan dengan
ilmiah dan tenang terkait fenomena penggusuran yang menjadi kebijakan favorit
pemerintah saat ini.
Sejak tahun 1990, ada 3000 sampai 7000 KK
warga miskin urban yang digusur paksa tanpa diberi solusi alternatif yang
berarti. Ternyata akumulasi ini tidak berubah bentuknya bahkan sampai dengan
sekarang. Jumlah internally displaced persons (pengungsi dalam negeri)
meningkat karena penggusuran. Jaman ini adalah jaman pragmatisme pembangunan,
utamakan pembangunan infrastruktur fisik, sementara infrastruktur sosial, ekonomi
dan budaya hancur lembur. ketika infrastruktur fisik diutamakan, justru infrastruktur
ekonomi kocar-kacir. Bagi warga yang paling utama adalah pekerjaan sektor
informal, bukan tempat tidur atau tempat tinggal, betapapun tampak mewahnya.
Banyak diantara warga yang memiliki bukti kepemilikan pervonding indonesia,
akta jual beli, PBB, dsb. Apakah pemprov DKI punya bukti kepemilikan? seluruh
tanah di negeri ini adalah tanah negara, dikuasai negara, tetapi kalau
pemerintah menyatakan itu tanahnya maka pemerintah harus menunjukkan bukti
kepemilikan!
Saat
ditanya soal alternatif gubernurmu siapa, Sandy menjawab
Itu
bukan pertanyaan buat saya, bagi saya itu tidak relevan. Coba berpolitik itu politik
tentang kemanusiaan, yang mengurus perkara-perkara hidup rakyat yang sederhana,
bukan sekadar politik artifisial, politik pilkada, politik tawar menawar, dagang
sapi, berebutan uang dan kekuasaan. Saya selalu hidup di dataran rendah Jakarta,
saya merasakan sekali kehancuran kohesi sosial masyarakat. Bagaimana mungkin
rumah-rumah di pulau reklamasi, yang sama-sama rumah-rumah tidak punya IMB,
tapi pulau reklamasi itu raperdanya belum selesai, tidak digusur? Kalau kebiasaan berbohong dan mengubah
kebijakan sesuai selera dengan keyakinan sendiri, tanpa pernah mendengarkan
aspirasi rakyat dan berjalan secara membabi buta di dalam kekuasaan ini, rakyat
akan membuat perhitungan!
Karena aktivitas sosial dan advokasinya itu,
Ahok-pun menuding Sandy sebagai provokator dan penghasut warga Bukit Duri.
Tudingan Gubernur DKI Jakarta tersebut kemudian diamini oleh gerombolan para
pendukungnya. Bermacam-bermacam tudingan mulai dari penipu, pelestari
kemiskinan, penjual kemiskinan, makelar tanah, pemberontak, anti-pemerintah, provokator,
iblis, pengkhianat sampai komunis dan kriminal diterima Sandy.
Sandy mencintai orang-orang miskin lebih dari
dia mencintai diri dan keluarganya. ia memilih jalan sunyi sejak di usia yang
masih sangat belia. Selepas SMP, atas pilihannya sendiri, Sandyawan melanjutkan
sekolah ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang. Pertengahan tahun 1980-an, ia pun memutuskan
untuk masuk kuliah ke Seminari Tinggi di Yogyakarta. Pada tahun 1988, Sandyawan
ditahbiskan menjadi Pastor dari Serikat/Ordo Yesuit. Ordo Yesuit adalah ordo terkemuka dalam agama
katolik dimana anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang terpelajar dan
berpengalaman. Mereka tidak hanya ahli dalam bidang teologi, tetapi juga
dalam ilmu sains, ekonomi, budaya, sastra dan sebagainya.
Ketertarikan Sandyawan untuk berbaur dan
mendalami kehidupan masyarakat kecil dimulai sejak ia masih di bangku
kuliah. Setiap kali masa liburan perkuliahan datang, ia selalu minta izin
kepada Pastor Provinsial Serikat/Ordo Yesuit,
untuk mendapatkan tugas mendalami kehidupan kaum miskin, yang tersisih dari
proses pembangunan di negeri ini. Caranya cukup unik, yaitu dengan menyamar dan
berbaur sehingga kelompok sasarannya sama sekali tidak mengetahui statusnya
sebagai seorang biarawan.
Amatlah tidak beralasan dan terburu-buru jika
menuding Sandy sebagai penjual kemiskinan dan penipu, sementara seluruh
hidupnya dipersembahkan untuk membantu dan mendampingi penduduk miskin. Sandy
bukanlah politisi atau peneliti yang turun ke perkampungan kumuh untuk
kepentingan tertentu. Dia hidup dan menyatu didalamnya, dan berontak ketika ketidakadilan
datang padanya.
Tak banyak yang bisa menyamai sepak terjang
Sandyawan dalam mendalami kemiskinan, ia bahkan melakukan penyamaran menjadi
orang miskin terlebih dahulu baru kemudian serius mengadvokasi masyarakat
miskin. Penyamarannya yang pertama adalah sebagai buruh pabrik gula di Kendal, Jawa tengah. Di sana, selama sebulan penuh, Sandyawan bekerja sebagaimana layaknya seorang
buruh pabrik gula: mengangkat tebu ke truk dan lori, lalu memisah-misahkan
akar, batang, dan klaras tebu untuk kemudian diolah di pabrik. Pada musim
liburan berikutnya, ia kembali menyamar dan berbaur namun kali ini sebagai
petani di sebuah desa di Wonosari. Sandyawan juga pernah menyamar dan berbaur
dengan para buruh pabrik di kawasan Jakarta Timur, seperti Cibubur, Ciracas,
dan Cijantung. Penyamarannya yang paling lama yakni dua bulan lebih adalah
bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik susu di kawasan Cijantung. Selama
menyamar dan berbaur inilah ia banyak berbicara dan bertukar-pikiran dengan
para buruh tentang masalah-masalah perburuhan yang mereka hadapi.
Di sela-sela masa perkuliahan jurusan Teologi
pada Seminari Tinggi di Yogyakarta itulah, Sandyawan pernah menjadi koordinator
perkampungan sosial di Pingit, Yogyakarta. Di sini ia mendampingi para keluarga
gelandangan yang biasa berkeliaran di kawasan Malioboro. Bersama beberapa
temannya, Sandyawan juga pernah membantu Romo Mangun mendampingi masyarakat Kedung Ombo yang tanahnya digusur untuk proyek pembangunan waduk. Kaum pemulung dan
anak-anak jalanan merupakan kelompok sasaran yang diutamakan oleh Romo Sandy.
Perhatian kepada kaum pemulung, terutama tampak dari pendidikan keterampilan
dan dasar (menulis dan membaca) bagi para pemulung dan anak-anak jalanan yang
diberikan secara rutin.
Sandyawan juga pernah berurusan dengan aparat
keamanan, yaitu saat maraknya pembersihan becak di akhir era 1980-an. Memang, ketika itu Sandyawan sempat mengumpulkan ratusan
tukang becak untuk mengadukan masalah mereka ke DPR. Sebuah pertemuan para
tukang becak yang dipimpinnya sempat dikepung oleh aparat keamanan. Keterlibatan Sandyawan dalam pembelaan dan
penegakan Hak Asasi Manusia berlanjut melalui perannya sebagai Sekretaris Tim
Relawan Penanganan Korban Kerusuhan Peristiwa 27 Juli 1996. Dia
adalah salah seorang pemrakarsa pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta kerusuhan Mei 1998 yang bertugas untuk
mengkoordinasi pemberian advokasi dan pencarian informasi mengenai korban
kerusuhan massal yang berawal dari penyerbuan markas DPP PDI tersebut. Selain itu pula, secara informal, Tim
Relawan berfungsi sebagai supporting dari Tim Pencari Fakta (TPF) Komnas HAM.
Tim Relawan ini merupakan cikal bakal dari organisasi Tim relawan untuk kemanusiaan yang resmi
berdiri tahun 1998 setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pada tahun 1996 Romo Sandy
bersama kakaknya Benny Sumardi, juga pernah ditangkap dan disidang dengan
tuduhan membantu gerakan Partai Rakyat Demokratik (PRD). (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Ignatius_Sandyawan_Sumardi).
Dalam tulisannya yang sentimental berjudul Ahok
dan Sandy, Jaya Suprana mengisahkan,
“Dengan
mata kepala saya melihat sendiri betapa Sandi diam, bahkan tersenyum legowo
ikhlas menerima segenap tudingan, tuduhan dan hujatan Ahok dan para
pendukungnya. Tetapi mereka yang sepaham dalam kemanusiaan dengan Sandi apalagi
yang pernah ditolong Sandi, ternyata tidak ikhlas. Satu persatu dan
berkelompok, teman-teman Sandi dari segenap penjuru Nusantara bahkan Dunia
(USA, Belanda, Jerman, Kanada,Australia dll) mengirimkan surel, sms, whatsapp,
etc dan berdatangan secara ragawi ke sanggar Ciliwung Merdeka di bantaran kali
Ciliwung sebagai istana gubuk di mana Sandi bertahta di singgasana dipan kayu
reyot dengan river-view ke arah kali Ciliwung di seberang Kampung Pulo yang
telah sukses digusur Ahok. Sandi kerap lupa mereka siapa namun mereka sangat
ingat Sandi sebab berhutang budi bahkan nyawa kepada Sandi.
Siapa pula yang menyangka jika program kampung
deret bebas banjir yang digembar-gemborkan oleh Pak Jokowi-Ahok semasa mencalonkan
diri menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah konsep dari Sandyawan
dan timnya (komunitas Ciliwung Merdeka yang terdiri dari tokoh masyarakat dan ustad
setempat). Pada tanggal 6 Oktober 2012, Jokowi memberikan kesempatan pada Sandyawan
dan timnya selama satu jam untuk presentasi konsep kampung susun. Pak Jokowi
datang membawa aparat pemerintahan bahkan Wali Kota Jakarta Selatan. Bahkan,
dari ide itu, Jokowi waktu itu merencanakan akan membangun kampung deret di 27
titik di Jakarta berdasarkan tema. Waktu itu Pak Jokowi dengan yakin dan penuh
penekanan berkata, 'kami tidak akan merelokasi apa lagi menggusur, kami akan
menata kembali, kami akan merevitalisasi kampung ini.
Namun janji tinggallah janji, sejak Jokowi
dimandat menjadi Presiden, tak pernah lagi rencana pembangunan Kampung Deret
dibicarakan, baik oleh Jokowi sebagai Presiden RI, apalagi Ahok Gubernur DKI
Jakarta. Yang terjadi justru sebaliknya, wacana penggusuran semakin lantang
disuarakan oleh Ahok di berbagai media massa. Puncak dari segala kegetiran
itu akhirnya meletus di tanggal 28 September 2016. Penggusuran kampung Bukit
Duri benar-benar terjadi. Penghianatan yang amat sangat nyata yang dilakukan
oleh mereka yang seluruh harapan diberikan kepadanya!
PS:
Ini bukan kampanye. Kejadian penggusuran demi penggusuran yang terjadi belakangan ini semakin
menguatkan iman saya untuk tidak datang ke bilik suara pada pemilihan kepala
daerah Februari 2017 mendatang. Sekiranya Ahok tidak dekat dengan gusar gusuran, dia
masih yang terbaik diantara kandidat lainnya, jauh melampaui malah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar