Saya punya cerita, lucu sih, tapi saya tidak
yakin ceritanya akan menjadi lucu jika saya yang menceritakannya. Berdasarkan
pengalaman, setiap kali saya berusaha bercerita lucu, selalu berakhir dengan
ekspresi alis yang merengut disertai tatapan yang aneh oleh pendengar saya, di barengi dengan kata “apa sih, garing!”. Tapi tak ada kata menyerah dalam kamus saya. Jadi
terima saja cerita garing ini. ciaaat.
Ini tentang
tentangga saya, yang saya sebut MAFIA DANGDUT. Sebetulnya istilah mafia dangdut
ini berasal dari Wawan, karena terlalu sering saya
ceritakan tentang tetangga saya yang berisik dengan musik dandutnya yang
membahana, akhirnya dia merekomendasikan tetangga
saya itu di sebut saja sebagai Mafia Dandut.
Selama tiga tahun tinggal di gang itu, sudah
tidak terhitung lagi berapa kali pesta dangdut nan
asoi di gelar, tepat di samping kos saya. Sejak si rizki keturunan ke tiga
dalam keluarga itu baru lahir, sampai kemarin saat Rizky berulang tahun ke
tiga, pesta dandut
selalui merajai jagad raya
gang kramat sawah III Paseban dan tak tertandingi sama sekali.
Bukan hanya di hari ulang tahun Rizki, di malam
tahun baru, atau di malam-malam yang random lainnya, pesta dangdut kerap kali
mengalun sepanjang malam di gang kami itu. Tidak ada masalah sama sekali dengan
kebiasaan itu, dan tidak ada yang salah, meskipun terkadang bising dan mengganggu.
Cuma menjadi istimewa, karena mereka (keluarga itu) menikmati pesta dangdut itu
dengan penuh suka cita, mereka tahu cara bersenang-senang.
Di malam yang hanya keluarga itu dan Tuhan yang
tahu pesta dangdut akan di gelar, satu set salon dan organ tunggal sudah mejeng
di depan rumah, satu persatu keluarga mereka datang, kebanyakan ibu-ibu, dan
pesta joged dangdutpun di mulai. Mereka joged, tidak berhenti, joged sepanjang
malam, asoiiii men, tarik mangg, sampai lemas. Jika tidak ada organ tunggal,
alat karaokepun jadi.
Saya menduga, yang menjadi God of Mother dari
Mafia Dangdut itu adalah si nenek yang punya tahi lalat di atas bibirnya dengan
potongan rambut hampir cepak. Perawakannya memang tak ubahnya seperti bos besar, bos mafia dangdut maksudnya. Yang menjadi koordinator perlengkapan adalah cucu
menantunya yang laki-laki (bapaknya Rizky), Rizky adalah adalah keturunan
ketiga alias cicit. Sementara yang bertindak sebagai penyanyi adalah cucunya
yang masih belia kira-kira masih sekolah di SMP, jika tidak menyewa penyanyi
dangdut khusus. Dan yang menjadi anggota perjogedan adalah anak-anak dan
kemenakan dari God of Mother yang kebanyakan adalah ibu-ibu. Rizky yang masih
berumur tiga tahun pun sering begadang menemani nenek dan buyutnya joged sampai
larut.
Semalam terakhir kali mereka menggelar pesta
dangdut (lagi). Siangnya risky ulang tahun yang ketiga dan pesta dangdut sudah menggelegar kemana-mana. Dilanjutkan pada malam hari sampai jam 2 malam.
Jaringan mafia dangdut ini semakin meluas dan besar. Tidak hanya ibu-ibu,
bapak-bapak juga sudah mulai turun tangan eh kaki. Lampu disko yang berkelap
kelip bikin pusing melengkapi meriahnya pesta semalam. Asap rokok membumbung ke
udara, bapak-bapak dan ibu-ibu saling berhadapan menikmati alunan musik dangdut
yang ajib. List yang entah berapa kali diulang adalah “oplosan, goyang Caesar, tukitakituk, dan bang jali”. Goyang oplosan yang vulgar itu tak terhitung berapa
kali di ulang, mereka berbaris sepanjang gang dan bergoyang oplosan sambil
teriak-teriak dan tertawa. Mereka menikmati betul pesta itu.
Saya menikmati menonton ritual mereka itu dari
balkon. Mereka bahagia, tidak peduli apa kata orang, atau apa yang sedang
terjadi diluar sana, selama mereka masih bisa berdangdut ria. Dangdut sangat
melekat dengan masyarakat kita, terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah.
Sejujurnya jempol saya sudah mulai ikut bergoyang, jika saja saya diundang untuk ikutan joged,
uhhh seandainya.
12 Januari 2014
Banjir mulai menyerbu Jakarta
Merintih Perih "Sore"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar