Dalam drama Korea Navillera, Sim Dheok-Chool, seorang pensiunan kantor pos, diam-diam mendaftarkan dirinya ke panti jompo setelah mengetahui dirinya mengidap penyakit alzheimer. Ia dan istrinya hanya punya dua harapan di masa tuanya, yaitu menjalani masa tua tanpa membebani anak-anaknya dan melihat anak-anaknya sehat dan saling mengasihi. Dalam drama yang bercerita tentang kakek tua yang bekerja keras untuk menunaikan impian terakhirnya menjadi penari balet itu berhasil membuka mata kita, betapa orang tua kita yang telah menjalani waktu panjang dan asam garam kehidupan, ingin menjalani masa tua yang bermartabat, terus memberi, dan tidak ingin menyusahkan, meskipun harus menjalani hari-hari sepi. Prinsip yang mungkin menjadi pegangan hidup kebanyakan orang tua kita.
Namun,
harapan itu sepertinya tidak mampu dipenuhi oleh banyak dari orang tua/lansia
di Indonesia. Rasio ketergantungan penduduk lansia (dependency
ratio)
di Indonesia terus mengalami peningkatan dari 11,95 persen di tahun 2010
menjadi 15,54 persen di tahun 2020. Meskipun pandangan mengenai rasio
ketergantungan lansia ini harus ditempatkan secara bijak, mengingat kontribusi
dan kearifan yang dimiliki para lansia tersebutlah yang membawa kita pada pencapaian
bangsa kita hari ini, akan tetapi parameter ini juga harus menjadi penanda
bahwa negara belum mampu mewujudkan harapan terakhir dari setiap warga
negaranya, yaitu menjalani masa tua yang sehat, aktif dan mandiri.
Di
masa pandemi Covid-19, lansia tidak hanya menghadapi kerentanan dalam hal
sosial ekonomi, tetapi juga menjadi kelompok yang paling rentan terhadap
penularan Covid-19 dan memiliki potensi kematian yang paling tinggi. Sampai
dengan tanggal 5 Agustus 2021, jumlah lansia yang meninggal sepanjang masa
pandemi adalah 48.573 jiwa atau 46,7 persen dari total yang meninggal. Pandemi
memang membuat posisi lansia semakin terpuruk dan kita harus mampu melihatnya
dalam cakrawala yang lebih luas.
Lansia, kelompok
usia termiskin
Indonesia
merupakan negara urutan ke empat yang memiliki jumlah penduduk lanjut usia yang
paling tinggi di Asia setelah India, China dan Japan (Suveymater.org, 2016).
Tahun 2020, jumlah penduduk lansia Indonesia mencapai 9,92 persen dari total jumlah
penduduk Indonesia atau sekitar 26,82 juta jiwa. Namun karena kemampuan kerja
dan kesehatan yang semakin menurun, kelompok ini sangat rentan jatuh ke dalam
kemiskinan dibanding kelompok usia lainnya.
Berdasarkan
data Susenas tahun 2020, terdapat 43,36 persen lansia Indonesia yang berada di 40
persen terbawah spektrum kemiskinan. Lebih lanjut lagi, berdasarkan analisis
yang dilakukan TNP2K, tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia berada pada
kelompok lansia, yaitu berkisar antara 10-20 persen. Tingginya tingkat kemiskinan
lansia di Indonesia tersebut terutama disebabkan karena 85 persen lansia di
Indonesia tidak memiliki jaminan ekonomi/pendapatan (Kidd dkk, 2017).
Cakupan Perlindungan
Sosial untuk Lansia Masih Rendah
Perlindungan
sosial untuk lansia di Indonesia memang terbilang memiliki cakupan yang masih
rendah. Pada tahun 2021, lansia yang memiliki akses terhadap program
perlindungan sosial skema kontribusi atau jaminan sosial ketenagakerjaan hanya
sekitar 17,5 persen, termasuk dana pensiun untuk pegawai negeri. Sementara itu,
lansia penerima manfaat program perlindungan sosial skema nonkontribusi atau
bantuan sosial (PKH dan Bantu LU) hanya sekitar 5 persen dari total jumlah
lansia di seluruh Indonesia.
Selain
itu, pelaksanaan kebijakan bantuan sosial untuk lansia tersebut masih menghadapi
kendala diantaranya manfaat dan cakupan yang diberikan masih sangat rendah,
kesediaan data, skema dan kriteria penargetan, serta belum maksimalnya
koordinasi antara berbagai stakeholder. Beberapa daerah telah memiliki
program lansia yang cukup baik diantaranya Kabupaten Aceh Jaya dan Provinsi DKI
Jakarta. Namun secara keseluruhan, perlindungan sosial untuk lansia di daerah
masih sangat bergantung pada pemerintah pusat yang cakupannya sangat terbatas.
Reformasi
Perlindungan Sosial untuk Lansia
Pada
tahun 2050, jumlah penduduk lansia Indonesia diperkirakan akan mencapai 74 juta
jiwa atau sekitar 20 persen dari populasi Indonesia (UN, 2017). Tanpa adanya
upaya perbaikan yang komprehensif dari saat ini, maka Indonesia akan kewalahan
menghadapi periode aging population yang sudah di depan mata.
Dari
berbagai penelitian yang ada, untuk mengurangi tingkat kemiskinan lansia
tersebut, maka pemerintah harus memberikan perlindungan sosial yang lebih
komprehensif.
Sebagai
tahap awal, hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperluas cakupan
perlindungan sosial nonkontribusi/bantuan sosial kepada lansia 40 persen terbawah
spektrum kemiskinan. Saat ini bantuan sosial untuk lansia miskin hanya mencapai
5 persen dari total lansia, yang terdiri dari cakupan PKH komponen lansia 1,1
juta jiwa, Bantu LU 35.000 jiwa, dan selebihnya berasal dari program pemerintah
daerah. Integrasi dan perluasan program PKH komponen lansia dan Bantu LU perlu
untuk dikaji dan dikembangkan, mengingat syarat dan besaran manfaat dari kedua
program tersebut hampir sama. Integrasi program bantuan sosial lansia ini dapat
mempermudah penguatan kualitas dan kuantitas serta pengendalian program.
Di
samping itu, Pemerintah juga perlu untuk membuka akses yang luas dan mudah
terhadap program-program perlindungan sosial yang bersifat kontribusi (bukan
bantuan sosial) kepada lansia kelompok pengeluaran di atas 40 persen, seperti
program jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Akan tetapi program-program
perlindungan sosial tersebut harus disesuaikan dengan situasi lansia berdasarkan
kelompok pengeluaran masing-masing, terutama kelompok yang tidak mampu
menjangkau program kontribusi namun tidak juga menjadi prioritas bantuan sosial
(missing
middle).
Menjadi
tua dan lemah adalah siklus kehidupan yang tidak dapat dihindari. Akan tetapi,
menjadi tua, sehat, aktif dan mandiri adalah sesuatu yang dapat diwujudkan oleh
negara bekerjasama dengan seluruh elemen masyarakat. Berkaca pada Jepang yang
telah sukses memasuki periode super aged
society
dengan cukup baik, maka kita pun perlu mempersiapkan sebuah skema untuk
mendukung kehidupan hari tua lansia yang lebih baik melalui long
term care
insurance
system
yang komprehensif. Selain itu, agar lansia dapat tetap beraktifitas dengan
baik, maka pemerintah harus menyediakan infrastruktur yang ramah terhadap
lansia dan disabilitas.
Pada
akhirnya kita semua akan sampai pada fase akhir kehidupan manusia bernama
lansia jika diberi umur panjang, seperti Sim Dheok-Chool yang lambat laun kehilangan
sebagian besar ingatannya. Akan tetapi, Sim Dheok-Chool tidak jadi menghabiskan
sisa waktunya di panti jompo, karena disampingnya ada keluarga dan
tetangga/komunitas yang kuat mendukungnya. Menjadi tua dan lemah adalah
keniscayaan, tetapi menjadi tua dan bermartabat adalah pilihan yang dapat
dicapai melalui sokongan penuh dari Negara dan masyarakat yang kuat.
REFERENSI
BPS,
(2020). (Penyunting) Subdirektorat Statistik Pendidikan dan Kesejahteraan
Sosial. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2020. Jakarta, 2020.
Kidd, Gelders, Rahayu, Larasati,
Huda dan Siyaranamual, 2017. Perlindungan
Sosial bagi Penduduk Lanjut Usia di Indonesia. Publikasi oleh TNP2K dan
Pemerintah Australia melalui Program MAHKOTA, 2018.
Priebe,
J. (2017). Old-age Poverty in Indonesia: Measurement Issues and Living
Arrangements. The Institute of Social
Study, The Hague.
Ramesh,
M. (2014). Social Protection in Indonesia and the Philipines. Journal of Southest Asian Economies Vol
31, No.1 pp 40-56.
Yanuardi,
Fitriana, K.N., & Ahdiyana, M. (2017). Social Policy Evaluation
on Social Welfare Improvement of Neglected Elderly. Jurnal PKS Vol 16 No 1 Maret 2017; 1 – 10