Aku selalu memimpikan, bisa menikmati akhir pekan, di sebuah bukit dengan rumput yang lembut dan hijau, pohon pinus mencuat satu persatu, disatukan oleh tali-temali yang dibawahnya menggantung lampu remang, sementara bulan dan bintang mengintip dari kejauhan, duduk berselonjor, memandangi SORE, menyanyikan lagu-lagu Centralismo dan Port of Lima.
Mimpi itu, hampir saja terwujud, jika bukan karena kedunguanku datang terlalu cepat, dan SORE mau membiarkan kami hanya duduk terasuki lagu-lagu mereka. Seharusnya aku tak perlu datang tepat jam 3 sore, menghabiskan tenaga menunggu SORE tampil di jam 10 malam, meskipun dapat bonus Tika and The Dissident menyanyikan May Day dan jatuh hati pada Dialog Dini Hari.
Biarpun tidak persis sama, Taman Menteng saat itu sudah disulap, setidaknya, 30 persen menyerupai bukit akhir pekan-ku, plus menghadiahi kami goody bag (beda itu biasa). Aku terus-terusan berbisik dalam hati, semoga tidak ada yang berdiri, semoga suasananya terus terjaga seperti ini semua pengunjung duduk menghadap panggung, jangan ada yang berdiri, jangan ada yang berdiri, jangan ada yang berdiri...
Folk Agogo, Polkawars, Harlan, Witches, Angsa & Serigala, Luky Annash, Zeke Khaseli & The Planeteers, Dialog Dini Hari, berlalu dan sepertinya semua penonton masih terlalu malas atau mungkin kecapekan untuk berdiri. Sampai Tika muncul dan berteriak,
Kawan-kawan, mohon berdiri dong, manggung dengan penonton yang duduk itu seperti sedang berciuman tanpa lidah!!!
Bubar jalanlah cita-cita muliaku untuk duduk bersandar di punggung temanku sambil nonton SORE manggung. Dan benar saja, meskipun semua penonton kembali duduk saat Tika selesai dan tetap calm saat Dialog Dini Hari perform, sesampai di penghujung acara yang berarti saatnya SORE naik panggung, tiba-tiba Bang Awan nyelekit "ini pada mau tahlilan???" @@#?!
Menonton SORE sambil berdiri, tak apalah, yang terpenting, merintih perih menjadi salah satu pilihan Bang Ade dan kawan-kawan untuk mereka nyanyikan. Ada kekuatan magis yang aku rasakan setiap kali mendengar lagu itu, apalagi ditonton live, behh seperi oksigen yang mengalir dalam darah menjalari seluruh tubuhku.
Nyatanya, aku hanyalah seorang fan yang pemalas, tak ada militansi sama sekali, bahkan bertahan sampai jam 11 malampun tak bisa aku sanggupi. Aku meninggalkan Taman Menteng dengan tenaga yang tersisa sedikit, terdengar suara Ade semakin menjauh
I lead you to my life, Through the finest hour of my life, You my light guiding me, through the darkest hour of my life, I'll never feel so ever, Feel so high, Through the summer sunshine of our love
Sebetulnya ada 3 hal yang menarikku datang ke Festival Seperlima: SORE, Bukit akhir pekan (bolehlah diganti dengan taman), dan Tika and The Dissident. Sore dan bukit akhir pekan mendekati gagal, sementara Tika, yahh so so lah. Sampai saat ini, aku masih dihantui rasa penasaran dengan lingkungan, buku bacaan, komunitas, dan lagu-lagu yang di konsumsi Tika. May Day is such a biautiful song yang dilahirkan oleh seorang perempuan slengean asal Indonesia, bernama Tika. Tahun 2009, May Day menjadi lagu resmi serikat pekerja di Detroit. Saat ini Tika sedang merampungkan materi album terbaru mereka, yang didalamnya terdapat satu lagu berjudul tubuhku otoritasku. Sayang, lagu itu sangat khas kelas feminis ngehe yang tercerabut oleh kebebasan yang dia sembah seperti Tuhan.
Dialog Dini hari, entah kapan band itu mulai bergerilya dan mempunyai fans sebanyak dan tentunya militan (tak seperti diriku ini) memenuhi taman menteng. Vokalisnya mengingatkanku pada banyak hal dalam sekali waktu: i. Wajahnya terlihat mirip Kurn Cobokan dari samping; ii. Suaranya Iwan Fals; iii. kebaikan; iv. keindahan; v. kerendahaan hati. aku menyukainya, karena mereka tak memaksa kami berdiri, lohhhh. haha. balik dari sana, aku berselancar mencari tahu band berciri khas folk dan blues itu. ternyata mereka sudah punya dua album dan mereka berasal dari Bali.
Semoga secepatnya bukit akhir pekan bisa terealisasi
26 Octubre 2014