Jika ingin berkontemplasi ditempat yang sepi, sejuk, semilir
angin meniup dengan lembut, terdengar gemerisik dedaunan yang dihembuskan
angin, atau ingin yang lebih ekstrim lagi misalnya bersemedi di gua seperti
yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di gua Hira, mustahil engkau akan
mendapatkannya di Jakarta! Itu sama halnya dengan ingin sampai ke Tanjung Priuk
dengan suasana yang adem, hening, dan tidak ada goncangan sedikitpun, tapi naik
kopaja 024 jalur senen-Tanjung Priuk. Boro-boro memperoleh ketenangan, yang ada
adalah isi perut rasanya memaksa untuk keluar, organ-organ dalam tubuh
sepertinya sudah bertukar posisi di dalam sana, tulang ekor jadi mati rasa,
volume suara harus full kalau perlu teriak-teriak pakai toa baru bisa
kedengaran. Tapi satu hal yang membuat kopaja 024 tetap diminati, hanya perlu
merogoh kocek 2000 rupiah, kita sudah bisa naik angkot selama 2 jam, kalau jam
macet bisa sampai 3 jam atau lebih, heu heu, dibelahan dunia manapun sepertinya
tidak ada sarana transportasi semurah meriah dan seberisiki kopaja 024, sungguh
sangat luar binasa.
Saya selalu berpikir keras, bagaimana caranya agar supaya bisa
mendapatkan ketenangan di Jakarta ini. Pilihan sementara mengurung diri di
kamar kosan saja, itupun sangat gerah dan terkadang suara dangdutan tetangga
sebelah seperti mau merobek gendang telinga, seolah-olah ingin memberitahukan
ke satu RW bahwa heiiii lagu ini sangat indah didengar dan menghibur, mari
berjogeeet, helloooo, ke laut saja sana. Akhirnya, pilihan selanjutnya adalah
mencari suasana yang berbeda 360 derajat dari suasana ideal yang saya sebutkan
tadi, yaitu suasana paling crowded,
gerah, udara alias Oksigen berganti jadi asap knalpot, suara klakson bergemuruh
dari segala arah penjuru, tak ada lagi aturan, manusia berjubel dimana-mana
dengan sisa kekuatan tinggal 5 watt berusaha untuk sampai ke rumah dan tidur,
yah saat itulah dimana orang-rang pulang dari tempat kerja. Sepertinya saat
itulah waktu yang paling tepat untuk berkontemplasi. Ketika tidak bisa meraih posisi
mainstream, ambillah posisi yang kontraposisi, jangan setengah-setengah!
selain itu, saya sangat menggemari dan ngefans sama abang-abang sopir
angkot, saya bahkan rela menyabung nyawa mengejar abang-abang itu menyebrangi
jalan raya yang sungguh padat demi agar supaya kebagian tempat duduk, tidak
peduli dapat tempat duduk di dekat pintu, kalau dibolehkan bergelantungan,
sayapun akan melakukannya. saya bahkan tidak pernah mengejar pacar saya seperti
saya mengejar-ngejar abang-abang angkot itu. Saya hanya perlu menyumpal telinga
saya dengan headset dan menyetel lagu
kencang-kencang, melebihi besar volume suara apapun dijalan raya. Meskipun si
abang angkot sepertinya tidak peduli dengan nasib penumpangnya dengan terus
ugal-ugalan, nyalip kiri, nyalip kanan, pedal gas diinjak seperti sedang
menjahit pakaian pakai mesin jahit jaman dulu, rem diinjak dengan sesuka hati,
si abang tidak peduli apa kami masih hidup atau sudah sekaratul maut dibelakang.
Tapi tetap saja masih belum ada yang bisa menggantikan posisi si abang.
Anehnya dalam kondisi secrawded
itu, saya malah merasakan sedih yang menusuk dan merasa sangat kerdil
seperti butiran debu dihamparan gurun Salihara-haha macam pernah ke gurun
Salihara saja. sepi dan merasa sangat berdosa kepada sang Pencipta menyeruak
begitu saja. Saya hanya bisa menjadi penonton setia setiap lakonan mahluk yang
mengaku paling bermartabat, tapi nyatanya terus saling menyikut satu sama lain,
siapa yang kuat dialah berkuasa, dan yang kalah teruslah bersabar menjadi tertindas.
Peradaban tidak ubahnya seperti hutan rimba, gerombolan singalah yang berkuasa
atas segala sumber daya dan seluruh warga hutan.
Ketika dijalan pulang dari kantor menuju kos-kosan, segala
macam jenis rupa bentuk manusia dapat ku temui. Mulai dari ibu-ibu dengan bedak
setebal 1 cm (lebay kalau saya bilang sampai 5 cm), warna bibir menyala dan bulu mata palsu
badai sedang menelpon di belakang sopir pribadi sambil sesekali merapikan
sanggulnya yang segede gaban, kelihatanya di dalam sana sangat adem, sehingga
tidak perlu mengibas-ngibaskan buku atau apapun yang bisa menghasilkan angin karena
kepanasan seperti yang saya lakukan dan teman-teman geng seangkot saya.
Pemandangan sangat kontras terlihat ketika di samping kaca jendela mobil ibu
itu, seorang wanita setengah baya sedang menggendong bayi yang sedang terlelap
tidur menengadahkan tangan meminta sedikit uang (saya tidak yakin si bayi
tidur, bagaimana mungkin dia bisa tertidur lelap seperti itu, sementara suara
kendaraan dan klakson mobil sangat berisik, bisa saja si bayi dikasih obat
tidur biar kelihatan dramatis, hal itu yang muncul di benak saya beserta
manusia modern lainnya yang setiap hari menyaksikan pemandangan seperti itu). Di pinggir jalan
dengan mudah bisa kita temukan wanita ataupun pria dengan rambut seperti habis
di gimbal, memakai baju compang camping tidak ubahnya seperti habis dicelupkan
di oli, sedang mengais-ngais makanan di tempat sampah, bahkan tidak jarang
memperlihatkan kemaluannya ditengah khalayak ramai. Semua orang menjauh mungkin
karena bau atau takut diserang tiba-tiba, termasuk saya! Kita bahkan tidak
tahu, apakah mereka memilih tidur ditrotoar jalan karena ngantuk atau sedang
meregang nyawa karena kelaparan ditengah keramaian kota. Siapa yang peduli. Itu
tugas departemen sosial. Yah dan kita yang mengaku sebagai mahluk paling
bermartabat tinggal diam saja menjadi penonton sejati.
Mobil si abang angkot bergerak seperti keong karena macet,
benar-benar pilihan yang sulit, kalau tidak melambat seperti keong, si abang
ngebut tak kira-kira, tapi tetap saja saya bersetia kepadanya. Saya seperti
memasuki lorong waktu tak bertepi dimana setiap jengkal lorong itu menyajikan
pemandangan yang hampir sama, kehidupan yang sangat jomplang. si kaya dengan
sangat nyaman menjalani hari-hari dengan limpahan harta yang memabukkan. si
miskin dengan sangat sabar menjalani hari-hari, banting tulang dari pagi sampai
malam dengan penghasilan yang hanya cukup makan sehari, itupun kalau cukup.
Tidak adanya lapangan pekerjaan memaksa mereka menjadi pengemis atau menjadi
brandal. Sebagian besar si kelas menengah ke atas dengan enteng
mengeneralisir, sekali lagi mengeneralisir! bahwa sebenarnya pengemis-pengemis
itu adalah orang berpunya dikampungnya masing-masing yang mengambil job side di Jakarta sebagai pengemis,
atau mereka jadi pengemis karena malas saja. Oportunis sudah menjadi penyakit
kronis yang menulari seluruh penduduk kota ini, saya sudah tertular, saya
sangat sedih menyadari bahwa saya telah tertular, saya butuh obat, obat, mana
obat itu?
Oportunis sudah menjadi bahan tontonan yang mengasikkan. yang
mau membantu sesama banyak, sangat banyak malah. Tapi menjadi tontonan paling
memuakkan karena harus ada embel-embel di status FB atau BB atau twitter atau
kalau ditulis dijidat tidak menjadi bahan tertawaan pasti akan dilakukan juga, mengumumkan
bahwa “sadokah itu tidak mengurangi harta, senang rasanya bisa berbagi”,
“huffftt habis dari panti asuhan, bagi-bagiin perlengkapan sekolah buat adik-adik”,
atau “sedekah 2,5% done”, bla bla bla. Yang tidak kalah mirisnya, si
artis-artis dari cilik sampai nenek-nenek, politisi, mengundang seluruh
penggiat infotaikucingment untuk meliput mereka setiap kali ke panti asuhan
atau melakukan bakti sosial, sambil menyerahkan bingkisan si artis meminta
kepada si kurang beruntung agar didoakan biar riskinya lancer, si politisi atau
pejabat meminta didoakan biar bisa terpilih menjadi pejabat/penguasa diperiode
yang akan datang. Dan kita manggut-manggut di depan tv, ooohhh lutunya, oooh
what a kind people.
Pernahkah kita benar-benar menolong sesama karena menyanyangi
mereka sebagai sesama manusia? Menolong karena mencintai mereka sebagai sesama
mahluk Allah SWT. Menolong tanpa embel-embel pahalanya berlipat ganda ketika
berbagi dengan sesama. Menolong tanpa memberitahukannya kepada siapapun. Menolong
dan berbagi karena kita mencintai kehidupan, mencintai Sang Pemberi Kehidupan.
Akhirnya saya sampai dikosan juga, beruntung kosan saya masih
utuh, tadi siang ada berita kalau daerah kenari terjadi kebakaran. Memang benar
terjadi kebakaran tapi di seberang jalan. Lagi saya tidak sempat berkunjung
kesana. Saya hanya bisa menyalahkan penyakit kurang ajar ini, oportunis…
Saya manusia oportunis
Ditemani Twice (rung the ledder) Sajama cut dan perut melilit
akibat kalap makan sambel bakso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar