Adakah
yang lebih menarik dari ANUGRAH? Anu Grathis (maksa yahh, haha)? Sejak dulu
sampai sekarang, saya adalah pemburu Anugrah. Tidak terkecuali waktu ditawari
mba Lia untuk hadir di acara International Documentary Film Festival yang
diadakan di Erasmus Huis kedutaan besar kerajaan Belanda untuk Indonesia. Tanpa
berpikir panjang saya langsung mengiyakan. Kapan lagi bisa nonton pemenang film dokumenter internasional gretongan,
tidak di putar di bioskop, DVDnya tidak dijual secara bebas pula. Sebenarnya
acara tersebut diadakan tanggal 25 s.d 29 September, namun karena kami adalah
buruh yang hanya punya waktu free pada
hari sabtu dan minggu, pilihan satu-satunya hanya hari sabtu tanggal 29
september 2012. Berbekal peta dan judul film documenter yang akan akan diputar
pada hari sabtu tanggal 29 september, kami capcus kesana. Mbak Lia start dari
bekasi, saya dari Salemba, dan titik temunya di halte kuningan timur.
Sekitar setengah 3 sore, kami baru sampai ke TKP, padahal
perjanjian awalnya sampai ke TKP jam setengah 2 tepat film pertama di putar.
Alasannya apa, we knowlah! Tanpa ba
bi bu kami langsung masuk ke gedung Erasmus Huis dan secara acak memilih film
yang akan ditonton, tak ada bayangan sedikitpun apalagi referensi mengenai film
yang diputar hari itu. Yang kami duga, film-filmnya pasti bagus karena
merupakan pemenang film documenter international tahun 2012.
El
SISTEMA
Film
sudah berjalan satu jam-an, untungnya masih banyak tempat duduk yang tersisa.
Awalnya saya berfikir latar belakang film ini diambil di spanyol, secara
bahasanya seperti bahasa Espanyola gitu (penyakit Sok Tahu Pertama). Ternyata
eh ternyata diambil dari Caracas Venezuela. Bahasa resmi Venezuela memang
bahasa Spanyol. Satu-satunya Negara Amerika Latin yang tidak menggunakan bahasa
spanyol adalah Brasil.
Film
ini bercerita tentang sistem pendidikan musik di Venezuela yang unik.
Pendidikan musik ini mampu membawa anak-anak Venezuela yang tumbuh
dipemukiman kumuh dengan tingkat kriminalitas yang tinggi menjadi
musisi kelas dunia. “El Sistima menunjukkan bagaimana Visionary Venezuela Jose
Antonio Abreu telah merubah kehidupan ratusan anak-anak melewati tiga decade
yang berat di mana kemiskinan dan tingkat kejahatan yang tinggi menjadi makanan
sehari-hari mereka.
Di Caracas Venezuela, pelajaran musik adalah pelajaran ekstra kurikuler yang diwajibkan bagi setiap anak-anak. Berbeda halnya dengan Indonesia, mulai dari sekolah sampai orang tua siswa mewajibkan anak-anaknya mampu menguasai pelajaran matematika dan pelajaran exact dengan baik. Anak-anak dianggap pintar dan berprestasi jika dan hanya jika nilai matematika dan IPAnya tinggi. Belum tau apa, sebagian besar anak-anak menganggap matematika itu sebagai momok yang sangat membosankan. Coba kalau di tanya, apakah para orang tua tersebut suka matematika atau tidak, bisa jadi mereka juga ogah bersentuhan dengan jenis obat pahit bernama matematika ini. sepatutnya anak-anak menghabiskan waktunya dengan bermain-main, belajarpun seharusnya sambil bermain. Akan tetapi stigma yang terbangun di sekolah dan lingkungan orang tua memaksa anak–anak untuk terus belajar di sekolah dan mengikuti serentetan kursus dari pagi sampai malam. Hal inilah yang membuat anak-anak kehilangan waktu bermain dan tidak peka lagi terhadap sesama.
Anak-anak
di Caracas Venezuela, hidup di lingkungan yang sangat mencekam. Kemiskinan
membuat tingkat kriminalitas di daerah itu meningkat tajam. Penembakan dan
pembunuhan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Agar supaya anak-anak ini
tidak terjebak dan ikut dalam arus lingkungannya yang kacau, dibuatlah sistem
ekstra kurikulum yang mewajibkan mengisi waktu luangnya mengikuti pelajaran
musik. Mereka tidak bermain music sendiri-sendiri, tapi dibuat dalam
kelompok-kelompok orkestra. Orkestra mengajarkan anak-anak untuk belajar
bekerjasama dalam tim, bertoleransi terhadap perbedaan, menekan sifat egois,
dan penghargaan terhadap sesama. Mereka sadar betul bahwa music tidak hanya
membantu pertumbuhan otak anak, tetapi juga memupuk spiritualitas dan kepekaan anak-anak
terhadap sesama. Mereka paham betul bahwa keseimbangan otak kanan dan otak kiri
adalah hal yang sangat penting untuk menjadi bekal anak-anak tersebut dalam
menjalani hidupnya ke depan. Seseorang yang hanya dididik untuk cerdas dalam
bidang tertentu misalnya pelajaran exact saja, kemungkinan besar akan tumbuh
menjadi robot yang bisa memproduksi bom atom, tidak peduli bom itu dibuat untuk
apa.
Anak-anak
yang ikut pelajaran musik ini, nantinya akan diseleksi untuk ikut dalam
kelompok orkestra terkenal di Venezuela “Caracas Orchestra”. Hebatnya, setiap
anak diberi kesempatan untuk bermusik. Terbayang
tidak bagaimana caranya anak-anak bisu dan buta berkolaborasi menyanyikan lagu
merdu menyayat hati? Anak-anak bisu tidak bernyanyi dengan suara, tapi dengan
bahasa bisu. Sementara yang mengeluarkan suara adalah anak-anak yang buta dan
cacat lainnya.
Meskipun ini baru permulaan, tapi setidaknya
Venezuela sedang berusaha bangkit dari keterpurukan, dimulai dengan membangun
karakter anak-anaknya terlebih dahulu.
BUDHA’S
LOST CHILDREN
Kelebihan
dari film dokumenter adalah selalu memberikan inspirasi dan semangat untuk
melakukan perubahan. Budha’s Lost
Children menceritakan tentang Biara Budha Thailand dalam perjuangannya
membesarkan anak-anak yatim piatu dan memelihara tradisi Budha yang hampir
punah.
Film
ini seperti permen Nano-nano, rasanya bermacam-macam, mengobok-obok perasaan,
tanpa sungkan-sungkan membuat para penonton terkekeh-kekeh kemudian tiba-tiba
menitikkan air mata. Khra Bah yang
dipanggil guru adalah sosok jenaka yang selalu tersenyum dan penuh kasih, tidak
seperti petinggi agama kebanyakan yang selalu memasang muka penuh wibawa dan
sopan. Sang Guru dalam imajinasi saya malah seperti gurunya Wiro Sableng 212 si Kakek gila. Lucu tapi sangat penyayang.
Dia
membesarkan anak-anak yatim piatu yang sangat miskin, ada yang memiliki orang
tua tapi terlalu miskin dan sakit-sakitan, kecanduan ganja, dan tinggal
disekitar Golden triangle perbatasan Burma dan Thailan, surganya ganja. Tidak
mudah membesarkan anak-anak dari latar belakang keluarga yang sangat
menyedihkan, dan drug addicted.
Kelaparan dan kehilangan orang tua membuat anak-anak ini jadi tidak mau bicara
dan seperti kehilangan jiwa.
Saya sangat menyukai cara sang sutradara menggambarkan
sosok anak-anak budha ini satu persatu.
Suk…
Awal
sampai ke base camp dia sangat pendiam, bukan lagi pendiam tapi
seperti orang bisu. Matanya selalu terlihat sedih. Dia sangat malas mandi,
gosok gigi dan semua hal yang berbau bersih-bersih, sampai kepalanya dipenuhi
koreng. Dia selalu menyendiri dan selalu melakukan hal-hal lucu dengan muka
yang super duper cerius, misalnya bolak-balik memakai sandal yang kebesaran,
menguncir rambut kuda, terjatuh dari kuda berkali-kali, dan banyak lainnya.
Sampai suatu waktu dia dipanggil khusus oleh sang guru, ditanyai apakah dia
sudah mandi, gosok gigi, dan lain-lain. Semua jawabannya adalah tidak, tetap
dengan muka serius. Sang guru menahan kesal tapi ingin tertawa memberitahukan
si Suk dengan suara tertahan, “saya tidak mau tahu, koreng dikepala kamu itu
harus hilang dalam waktu seminggu”. Suk masih diam tanpa ekpresi apa-apa. Namun,
Seiring berjalannya waktu Suk akhirnya bisa tertawa dan menjadi periang. Sampai
sekarang, jika mengingat Suk saya langsung tertawa sendiri. Banyak lagi
anak-anak lain yang sungguh lucu tapi menyedihkan yang dieksplorasi di film
ini.
Film
documenter yang dibuat oleh sutrada mark Verkerk asal belanda ini adalah film documenter
terbaik yang pernah saya tonton, mulai dari alur ceritanya, detailnya, kualitas
gambarnya, kekonyolannya, moment-moment yang sangat natural, dan banyak lainnya.
ah andai saya bisa memiliki koleksi film ini.
UNDEFEATED
Film
ini pasti bagus, karena banyak yang memilih untuk menontonnya, oleh karenanya
kami mengambil posisi paling depan (Sok Tahu Ke dua). Tak disangka tak diduga,
film ini bercerita tentang perjuangan tim football dengan pelatihnya yang sama
sekali tidak menarik dan tak kumengerti. Saya berusaha memahami apa yang
ditertawakan oleh bule-bule disampingku, tapi yang terjadi saya malah tertidur.
Di tambah lagi tidak ada subtitlenya, makin nyenyaklah tidurku. Putus asa, kamipun memutuskan untuk keluar.
AWARDING
NIGHT
Sok
Tahu Ketiga (paling kronis). Saya dan mbak Lia sibuk memperbincangkan kira-kira
filmnya seperti apa yah. Kami menduga-duga jangan-jangan tidak ada subtitlenya
lagi, jangan sampai. Kami memperdebatkan, kenapa film Awarding Night ini tidak
ada di List informasi buku yang dibagikan. Saya sempat melirik ibu yang duduk
disamping memandang kami seperti melihat mahluk dari planet lain. Untungnya
kami duduk dibagian belakang dimana banyak wartawan sedang berseliweran. Jadi
suara kami agak teredam sedikit.
MC
membuka acara dan mempersilahkan duta besar kerajaan belanda untuk memberikan
sambutan. Kami baru sadar, bahwa kami tidak sedang akan menonton film, tapi
sedang akan mendengarkan pengumuman pemenang film dokumenter terbaik Indonesia yang
diselenggarakan oleh Erasmus Huis bekerjasama dengan School For Broadcast Media.
Rasanya ingin berlari bersembunyi ke bawah karpet. Pantasan saja si Ibu,
memandang kami penuh keanehan. Hahahha
Pemenang
untuk kategori student jatuh pada film “Epic Java” dibuat oleh Febian Nurrahman
Saktinegara (Institut Teknologi Bandung). Melihat film itu seperti melihat
landscape di belahan dunia lain. Sungguh indah dan eksotis. Tidak disangka saya
sedang menginjakkan kaki tepat diatasnya, di bumi Jawa. Semoga kelak bisa
mengunjunginya satu persatu.
Untuk
Open kategori, dimenangkan oleh Andi Hutagalung melalui Permata di Tengah
Danau. Meskipun kualitas gambarnya masih sederhana, tapi semangat yang
ditawarkan sangat layak diberikan apresiasi. Menceritakan tentang
sekelompok anak muda yang membuat perpustakaan di pulau Samosir. Tidak hanya
itu, mereka berusaha membiasakan anak-anak sekitar untuk membaca, dengan
berkeliling membawa kereta (read:motor) baca. Kereta baca ini akan mencari
kelompok-kelompok anak-anak yang sedang bermain. Kelompok bermain tersebut kemudian berubah menjadi
kelompok membaca yang penuh dengan gelak tawa. Film ini ditutup dengan
statement seorang anak kecil yang memiliki cita-cita untuk menjadi pengajar di
desa-desa, atau dimanapun itu, bagi dia anak desa dan anak kota sama saja!
Mereka semua berhak atas pendidikan yang maksimal!
=====
Sudah
kubilang, saya adalah pecinta anugrah. Mata saya berbinar-binar ketika keluar
dari gedung dan menyaksikan banyak makanan, dan kami bebas menyantapnya.
Terlebih lagi, ada tumpukan majalah movie yang boleh diambil sesuka hati.
Oh Anugrah, sering-seringlah berkunjung…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar