Selasa, 02 Oktober 2012

Anugrah, Sering-seringlah Berkunjung



Adakah yang lebih menarik dari ANUGRAH? Anu Grathis (maksa yahh, haha)? Sejak dulu sampai sekarang, saya adalah pemburu Anugrah. Tidak terkecuali waktu ditawari mba Lia untuk hadir di acara International Documentary Film Festival yang diadakan di Erasmus Huis kedutaan besar kerajaan Belanda untuk Indonesia. Tanpa berpikir panjang saya langsung mengiyakan. Kapan lagi bisa nonton pemenang  film dokumenter internasional gretongan, tidak di putar di bioskop, DVDnya tidak dijual secara bebas pula. Sebenarnya acara tersebut diadakan tanggal 25 s.d 29 September, namun karena kami adalah buruh  yang hanya punya waktu free pada hari sabtu dan minggu, pilihan satu-satunya hanya hari sabtu tanggal 29 september 2012. Berbekal peta dan judul film documenter yang akan akan diputar pada hari sabtu tanggal 29 september, kami capcus kesana. Mbak Lia start dari bekasi, saya dari Salemba, dan titik temunya di halte kuningan timur.
Sekitar setengah 3 sore, kami baru sampai ke TKP, padahal perjanjian awalnya sampai ke TKP jam setengah 2 tepat film pertama di putar. Alasannya apa, we knowlah! Tanpa ba bi bu kami langsung masuk ke gedung Erasmus Huis dan secara acak memilih film yang akan ditonton, tak ada bayangan sedikitpun apalagi referensi mengenai film yang diputar hari itu. Yang kami duga, film-filmnya pasti bagus karena merupakan pemenang film documenter international tahun 2012.

El SISTEMA
Film sudah berjalan satu jam-an, untungnya masih banyak tempat duduk yang tersisa. Awalnya saya berfikir latar belakang film ini diambil di spanyol, secara bahasanya seperti bahasa Espanyola gitu (penyakit Sok Tahu Pertama). Ternyata eh ternyata diambil dari Caracas Venezuela. Bahasa resmi Venezuela memang bahasa Spanyol. Satu-satunya Negara Amerika Latin yang tidak menggunakan bahasa spanyol adalah Brasil. 
Film ini bercerita tentang sistem pendidikan musik di Venezuela yang unik. Pendidikan musik ini mampu membawa anak-anak Venezuela yang tumbuh dipemukiman kumuh dengan tingkat kriminalitas yang tinggi menjadi musisi kelas dunia. “El Sistima menunjukkan bagaimana Visionary Venezuela Jose Antonio Abreu telah merubah kehidupan ratusan anak-anak melewati tiga decade yang berat di mana kemiskinan dan tingkat kejahatan yang tinggi menjadi makanan sehari-hari mereka.


Di Caracas Venezuela, pelajaran musik adalah pelajaran ekstra kurikuler yang  diwajibkan bagi setiap anak-anak. Berbeda halnya dengan Indonesia, mulai dari sekolah sampai orang tua siswa mewajibkan anak-anaknya mampu menguasai pelajaran matematika dan pelajaran exact dengan baik. Anak-anak dianggap pintar dan berprestasi jika dan hanya jika nilai matematika dan IPAnya tinggi. Belum tau apa, sebagian besar anak-anak menganggap matematika itu sebagai momok yang sangat membosankan. Coba kalau di tanya, apakah para orang tua tersebut suka matematika atau tidak, bisa jadi mereka juga ogah bersentuhan dengan jenis obat pahit bernama matematika ini. sepatutnya anak-anak menghabiskan waktunya dengan bermain-main, belajarpun seharusnya sambil bermain. Akan tetapi stigma yang terbangun di sekolah dan lingkungan orang tua memaksa anak–anak untuk terus belajar di sekolah dan mengikuti serentetan kursus dari pagi sampai malam. Hal inilah yang membuat anak-anak kehilangan waktu bermain dan tidak peka lagi terhadap sesama.
Anak-anak di Caracas Venezuela, hidup di lingkungan yang sangat mencekam. Kemiskinan membuat tingkat kriminalitas di daerah itu meningkat tajam. Penembakan dan pembunuhan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Agar supaya anak-anak ini tidak terjebak dan ikut dalam arus lingkungannya yang kacau, dibuatlah sistem ekstra kurikulum yang mewajibkan mengisi waktu luangnya mengikuti pelajaran musik. Mereka tidak bermain music sendiri-sendiri, tapi dibuat dalam kelompok-kelompok orkestra. Orkestra mengajarkan anak-anak untuk belajar bekerjasama dalam tim, bertoleransi terhadap perbedaan, menekan sifat egois, dan penghargaan terhadap sesama. Mereka sadar betul bahwa music tidak hanya membantu pertumbuhan otak anak, tetapi juga memupuk spiritualitas dan kepekaan anak-anak terhadap sesama. Mereka paham betul bahwa keseimbangan otak kanan dan otak kiri adalah hal yang sangat penting untuk menjadi bekal anak-anak tersebut dalam menjalani hidupnya ke depan. Seseorang yang hanya dididik untuk cerdas dalam bidang tertentu misalnya pelajaran exact saja, kemungkinan besar akan tumbuh menjadi robot yang bisa memproduksi bom atom, tidak peduli bom itu dibuat untuk apa.
Anak-anak yang ikut pelajaran musik ini, nantinya akan diseleksi untuk ikut dalam kelompok orkestra terkenal di Venezuela “Caracas Orchestra”. Hebatnya, setiap anak diberi kesempatan untuk bermusik.  Terbayang tidak bagaimana caranya anak-anak bisu dan buta berkolaborasi menyanyikan lagu merdu menyayat hati? Anak-anak bisu tidak bernyanyi dengan suara, tapi dengan bahasa bisu. Sementara yang mengeluarkan suara adalah anak-anak yang buta dan cacat lainnya.
 Meskipun ini baru permulaan, tapi setidaknya Venezuela sedang berusaha bangkit dari keterpurukan, dimulai dengan membangun karakter anak-anaknya terlebih dahulu.

BUDHA’S LOST CHILDREN
Kelebihan dari film dokumenter adalah selalu memberikan inspirasi dan semangat untuk melakukan perubahan. Budha’s Lost Children menceritakan tentang Biara Budha Thailand dalam perjuangannya membesarkan anak-anak yatim piatu dan memelihara tradisi Budha yang hampir punah.
Film ini seperti permen Nano-nano, rasanya bermacam-macam, mengobok-obok perasaan, tanpa sungkan-sungkan membuat para penonton terkekeh-kekeh kemudian tiba-tiba menitikkan air mata.  Khra Bah yang dipanggil guru adalah sosok jenaka yang selalu tersenyum dan penuh kasih, tidak seperti petinggi agama kebanyakan yang selalu memasang muka penuh wibawa dan sopan. Sang Guru dalam imajinasi saya malah seperti gurunya Wiro Sableng 212 si Kakek gila. Lucu tapi sangat penyayang.
Dia membesarkan anak-anak yatim piatu yang sangat miskin, ada yang memiliki orang tua tapi terlalu miskin dan sakit-sakitan, kecanduan ganja, dan tinggal disekitar Golden triangle perbatasan Burma dan Thailan, surganya ganja. Tidak mudah membesarkan anak-anak dari latar belakang keluarga yang sangat menyedihkan, dan drug addicted. Kelaparan dan kehilangan orang tua membuat anak-anak ini jadi tidak mau bicara dan seperti kehilangan jiwa.
Saya sangat menyukai cara sang sutradara menggambarkan sosok anak-anak budha ini satu persatu.
Suk…
Awal sampai ke base camp dia sangat pendiam, bukan lagi pendiam tapi seperti orang bisu. Matanya selalu terlihat sedih. Dia sangat malas mandi, gosok gigi dan semua hal yang berbau bersih-bersih, sampai kepalanya dipenuhi koreng. Dia selalu menyendiri dan selalu melakukan hal-hal lucu dengan muka yang super duper cerius, misalnya bolak-balik memakai sandal yang kebesaran, menguncir rambut kuda, terjatuh dari kuda berkali-kali, dan banyak lainnya. Sampai suatu waktu dia dipanggil khusus oleh sang guru, ditanyai apakah dia sudah mandi, gosok gigi, dan lain-lain. Semua jawabannya adalah tidak, tetap dengan muka serius. Sang guru menahan kesal tapi ingin tertawa memberitahukan si Suk dengan suara tertahan, “saya tidak mau tahu, koreng dikepala kamu itu harus hilang dalam waktu seminggu”. Suk masih diam tanpa ekpresi apa-apa. Namun, Seiring berjalannya waktu Suk akhirnya bisa tertawa dan menjadi periang. Sampai sekarang, jika mengingat Suk saya langsung tertawa sendiri. Banyak lagi anak-anak lain yang sungguh lucu tapi menyedihkan yang dieksplorasi di film ini.
Film documenter yang dibuat oleh sutrada mark Verkerk asal belanda ini adalah film documenter terbaik yang pernah saya tonton, mulai dari alur ceritanya, detailnya, kualitas gambarnya, kekonyolannya, moment-moment yang sangat natural, dan banyak lainnya. ah andai saya bisa memiliki koleksi film ini.

UNDEFEATED
Film ini pasti bagus, karena banyak yang memilih untuk menontonnya, oleh karenanya kami mengambil posisi paling depan (Sok Tahu Ke dua). Tak disangka tak diduga, film ini bercerita tentang perjuangan tim football dengan pelatihnya yang sama sekali tidak menarik dan tak kumengerti. Saya berusaha memahami apa yang ditertawakan oleh bule-bule disampingku, tapi yang terjadi saya malah tertidur. Di tambah lagi tidak ada subtitlenya, makin nyenyaklah tidurku.  Putus asa, kamipun memutuskan untuk keluar.

AWARDING NIGHT
Sok Tahu Ketiga (paling kronis). Saya dan mbak Lia sibuk memperbincangkan kira-kira filmnya seperti apa yah. Kami menduga-duga jangan-jangan tidak ada subtitlenya lagi, jangan sampai. Kami memperdebatkan, kenapa film Awarding Night ini tidak ada di List informasi buku yang dibagikan. Saya sempat melirik ibu yang duduk disamping memandang kami seperti melihat mahluk dari planet lain. Untungnya kami duduk dibagian belakang dimana banyak wartawan sedang berseliweran. Jadi suara kami agak teredam sedikit.
MC membuka acara dan mempersilahkan duta besar kerajaan belanda untuk memberikan sambutan. Kami baru sadar, bahwa kami tidak sedang akan menonton film, tapi sedang akan mendengarkan pengumuman pemenang film dokumenter terbaik Indonesia yang diselenggarakan oleh Erasmus Huis bekerjasama dengan School For Broadcast Media. Rasanya ingin berlari bersembunyi ke bawah karpet. Pantasan saja si Ibu, memandang kami penuh keanehan. Hahahha
Pemenang untuk kategori student jatuh pada film “Epic Java” dibuat oleh Febian Nurrahman Saktinegara (Institut Teknologi Bandung). Melihat film itu seperti melihat landscape di belahan dunia lain. Sungguh indah dan eksotis. Tidak disangka saya sedang menginjakkan kaki tepat diatasnya, di bumi Jawa. Semoga kelak bisa mengunjunginya satu persatu.
Untuk Open kategori, dimenangkan oleh Andi Hutagalung melalui Permata di Tengah Danau. Meskipun kualitas gambarnya masih sederhana, tapi semangat yang ditawarkan sangat layak diberikan apresiasi. Menceritakan tentang sekelompok anak muda yang membuat perpustakaan di pulau Samosir. Tidak hanya itu, mereka berusaha membiasakan anak-anak sekitar untuk membaca, dengan berkeliling membawa kereta (read:motor) baca. Kereta baca ini akan mencari kelompok-kelompok anak-anak yang sedang bermain. Kelompok  bermain tersebut kemudian berubah menjadi kelompok membaca yang penuh dengan gelak tawa. Film ini ditutup dengan statement seorang anak kecil yang memiliki cita-cita untuk menjadi pengajar di desa-desa, atau dimanapun itu, bagi dia anak desa dan anak kota sama saja! Mereka semua berhak atas pendidikan yang maksimal!
=====
Sudah kubilang, saya adalah pecinta anugrah. Mata saya berbinar-binar ketika keluar dari gedung dan menyaksikan banyak makanan, dan kami bebas menyantapnya. Terlebih lagi, ada tumpukan majalah movie yang boleh diambil sesuka hati.
Oh Anugrah, sering-seringlah berkunjung…..
                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar