Saya
tidak bermaksud sinis menuliskan ini, saya hanya berusaha bersikap objektif.
Beberapa
minggu belakangan, isu mengoptimalkan otak kanan sedang hangat-hangatnya diperbincangkan
di kantor saya. Bermula dari pelatihan mengerjakan test TPA yang diadakan oleh
bagian Kepegawaian. Saya tidak tahu apakah isu optimalisasi otak kanan memang
menjadi metode strategis yang berusaha dikembangkan oleh bagian Kepegawaian.
Akan tetapi Point penting yang disampaikan dalam pelatihan tersebut adalah
menyelesaikan soal yang sebegitu banyaknya dalam waktu singkat tidak bisa pure hanya menggunakan otak kiri
(hitung-hitungan dan logika), akan lebih mudah jika menggunakan imajinasi (otak
kanan). Bekerjalah seperti ibu-ibu penjual di pasar, mereka tidak menggunakan
kalkulator atau rumus-rumus tertentu, mereka punya metode sendiri,
“berimajinasi”. Ketika belanja di pasar, harga dua liter beras, merica setengah
ons, cabe 1,5 kg, minyak goring 1 liter, dan lain-lain, bisa dihitung dalam
waktu sekejap oleh si ibu pedagang, dan uang kembalian bisa diperoleh dengan
cepat. Dengan berimajinasasi dan membayang-bayangkan, semuanya akan lebih
enteng.
Otak
kanan bekerja secara makro, sementara otak kiri bekerja secara mikro (detail).
Seorang yang memiki visi jauh ke depan dan punya impian besar adalah orang-rang
yang mengoptimalkan otak kanannya. Sementara yang hanya bekerja dengan otak
kiri, biasanya tidak berani bermimpi besar, karena semuanya harus sesuai logika
dan masuk akal, sangat terstruktur, dan detail. Semuanya punya sisi positif dan
negative. Beruntunglah orang-orang yang mampu mengoptimalkan kedua-duanya.
Tidak
hanya berhenti di tes TPA, beberapa hari kemudian, Kepegawaian kembali
mengundang semua pegawai untuk mengikuti seminar dengan tema “Berpikir Kreatif
dengan Menggunakan Otak Kanan”. Menurut informasi dari beberapa teman,
narasumbernya itu sangat terkenal dan telah menelurkan buku best seller. Saya
termasuk orang yang tidak begitu memercayai training menumbuhkan motivasi atau buku self motivation seperti yang
sekarang sedang digandrungi oleh banyak orang-meskipun dulu juga pernah mengoleksi
bukunya Robert Kiyosaki, but everybody change kata keane-. Saya sepakat,
memotivasi diri itu sangat penting. Tapi sayang, saat ini self motivation sudah
menjadi dagangan paling laku, seolah-olah semuanya bisa selesai dengan
nasehat-nasehat dan kata-kata bijak.
Mengenai
narasumber yang katanya terkenal itu, saya berusaha berpikir positif kepadanya.
Mungkin kali ini beda karena menggunakan otak kanan sebagai jargon. Setelah
melihat CV narasumber tersebut, semangat saya menciut lagi, beliau sama sekali
tidak ada latar belakang pendidikan tentang cara kerja otak kanan, kalau tidak
salah latar belakang pendidikannya malah ekonomi dan bisnis. Pikiran usil saya
terus menyembur keluar, ah paling dia hanya mau jualan, dia mungkin anak muda
yang pandai beretorika dan juga pandai berbisnis. Tapi jangan memvonis dulu, mari kita buktikan dengan duduk
manis selama 3 jam mendengarkan ide yang dia tawarkan.
Penampilannya
terlalu parlente, itu kesan pertama yang saya tangkap. Kepribadiannya juga
mungkin parlente. Apa yang bisa dipelajari dari orang yang jumawa?. Tapi
terlalu dini untuk menilai, bersabarlah dulu!
Di
awal-awal, dia menceritakan dan membandingkan tentang karakteristik dan
ciri-ciri orang yang menggunakan otak
kanan dan otak kiri. Yang disampaikan masih sangat umum, ekspektasi saya
sebenarnya lebih dari itu. hanya sekitar 10 persen materinya yang membahas
mengenai otak kanan, itupun tentang karakterisitiknya saja, bukan cara
membuatnya bekerja secara optimal.
Selebihnya
dia berbicara mengenai betapa materi itu sangat penting. Materi materi dan
materi. Dengan bersedekah, harta kita akan bertambah. Bersedekahlah
sebanyak-banyaknya dengan begitu rejekimu akan terus mengalir. Saya
menangkapnya begini, “memberilah, dengan begitu kamu akan menerima yang lebih
banyak lagi alias untung”. Apa itu tidak egois? Ini adalah hal pertama yang
tidak saya sepakati. Bersedekah, yah bersedekah saja, tidak usah pakai
embel-embel bersedekah biar rejekinya bertambah. Memberi dan masih mengharapkan
imbalan, anak SD saja tahu kalau itu bukan ihlas namanya. Masalah pahalah, itu
urusan Tuhan, tidak usah dihitung-hitung. Toh kita menikmati semua kecukupan
dan keberlebihan ini, Tuhan tidak pernah hitung-hitungan.
Dia
bahkan lebih banyak berbicara tentang dirinya sendiri, bagaimana dia
memberangkatkan orang tuanya naik haji ke tanah suci, berbakti dengan memenuhi
kebutuhan materi orang tuannya, bisnis yang dia rintis dan banyak lainnya. Sah-sah saja, tapi apa pentingnya
memberitahukannya kepada orang lain.
Ada
beberapa statementnya yang menohok dan sangat menciderai rasa, terutama bagi para
pekerja keras tapi tetap miskin, dan ini penting untuk diluruskan. Dia
menganggap seseorang miskin hanya karena dia tidak kreatif dan no action. Kasarnya,
kamu miskin, yah salah kamu sendiri, kenapa tidak kreatif, kenapa tidak
berusaha! Dia menegasikan faktor lain!
Secara
umum miskin digolongkan menjadi miskin kultural dan miskin struktural. Miskin kultural
adalah miskin yang disebabkan oleh mentalitas, dalam konteks ini si narasumber
ada benarnya. Tapi rasa-rasanya sangat tidak adil ketika dia menggeneralisir
bahwa miskin itu hanya disebabkan oleh mental (miskin cultural), dan
disampaikan di depan audiens, terlebih jika audiensnya kurang kritis.
Sebagai
contoh, mari kita lihat pemulung yang bekerja dan tinggal di sekitaran Tempat
Pembuangan Akhir Sampah. Mereka bekerja banting tulang dari pagi sampai malam,
berjibaku dengan bergunung-gunung sampah, bahkan ada yang satu keluarga bekerja
disana (termasuk anak-anaknya yang seharusnya bermain dan belajar). Mereka
miskin, apa mereka malas atau istilah si motivator no action? Came on, mari buka mata hati dan telinga. Penghasilan
mereka mungkin hanya cukup untuk makan hari itu saja, boro-boro mau menabung untuk
buat usaha. Mereka pasti ingin memperbaiki nasib. Tapi apa daya kita tinggal
dinegara yang biaya pendidikannya tinggi, Lembaga Pendidikan seperti menara
gading yang tak bisa disentuh. Kalaupun ada yang gratis, mungkin hanya sampai
SMP saja, itupun adminitrasinya saja sudah bikin malas dan kualitasnya paling
bontot. Bisa apa kita dengan ijazah SMP apalagi SD? Biaya rumah sakit, alah maaaak,
mahal cuyy, memang betul orang miskin dilarang sakit di Negara ini. Lapangan
Pekerjaan? Sarjana saja banyak yang nganggur, apalagi yang tidak punya ijazah. Semuanya
menjadi runyam. Inilah yang disebut kemiskinan terstruktur. Sistem dan regulasi
yang mengatur kita membuat sebagian besar masyarakat lapisan bawah terjerat
dalam lingkaran kemiskinan yang tidak putus-putus. Asumsi awal saya bahwa kemungkinan
si motovator tersebut memiliki kepribadian yang parlente seperti kostumnya
waktu itu, sepertinya mendekati benar. Dia melihat kemiskinan seperti
bermil-mil jauhnya, yang didekati dan disentuh ketika ingin mendapatkan belaian
yang lebih hot. ehhh
Dan yang
lebih menggelitik lagi, dia mengompor-ngompori seisi ruangan untuk bersedekah
saat itu juga. Ayo bersedekah, sekarang, yang banyak yahh, jangan pelit. Hampir
seisi ruangan terhipnotis, ada yang menyedekahkan handphone, emas, duit,
macam-macam. Dalam waktu tiga menit, duit yang terkumpul 18 juta, diluar
sedekah dalam bentuk barang. Saya tidak meragukan niat setiap orang yang
bersedekah itu. Cuma saja, kenapa mesti ditempat itu, jangan-jangan, ahh
sudahlahhhh… Wallahualam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar