Dosa apa yang telah dilakukan oleh minoritas
muslim Rohingya, sehingga tak ada lagi tempat untuk mereka di muka bumi ini?
Bagaimana bisa, jagad raya maha luas yang diciptakan oleh Tuhan ini, gratis untuk seluruh mahluk hidup dan tak hidup
sekalipun, menjadi begitu mahal harganya, oleh ulah sekelompok orang yang
menyebut dirinya sebagai negara? Beritahu logika apa yang bisa digunakan untuk
memahami, ribuan orang, wanita dan anak-anak, kelaparan, sakit dan depresi, terapung-apung
di tengah lautan, mencari daratan dan perlindungan, namun tak ada lagi empati
dan sedikit saja rasa iba untuk membiarkan mereka sekedar berlabuh, dengan mengatas namakan keinginan
rakyat dan Negara?
Sekiranya, pangeran Sidharta atau yang lebih
dikenal dengan Gauthama
Buddha masih hidup, tentu dia akan menangis sejadi-jadinya, menyaksikan
sekelompok pengikutnya kehilangan nurani dan melupakan pokok ajaran Buddha yang kedua; tidak
memikirkan kepentingan diri sendiri dan
terbelenggu oleh nafsu. Pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama Buddha
menolak suku Rohingya sebagai warga Negara mereka. Bahkan, sebutan Rohingya
bagi masyarakat Myanmar adalah hal yang tabu. Mereka menyebut kelompok muslim
Rohingya dengan nama Bengalis. Bengali adalah sebutan diskriminasi bagi
kelompok Rohingya, yang mengekpersikan kebencian (xenophobia), dan mengimplikasikan
bahwa suku Rohingya adalah imigran gelap dari
Bangladesh. Tahun lalu, 40 orang
Rohingya termasuk anak-anak dibunuh secara kejam di Desa Du Chee Yar Tan oleh
penduduk setempat. Sudah beberapa dekade, minoritas Rohingya mengalami
diskiriminasi dan penganiayaan oleh Myanmar. Bagi minoritas Rohingya, hanya ada
dua pilihan, Live and die or leave by
boat. Sementara
itu, Aung San Suu Kyi, penerima nobel perdamaian yang terkenal itu, yang
katanya lagi kepengen jadi presiden Myanmar tahun 2015, hanya bergeming,
menjadi penonton pasif, menyaksikan kejahatan kemanusiaan bergulir selama
bertahun-tahun di negaranya. Katanya, dia tidak berkomentar karena takut
memperkeruh suasana. Spekulasi lain beredar, dia memilih menjadi pendiam, untuk
mengamankan dan merebut hati rakyat Myanmar dalam pemilihan presiden mendatang.
Selama berbulan-bulan, ribuan migran Myanmar dan
Bangladesh terapung-apung di lautan Hindia, tanpa tahu harus kemana,
setelah Pemerintah Thailand menolak kapal tersebut untuk bersandar, dan juga di
usir oleh otoritas Malaysia kembali ke tengah lautan, dan akhirnya ditelantarkan oleh agen perdagangan manusia asal
Thailand di
tengah lautan Asia Tenggara. Kemana
gerangan hati nurani, menelantarkan ratusan wanita dan ibu-ibu yang menangis,
anak-anak yang memohon pertolongan, kelaparan, sakit-sakitan, bahkan sampai meminum urinenya sendiri karena kehausan? Otoritas
Thailand secara resmi menyatakan menolak kapal berisi migran tersebut, termasuk didalamnya wanita dan anak-anak, dan beralibi sudah melakukan
tanggungjawabnya dengan memberikan makanan dan minuman. Sementara otoritas Malaysia menyatakan, mereka
mengirim migran tersebut kembali ke tengah lautan, karena Myanmar dan
Bangladesh tidak dalam kondisi perang, jadi tak ada alasan untuk menerima
migran tersebut. Mereka beralasan penolakan tersebut merupakan keinginan warga
negaranya yang tidak menginginkan migran tersebut masuk ke negaranya. Malaysia memang telah
menampung ribuan pengungsi Rohingya pasca kerusuhan yang terjadi di Miyanmar
tahun lalu, tetapi bukankan dalam kondisi seperti ini, prioritas pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan hidup, menyelamatkan ribuan orang
dari kelaparan dan ancaman kematian, dan itu adalah tanggungjawab setiap mahluk yang memiliki nurani
apatah lagi institusi bernama negara!
Pada akhirnya, nelayanlah Acehlah, yang tanpa berpikir panjang, melaporkan
dan memberikan pertolongan, disusul dengan tumpah ruahnya belas kasih penduduk
Aceh kepada saudara-saudara kita yang malang itu. Saya menitikkan air mata
menyaksikan foto-foto para pengungsi tersebut, membayangkan mereka kelaparan,
kehausan, depresi, selama berbulan-bulan, di tengah lautan, tanpa tahu akan
berlabuh dimana. Mereka, orang-orang tanpa negara, tak memiliki apapun. Di saat
yang bersamaan, saya juga merasa begitu
bangga kepada suadara-saudara saya di Aceh, kepada Pemerintah Aceh, yang
dengan tangan terbuka, memberikan pertolongan kepada para pengungsi tersebut,
kebaikan mereka ditakzimi oleh seluruh dunia.
Menerima migran Rohingya memang merupakan masalah yang pelik, apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Boro-boro memberikan kehidupan yang lebih baik kepada para pengungsi tersebut, penduduk sendiri saja masih banyak yang menganggur dan miskin, belum lagi gesekan sosial yang akan timbul pada saat pengungsi tersebut berbaur dengan masyarakat setempat, dimana para pengungsi tersebut akan menerima banyak bantuan dari UNHCR, NGO, lembaga donor, dan negara lainnya. Apa yang dilakukan oleh Pemda Aceh dan pemerintah Indonesia patut diapresiasi, ini adalah krisis kemanusiaan yang serius, sepatutnya semua negara khususnya negara Asian berkerja secara bersama-sama menyelesaikan masalah ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar