Selasa, 17 Februari 2015

Sore yang Teduh

Saya tak bisa memejamkan mata. Mungkin kelenjar adrenal dalam tubuhku masih terlalu bersemangat memompa jantungku dan melancarkan aliran darahku. Oksigen diparu-paruku sepertinya masih mampu menemaniku beraktifitas seharian lagi, tanpa tidur. Saya sungguh bersemangat, setelah 6 jam, bersama Dhani, menghabiskan waktu menyaksikan Sore, Payung Teduh, Tulus, Float, Pandai Besi, dan The Adams, di Museum Staria Mandala.

Sebetulnya ini bukan kali pertamanya saya menyaksikan konsernya Sore. Sebelumnya sudah pernah, dengan list lagu yang jauh lebih banyak, dan semua personelnya (Echa, Bimbe, dan Awan) juga bernyanyi, setidaknya satu lagu satu orang. Konser semalampun sejujurnya tidak memuaskan, karena Sore harus duet dengan Tulus, dan itu berarti porsi lagu yang mereka bawakan menjadi lebih sedikit karena dishare dengan lagu-lagunya Tulus. Yang membuatnya istimewa, karena saya ditemani sahabat, yang tahu betul cara menikmati musik. Tangan kami tak hentinya saling merangkul, bersenandung, jika tak tahu liriknya, kami masih tahu cara berjoget.

Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di museum Satria Mandala. Di sana terdapat banyak pesawat tempur dan semacamnya, medannya berundak-undak, dan disampingnya ada sebuah bangunan yang masih dalam pengerjaan dengan tiang-tiang yang miring, entah itu disengaja mau menyerupai menara pisa, atau karena kesalahan konstruksi, yang jelas rupanya agak sedikit menakutkan. Penonton yang boleh masuk disyaratkan 18 tahun plus. Hampir saja kami tak diijinkan masuk, kami disangka masih 17 tahun. Hahaha. Bagi yang punya penyakit narsis, disediakan stand buat foto-foto, and lucky us, jika berhasil berfoto di tujuh stand yang telah disediakan, panitia menghadiahi kaos, goody bag, atau tiket vip. Ini benar benar anugrah bagi pengikut aliran narsisus seperti kami.


Awalnya saya dan dhany memilih hadiah kaos, kami pikir buat apa juga nonton dari samping, cuma liat kuping. Tapi setelah berlalunya beberapa band frontline, rumput yang becek gak ada ojek pula, dan tinggi badan tetap saja pendek meski sudah pakai wedges, kami berubah pikiran, kaos hitam yang sudah dibungkus tadi kami tukarkan lagi dengan tiket vip Sore Tulus. And here we were.


Yang membawa kami ke sana adalah Sore (band yang saya gandrungi saat ini), dan Payung Teduh (band yang lagi Dhani gandrungi saat ini). Sebenarnya saya tipe fans cyclycal, dulu waktu menyukai Efek Rumah Kaca, play list saya hanya berisi lagu-lagu ERK, waktu menyukai Keane play list saya hanya berisi lagu Keane, sampai akhirnya saya  bosan sendiri, dan mulai meninggalkannya, namun suatu waktu akan kembali jatuh cinta lagi. Saya tak tahu sampai kapan saya akan memburu Sore seperti ini, namun Float mulai mencuri hati saya, Payung Teduh sudah tentu sangat nikmat untuk didengar (namun menurutku lebih cocok didengarkan di kamar atau dalam konser yang santai di sore hari, atau dibawakan di kafe, bukan di lapangan yang luas dan riuh, Lagu mereka sangat cocok untuk mereka yang kasmaran atau lagi patah hati).

Pandai Besi, maaf saya tak bisa menikmati lagu-lagunya. Hampir-hampir saya tak bisa menerima lagu efek rumah kaca dibikin seperti itu. Saya bahkan nyaris tak mengenali lagu favorit saya, Jangan Bakar Buku, Hujan di Bulan Desember, Lelaki Pemalu, dan beberapa lagu ERK lain yang dinyanyikan oleh Pandai Besi malam itu. Sebagai fan Cholil dkk, saya agak kecewa. Cara bernyanyi vokalis utamanya seperti lagi nyinden dengan irama yang datar dan terlalu banyak repetisi. Syarat utama merecycle lagu orang lain adalah kau harus membuat lagunya lebih baik dari lagu aslinya, tidak hanya berbeda. Pandai Besi sepertinya memaksakan untuk berbeda dari lagu aslinya, sayangnya tidak lebih enak untuk didengarkan.
 
Float, saya hanya mengenal mereka lewat 3 hari untuk selamanya, tidak lebih Dan semalam, saya baru tersadar, kenapa tidak mencari tahu lagu-lagu mereka sejak dulu. Musik mereka asik, lebih kental dengan akustik dan cajon, ada sentuhan etnik nusantaranya juga, dan yang khas dari performance semalam, ada bass petotnya. Saya suka timre suara vokalisnya "Meng", seperti perpaduan Bob Dylan dan Once, looh, huaa sukaaaaaa. Sambil menulis tulisan ini, saya sedang mendengarkan Pulang.

Payung Teduh, saya sangat menyukai Perempuan Dalam Pelukan, sejak setahun belakangan, tapi tak berusaha mencari tahu lagu mereka yang lain. Saya Kira vokalisnya, Is, yang belakangan saya tahu ternyata orang soppeng (tetanggaan dengan Bone kampung saya),  memiliki bakat gombal melebihi kemampuan Jessica Iskandar. Di Perempuan dalam Pelukan dia bilang begini "hanya ada satu bintang malam ini, mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya. haha. cocok buat nipu cewek.  Apalagi setelah Dhani (fan payah-nya yang benar-benar payah), meminta foto bareng dengannya, dan tangannya mengelus-ngelus kepala Dhani. Aiiisssh, saya semakin yakin dia sweet sama semua orang, apalagi sama cewek-cewek. wakakaka.

Saya ingin cerita sedikit soal si fan yang meskipun payah tapi tetep asik ini, Dhani. Saya sudah berjanji akan menulis soal kekonyolannya di belakang panggung malam itu.
Karena merasa sia-sia ikut berdesak-desakan di depan panggung, hanya melihat kepala-kepala manusia berjibun, kepulan asap rokok dan menyan (?) dimana-mana, akhirnya kami memilih mundur. Beruntung kami mendapatkan spot yang hot, pada tembok dengan tinggi sekitar 80 cm yang memanjang tidak jauh dari panggung. Di sana kami berdiri, saling merangkul, beratapkan langit yang sejuk, bernyanyi, bergoyang ke kiri dan ke kanan, tak berani maju atau mundur, takut jatuh ke got. Moment itu unforgetable. Sesaat kami lupa, jika kami hampir 30, dan belum nikah. hahaha. Saat Payung Teduh menyanyikan lagu penutupnya, Dhani langsung merangsek ke depan mencoba mengambil foto Payung Teduh. Sayang Dhani kembali dengan tangan hampa, hasil jepretannya hanya menghasilkan backlight, dan objek fotonya tidak kelihatan sama sekali. Untuk mengobati kekecewaannya, dan sebagai rasa terimakasih saya ke dia, karena berbaik hati mengambil vip Sore dan Tulus, bukannya Payung Teduh, kuajaklah dia ke belakang panggung. Gayungpun bersambut, tak lama setelah kami sampai di back stage, pentolan Payung Teduh berambut kribo itu, tiba-tiba menghampiri kami. Malang nasib kami, dia ternyata tidak sedang mendekati kami, dia sedang menghampiri temannya yang berada tepat di samping kami. Dhani sudah salah tingkah dan speechless. Dia bahkan tidak berani menegur, sang vokalis yang berada tepat didepannya. Setelah mengumpulkan keberanian, Dhani akhirnya meminta untuk foto bareng. Saya ditemani dengan hape yang sudah nenek-nenek dan leletnya ampun-ampunan, gelagapan mencari fitur kamera, setelah terbuka, saya kemudian disibukkan mengubah setting video ke kamera, dua menit berlalu tanpa hasil apa-apa. Sang vokalis yang belum kami ketahui namanya lalu menyodorkan power bank-nya untuk dijadikan kamera. hahaha. Beruntung dani sudah menyiapkan kamera hapenya, dan jreeet, tertangkaplah momen ini.


Sang Vokalis melanjutkan obrolannya dengan temannya, sementara Dhani grogi, salting, kebingungan, sibuk mencari tahu nama idolanya siapa!!! Dia menelpon temannnya untuk menanyakan siapa nama idola yang berada didepannya saat itu, tak ada jawaban. Saya jadi ikut grogi, mencoba bertanya ke om google, dan ketemulah jawaban Alejandro Saksakame. Saya kemudian berbisik ke Dhani, dhan namanya Ale!. hahahah. Dhani tidak memercayaiku, meskipun ada bukti bahwa nama itu saya dapat dari om google. Kami sibuk grasak grusuk sana sini, keringat dhani bercucuran, dan saya tak bisa menahan ketawa. Walhasil, Dhani tidak sempat ngobrol, bahkan hanya sekedar menanyakan kabar, kepada idola yang karya-karyanya sangat dia cintai itu. Beberapa menit setelah pria ramah itu berlalu, kami baru menemukan namanya di blog antah berantah, hanya dua huruf "IS". Kami tak bisa berhenti menertawai diri kami sendiri.

Belum puas kami  menertawai kekonyolan kami sendiri, Bang Ade datang menghampiri. Sungguh diluar dugaan. Dan lagi, ternyata disamping kami ada fan lain yang jauh lebih well prepared dengan membawa kaset dan buku untuk ditandantangani. setelah meladeni fan yang lebih meyakinkan itu, barulah kami berfoto. Yes akhirnya bisa foto dengan Bang Ade, ditemani saksofon dan rokok yang tak tak pernah lepas di tangan. Sejujurnya, akan lebih perfect jika disitu ada Awan, Echa, Bimbe, dan Ex-personel Mondo. Cuma saja saya masih terlalu gengsi untuk masuk ke ruang artis dan minta foto.


Sore dan Tulus tampil di akhir acara saat waktu sudah menunjukkan pukul 21:30. Kami nonton tepat di sebelah kanan panggung. Sebelumnya, saya belum pernah nonton konser sedekat itu. I was so exited. Dari spot itu, kami bisa memandangi seluruh penonton yang datang yang bernyanyi dengan hikmat. Musik bisa menyatukan manusia dari kelas apapun dia. Musik memiliki kekuatan tersendiri, salah satu instrumen paling ampuh dalam menggiring opini, menggerakkan massa, dan menyembuhkan. Yah menyembuhkan kepenatan.

Dalam sebuah artikel saya pernah membaca, bahwa Sore awalnya tidak begitu percaya diri saat manggung secara live. Katanya selalu ada yang tidak lengkap jika bermain di panggung, entah itu soundnya yang kurang oke, atau salah satu alatnya tidak berfungsi dengan baik. Memang sih di lagu-lagu Sore selalu ada instrumen tambahan yang membuat hasil rekamannya kedengaran epic, namun tidak semua alat itu selalu bisa dibawa ke panggung. Mungkin itu yang membuat mereka kurang maksimal saat di panggung. Malam itu Bang awan kembali membuat joke, saat memperkenalkan tulus, "nah kalo ini baru penyanyi beneran, sebelum-sebelumnya yang nyanyi gatot kaca", sambil melirik Ade. Spontan seluruh penonton tertawa. Terlepas Sore tidak banyak mengeskplore lagu-lagunya sendiri karena harus berbagi dengan Tulus, tapi Pergi Tanpa Pesan menjadi kado indah malam itu. Lagu itu sangat merdu dinyanyikan oleh Tulus. Kata Bang Awan, tak ada yang pernah menyanyikan Pergi Tanpa Pesan, seindah Tulus menyanyikannya. Ya saya sepakat dengannya!

Weekend yang menyenangkan dan menyembuhkan....

Danke

Tidak ada komentar:

Posting Komentar