Minggu, 12 Oktober 2014

1984



Bagaimanapun Winston Smith menyembunyikan carut marut pikirannya tentang kediktatoran partai dan kemungkinan adanya kehidupan lain yang tidak semenyedihkan kehidupan warga Oceania, polisi pikiran ternyata tetap saja mampu mengendusnya. Sudah tujuh tahun dia dikuntit oleh mata-mata, teleskrin, dan mikrofon, sebelum akhirnya dikhianati secara sempurna oleh kekasihnya sendiri, Julia.

Smith dibekuk di kamar sewaannya, lantai atas toko Pak Charington yang ternyata seorang polisi pikiran juga, beberapa menit setelah membaca kitab Teori dan Praktik Kolektivisme dan Oligarkiskitab suci persaudaraan penentang kediktatoran dan totalitarian partai. Dan selanjutnya, menjalani serangkaian tes pengakuan dan pertobatan, di Kementerian Cinta Kasih, dalam waktu yang Smith tak tahu persis, hingga yang tersisa hanya onggokan tulang belulang berselimut kulit koreng dan gigi yang tersisa beberapa biji.

Namun, jauh di dalam sel-sel otak dan ingatannya, Smith masih menyisakan pemberontakan, keyakinan yang tak tergoyahkan, bahwa double think (pikiran ganda), stopcrime (henti-jahat), dan black-white, tidak lain hanyalah manipulasi partai untuk menjaga warga Oceania tetap terpelihara dalam kedunguan, dan Kementerian Perdamaian, Kementerian Cinta Kasih, Kementerian Kebenaran, Kementerian Tumpah Ruah, tidak lebih dari mesin pemutar balik fakta semata.  Tentu saja Kementerian Cinta Kasih tak akan pernah barang sedikitpun membiarkan pikiran-pikiran itu menjejal di kepala Smith atau siapapun di tanah Oceania. Dia kembali dimasukkan ke kamar paling mengerikan di London, untuk menjalani prosesi pertobatan terakhir. Di kamar 101 tersebut, Smith akhirnya menyerah, jatuh terjengkang ke kedalaman yang dahsyat,  menembus tembok-tembok bangunan, menembus bumi, menembus samudra, menembus atmosfer, ke antariksa, ke selat antar dua bintang, menjauh. Lalu akhirnya terlahir sebagai manusia baru, jika masih bisa dikatakan sebagai manusia, yang tidak punya rasa, kemauan, tidak peduli terhadap apapun. O’Brien sang eksekutor memang menginginkan itu. Pemberontak semacam Smith tidak akan dibunuh sebelum menyesal dan mengakui bahwa partai adalah kebenaran yang mutlak! Karena orang-orang yang mati karena tidak mau melepaskan kepercayaan mereka yang sejati, tentu saja segala kemulian menjadi milik korban dan seluruh aib tertimpakan pada eksekutor yang membakarnya hidup-hidup.

======

Buku ini, sedari huruf pertama sampai huruf terakhir, menyimpan kekuatan cerita yang bisa meledakkan kepala pembacanya. Mungkin agak berat untuk memulai membacanya, bisa jadi karena novel ini terlalu suram dan agak berat, tapi kau hanya perlu bertahan sampai seperempat awal, dan kau akan menemukan kekuatan cerita dan decak kagum terhadap satire tajam kehidupan di Negara totalitarian, teori kekuasaan, serta kesabaran dan kebijaksanaan seorang penulis.

Hal lain yang membuatku bertahan untuk membacanya adalah diksi-diksi yang digunakan Orwel dalam menyajikan ceritanya sungguh indah, kelam, sederhana, namun tidak biasa. Saya jatuh cinta pada berondongan kata demi kata yang mengalir dalam buku itu. Saya seperti terhisap dalam kekuatan dan kesuraman setiap hurufnya. Saya baru menyadari, bahwa huruf, kata-kata, diksi, ternyata menyimpan kekuatan yang mampu melahirkan ribuan percabangan imajinasi.

Winston menyusuri gang itu melewati bercak-bercak cahaya dan bayang-bayang, melangkah ke kubangan keemasan di tempat dahan-dahan pepohonan saling merenggang. Di bawah pohon-pohon yang di sebelah kirinya, tanah seolah terselubung kabut bunga-bunga bluebell. Udara serasa mengecup kulit. Hari itu tanggal dua mei. Dari suatu tempat jauh di tengah hutan terdengar burung-burung balam mengulang nada-nada yang sama.

Apa kau merasakannya? Aku merasakannya!!!

Inti dari seluruh cerita dalam 1984, sebenarnya terangkum dalam kitab persaudaraan Teori dan Praktik Kolektivisme dan Oligarkis yang dibaca secara sembunyi-sembunyi oleh Winston. Ada yang bilang buku ini sebenarnya adalah buku teori tentang kekuasaan dan teori kelas yang dikemas dalam bentuk sastra. Apapun itu, saya menikmati kedua-duanya.

Orwel menjelaskan, dalam teori kekuasaan, ketimpangan antar kelas akan terus dilestarikan. Sebab jika kelonggaran hidup dan keamanan sama-sama dinikmati oleh semua orang, sejumlah besar manusia yang biasanya terbingungkan oleh kemiskinan akan menjadi pintar dan belajar berpikir sendiri, dan sekali mereka berbuat demikian, cepat atau lambat mereka akan sadari bahwa minoritas yang menggenggam hak istimewa itu tidak mempunyai fungsi apapun, dan akan mereka sapu bersih. Dalam jangka panjang, sebuah masyarakat hierarkis hanya mungkin jika ditegakkan di atas dasar kemiskinan dan kebodohan.

Dalam Bab I Kebodohan adalah Kekuatan, orwel merinci tentang pembagian masyarakat di seluruh dunia. Sambil tersenyum-senyum membacanya, ini sangat Wawan, gumamku.

Di seluruh zaman yang tercatat, dan boleh jadi semenjak akhir zaman neolitik, masyarakat di seluruh dunia terdiri dari tiga kelompok: tinggi, menengah, dan rendah. Tujuan dari ketiga kelompok tersebut tidak terujukkan. Tujuan kelompok tinggi ialah mempertahankan posisinya. Tujuan kelompok menengah ialah bertukar posisi dengan golongan tinggi. sementara itu, tujuan kelompok rendah, kalaulah mereka mempunyai tujuan—karena sudah ciri kekal kelompok rendah bahwa mereka terlalu ringsek oleh kesengsaraan dan kemelaratan sehingga hanya sekali-kali saja menyadari suatu yang berada di luar kehidupan mereka sehari-hari—iyalah menghapus segala perbedaan dan menciptakan suatu masyarakat yang didalamnya semua orang setara.

Untuk kurun yang panjang, kelompok tinggi tampaknya berkuasa dengan aman, tetapi cepat atau lambat selalu tiba saatnya mereka kehilangan kepercayaan diri atau kemampuan memerintah dengan efisien, atau kedua-duanya. Mereka kemudian digulingkan oleh kelompok menengah, yang menggandeng kelompok rendah dengan pura-pura bahwa mereka memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan.

Begitu tujuan mereka tercapai, kelompok menengah mencampakkan kembali kelompok rendah ke kedudukannya semula sebagai budak, dan kelompok menengah itu berubah menjadi kelompok tinggi. dari ketiga kelompok itu, hanya kelompok rendah yang tidak pernah meski hanya sementara, berhasil meraih tujuannya.

Dalam kurun kemunduran, rata-rata manusia secara fisik lebih baik dari pada keadaannya beberapa abad silam. Namun kemajuan di bidang kemakmuran, penghalusan perilaku, reformasi atau revolusi, belum pernah mendekatkan kita pada kesetaraan barang satu millimeter pun. Dari titik pandang kelompok rendah, segala perubahan histori tak lebih hanya berarti berubahnya nama majikan mereka.

Siapa kelompok rendah ini? merekalah kaum proletar. Dari kaum proletar, tak ada yang perlu ditakutkan. Dibiarkan saja dengan kehidupan mereka sendiri, dari generasi ke generasi, dari abad ke abad mereka akan terus bekerja, berbiak dan mati, tidak hanya  tanpa dorongan untuk berontak, tetapi juga tak berdaya memahami bahwa ada kemungkinan dunia yang lain selain dunianya. Mereka baru dapat menjadi berbahaya jika kemajuan industry menuntut agar mereka memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.

Hal lain yang menarik adalah, saat Winston dikerangkeng dalam ruang tanpa jendela dengan sorot lampu yang sangat tajam dan menyilaukan menjalani serentetan interogasi dan penyiksaan. Saya terus membayangkan Natalia Portman yang disekap di film V for Pendetta, tapi dalam versi yang lebih sadis. Interogasi O’Brien kepada Winston malah menjadi debat panjang, yang sudah jelas pihak kalah yang mana, tapi tetap ngotot dan berakhir represif.

O’Brien: Apakah masa silam mempunyai eksistensi konkret di dalam ruang? Apakah, entah dimana, ada satu tempat, suatu dunia yang berupa benda-benda padat, yang disitu masa silam masih sedang berlangsung?
Winston: Tidak
O’Brien: Lalu dimanakah masa silam itu ada, kalau memang ada?
Winston: Dalam catatan dan dalam pikiran, dalam ingatan manusia
O’Brien: Dalam ingatan. Baiklah, kami partai mengendalikan semua catatan, dan kami mengendalikan semua ingatan, maka kami mengendalikan masa silam, ya tidak?
Winston: Tapi bagaimana kalian dapat menghentikan orang mengingat?
**O’Brien menekan indikator pemberi rasa sakit**

Banyak hal yang tak terduga dalam buku ini. Endingnya agak pahit, tapi dari situ jam terbang, ketekunan, dan kebijaksanaan penulisnya terlihat. Buku ini ditulis oleh George Orwel pada tahun 1949 yang membawanya menjadi penulis tenar di seluruh penjuru dunia. Baru pada tahun 2003, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak pertama kali oleh Bentang Pustaka. Buku yang saya baca adalah edisi ke II cetakan kedua Mei tahun 2014. Kredit yang berlipat-lipat untuk Landung Simatupang yang telah menerjemahkan buku ini dengan sangat sempurna. Ditangannya, tak ada kesan bahwa buku ini adalah buku terjemahan. 

1984
Penulis : George Orwell
Penerbit : Bentang Pustaka
ISBN : 978-602-291-003-9
Harga : Rp 64.000,-
Penerjemah: Landung Simatupang











Dari Skala 5, buku ini saya beri 4,5

Backsound: The First Gang to Die, Pengobral Dosa, Swell Window, Boom Claps,  True love

2 komentar:

  1. Wah, sepertinya 1984 di tumpukan akan menjadi giliran selanjutnya, nice review kak :)

    BalasHapus