Selasa, 22 Oktober 2013

Surat untuk Purnama #2

Purnama

Aku baru saja membaca suratmu (yang sok tahu itu). Kau tau, aku tak bisa menunggu sampai malam untuk membalasnya. Kamu senang sekarang? Aku seperti ditodong dengan sekontainer tuduhan dan nasehat dari orang yang belum aku kenal dan tak kuketahui bentuknya seperti apa. sekontainer, kamu duluan yang menyebutkan box besi itu sebagai ukuran banyak, besaran, atau volume. Asal kamu tahu, akupun memiliki kemampuan mendramatisir yang mumpuni.

Jika menurutmu tidak sopan menyapamu dengan kata ganti kamu, mengingat umurmu 33 tahun diatasku (menurut pengakuanmu), aku tidak keberatan memanggilmu nek atau ibu? Kamu keberatan? Bisa kutebak, kamu pasti ibu-ibu berusia 60 tahun yang mengaku berjiwa muda dan tidak rela dipanggil ibu olehku. baiklah, anggap saja kita setara, jika kamu merasa berhak menasehatiku, aku akan berusaha memercayai bahwa kamu memang lebih bijak dengan ilmu dan pengalaman yang lebih banyak.

Menyebalkan, itu kesan pertama  yang kutangkap dari dirimu melalui surat itu, tapi jujur, aku terharu. aku tak bisa mengingat, kapan terakhir menerima surat dari seseorang. Surat-surat yang aku terima di email, tidak cukup untuk dikatakan surat, hanya berisi surat menyurat perihal pekerjaan, selebihnya berisi spam. suratmu, seperti angin segar di musim panas, namun membuatku masuk angin, menusuk sampai ke tulang-tulang. 

Aku tak bisa menerima, kamu menganggap aku kesepian dan diselimuti kebosanan. Di luar sana sangat bingar, bagaimana bisa kamu menyebutku kesepian? begitu banyak hal yang bisa dilakukan, jika aku diselimuti kebosanan, pantaslah jika kau sebut aku dungu. 

Purnama, banyak hal yang bisa membuat orang merasa kesepian dan tak berguna. Menyaksikan satu kampung penduduk makan nasi basi yang sudah dikeringkan sementara pemimpinnya bermandikan harta dan tahta, mendengar salah seorang keluargaku terbaring lemah kesakitan di rumah mertuanya dan tidak punya biaya berobat ke rumah sakit, melemparku jauh ke dalam satu sudut ruangan yang sangat asing dan sepi, perasaan sedih dan marah menyeruak menembus pori-poriku, dan yang lebih menyakitkan, kusadari aku tak berbuat apa-apa. yah aku memang kesepian.
Kamu pun pasti memahami, terkadang, kebenaran itu menyakitkan dan sulit untuk diterima.

Bagaimana mungkin saya melupakan cerita itu. Aku mendengar cerpen itu untuk pertama kalinya dari dia, baru kemudian membeli bukunya. cerita itu sudah kubaca beberapa kali. setelah membaca suratmu, aku membacanya sekali lagi. Kesoktahuanmu bahwa aku pemalas, tidak sepenuhnya benar. tapi, terimakasih sudah mengingatkan.

oh ya, saat ini usiamu 60 tahun? jika kita memang orang yang sama, aku sungguh penasaran, bagaimana rupamu saat ini. maukah kamu menggambarkannya disuratmu yang berikutnya? katamu kau tak punya daya untuk menjawabnya, tapi bisakah kau mengimajinasikannya untukku? aku bahkan tidak punya keberanian membayangkannya.

Tawaranmu untuk menjadi teman berimajinasi dan berbagi kuterima dengan penuh suka cita. Sikap reaksionerku di awal-awal kuharap tidak membuatmu tersinggung. Kamu tentu jauh lebih paham. jika kita memang orang yang sama, tentu kamu pernah melalui ruang dan waktuku saat ini. iya kan?



Regards,
Purnama
22 Oktober 2013

2 komentar: