Bagaimana
bisa memaknai kebangkitan nasional dengan hanya bersungut-sungut
kelapangan, bermandi peluh, tidak boleh bergerak, kepala harus tegak, dan
khusuk mendengar pemimpin upacara membacakan pidato yang isinya entah apa. Bagaimana
bisa makna nasionalisme menjadi sesempit itu? Apa otak kita benar-benar sudah
pindah ke dengkul?
Mari ke
lapangan memperingati hari kebangkitan nasional, berpanas-panas ria tidak ada
apa-apanya dibanding perjuangan para pahlawan kita merebut kemerdekaan. Mari tunjukkan nasionalisme dengan ikut upacara
bendera di lapangan.
Tapi
disaat yang bersamaan, membiarkan inflasi melambung tinggi dengan
kebijakan-kebijakan yang mencekik rakyat, kemiskinan seperti lingkaran setan
yang tidak ada jalan keluarnya, menjual tanah yang katanya kaya ini kepada
pihak asing dengan dalih untuk investasi, menggerogoti uang Negara untuk
kepentingan partai dan pribadi, membuat kontrak karya puluhan tahun dengan
pihak asing untuk mengisap sumber daya Negara yang sisa sedikit, membiarkan
tanah Borneo “paru-paru dunia” dihancurkan oleh perusahaan multinasional dan domestic melalui perluasan tambang dan pembalakan hutan
yang sangat massif, membiarkan tanah papua
digerus habis isi perutnya oleh PT Freeport, serta tunduk dan takluk kepada lembaga keuangan Internasional dengan
menimbun utang mencapai 2000 triliun. Apa seperti itu bentuk dari kecintaan
kita kepada bangsa ini?
Pertanyaannya,
apakah bangsa ini benar-benar pernah bangkit dari keterjajahan?
=====
Tanggal
20 Mei kemarin, saya ditugaskan untuk menjadi
peserta upacara kebangkitan nasional 20 Mei. Ini bukan pertama kalinya saya mendapatkan durian runtuh menjadi peserta upacara
tanpa
konfirmasi terlebih dahulu. Benar-benar seperti ditimpa durian
runtuh, kulit tajamnya mengoyak-ngoyak tubuhku. Halaah. Well, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak suka
menjadi peserta upacara. Tidak ada yang dihasilkan selain peluh dan bau badan.
Ini hanya ceremony yang hampa nilai. Bukan hanya upacaranya yang tidak saya
sukai, tapi penunjukannya yang terkesan membully. Selama kamu belum memiliki
junior, maka terima saja nasib berpanas-panas ria sampai nyaris pingsan atau
pingsan sekalian setiap ada panggilan upacara. Apa institusi ini dihuni oleh geng motor, atau
mahasiswa kolot yang sangat patriarki dan senang memanfaatkan junior seenaknya. Mungkin
kesannya akan berbeda, jika penunjukkanya adil, dan tidak memanfaatkan junior. hiks
#Curhat
@ Office 20 Mei 2013