Terimakasih
sudah membalas suratku.
Jika bukan karena janji, aku
berencana ingin ngambek dan tidak dulu membalas suratmu. Isi suratmu yang
pertama agak menyinggungku, kau menudingku nenek-nenek yang
sok tahu. Kau tahu, semakin berumur seseorang, semakin dia menjadi
sensitif. Tapi aku memaklumi, kamu anak muda yang masih impulsif, aku tahu kamu
tak bisa menahan isi benakmu terkerangkeng dikepala tanpa kamu konversi menjadi
kata-kata (menyakitkan sekalipun). Aku yang menawarkan model komunikasi macam
ini, kau tahu aku tak akan melanggar janji, jadi tenang saja.
Suratmu yang terakhir membawaku
kembali ke masa-masa saat kuliah di Tanah daeng, kemudian mengungsi ke Tanah Babe.
Hidup di Tanah Daeng memang keras, tapi di Tanah Babe tidak kalah kerasnya. Di
Tanah Daeng mudah menemui orang-orang membentak-bentak atau memaki di jalan
raya, di Tanah Babe pun begitu. Tetapi, Tanah Babe lebih mengerikan dan lebih
memprihatinkan menurutku, disana penduduknya tiap hari dicekam rasa takut, was-was, dan tidak percaya kepada
siapapun. Di angkot-angkot preman menodong dengan sangat vulgar, berceramah
tentang utamanya berbagi dan peduli kepada gelandangan, dari pada menjadi
preman lebih baik meminta-minta katanya, dan kemudian menyayat-nyayat kulitnya
dengan silet (sampai sekarang aku tak mengerti maksudnya apa), selanjutnya meminta
atau tepatnya menodong dengan tarif minimal yang sudah dia tentukan, dan
memaki-maki penumpang yang tidak memedulikannya. Ada pula yang membawa anak
berumur beberapa bulan, sempoyongan memalak para penumpang dengan semburan bau
alcohol dari mulutnya, aku masih ingat wajah bringas itu, keterlaluan! Di
setiap sudut Tanah Babe, kita bisa menemukan pengemis, gelandangan, atau orang
gila. Orang yang masih tenang-tenang saja dan tidak gelisah dengan kondisi
seperti itu patutlah dipertanyakan kondisi psikologinya.
Selain mental yang bobrok, ketidak
mampuan Pemerintah menyediakan lapangan kerja dan pendidikan yang merata dan
murah adalah pemicu itu semua. Sayangnya, sebagian besar dari penduduk Tanah
Babe hanya melihatnya dari sisi yang pertama (mental bobrok) saja, mereka tak
mampu melihatnya dari aspek yang lebih besar dan menyeluruh. Memandang rendah
orang-orang miskin sebagai kelas tidak terdidik dan malas, tanpa melihat
penyebab utamanya apa. Harusnya
ada upaya memperbaikinya dari berbagai aspek!
Kehidupan di Tanah Babe (mungkin
juga di kota-kota lain) mendidik penduduknya menjadi seperti mesin, tidak punya
keinginan lain selain mengumpulkan uang dan hidup nyaman bersama keluarga. Untuk
mencapai itu, sekali lagi, mereka menjadi sangat egois. apa kau merasakannya?
setiap hari di jalan raya, kau tidak peduli lagi dengan orang-orang
disekitarmu, tidak peduli ada kecelakaan di depan sana selama tidak menyebabkan
kemacetan, sebaliknya kamu akan mengumpat karena macetnya jalan raya akibat ada
dua orang anak sekolah meninggal tertabrak bus, kamu mengumpat dan panik
karena gajimu dipotong akibat telat sampai ke kantor. Miris. Semakin maju perkembangan
zaman, semakin mundur peradaban dan moral kita.
Tapi
Purnama, betapapun menyebalkannya kota itu, selalu saja kita bisa menemukan
malaikat-malaikat yang menjelma ke dalam bentuk manusia. Para pemulung itu,
pedagang asongan, petugas kebersihan, aku melihat surga di mata mereka.
Kesabaran, kejujuran, pantang menyerah, dan kerja keras mereka, membuatku
merasa sangat kerdil. Senantiasalah mendoakan orang-orang seperti mereka
Purnama.
Purnama, kita tidak akan
membicarakan hal-hal yang terlalu pribadi, termasuk apakah rambutku sudah memutih
semua, kapan aku menikah, siapa suamiku, apakah saat ini aku sudah punya cucu,
apakah kondisi ekonomiku baik atau buruk, atau bagaimana detailnya caraku
mendidik anak-anakku. Kita hanya akan membicarakan kondisi di lingkungan kita,
atau apa saja yang terlintas dikepala, tentang pendapat, ide, ketidaksepakatan,
dan semacamnya. Mengenai kehidupan pribadiku, biarlah menjadi misteri, begitu
juga dengan kehidupan pribadimu, simpanlah untuk dirimu sendiri dan untuk
orang-orang yang memang punya keterkaitan dengannya.
Nabi Muhammad SAW, manusia termulia
yang pernah di ciptakan oleh Allah SWT, apa dia pernah menceritakan soal
hubungannya dengan anak dan istrinya atau sahabat-sahabatnya? Tidak Purnama,
dia hanya memberikan contoh dan kemudian di riwayatkan oleh orang-orang
terdekat dan sahabatnya. Dia Manusia berahlak paling mulia tidak pernah dengan
narsisnya menceritakan kehidupan pribadinya, apalagi merasa bangga dengan itu.
Tidak ada satupun foto atau lukisan wajah Nabi Muhammad SAW yang beredar di
muka bumi ini, dia tidak ingin dipuja! Lantas kenapa kita yang begitu banyak
keterbatasan ini begitu ingin di puja? Apalagi sejak adanya Sosial Media yang
dipopulerkan oleh Mark Zuckerberg itu. Tiba-tiba semua orang
menjadi sangat narsis, tidak hanya mengapload fotonya tiap jam tiap hari, tapi
juga menceritakan semua kegiatan sehari-harinya termasuk hal yang sangat
pribadi sekalipun. menyedihkan karena kita juga menjadi bagian dari kegiatan
gila itu.
Oh ya, soal Gie, kamu ingat cerita
Adam, katanya sewaktu Nikolas Saputra datang ke Tanah Daeng dalam rangka
promosi filmya berjudul Gie? bukannya disambut teriakan histeris, dia malah
didatangi sekelompok anak muda dekil gondrong bau keringat, protes karena
Nikolas dianggap tidak pantas menjadi sosok Gie. Ah mereka iri saja dengan
kegantengan Nicolas. hahaha. Bacalah sampai akhir, mungkin kamu
akan kecewa pada beberapa bagian.
Aku
sangat senang dengan cerita-ceritamu, aku seperti di serang de javu bertubi-tubi.
Terima
Kasih Purnama
November 2046