Dear Purnama
Kamu tahu hidup di Jakarta bukan perkara mudah. Semua serba tergesa-gesa jika tidak bisa dikatakan penuh kepanikan. Di jalan, klakson kendaraan mengiung-ngiung dari segala penjuru, oksigen yang kau isap selalu dibarengin asap pekat yang menyembur-nyembur dari pantat kendaraan, sementara waktu terasa berjalan sangat cepat, membuat darah sangat cepat naik ke leher, kepala panas, dan rasanya ingin memaki semua yang ada disekitarmu. Kau kasihan?
Teman saya baru saja balik dari sekolah di Japun. Di sana, dia terbiasa hidup dengan sangat nyaman dan teratur, tak banyak suara klakson, apalagi asap kendaraan. Berbanding terbalik dengan Indonesia yang tak punya industri otomotif tapi volume kendaraan yang beredar dijalannya bikin mau muntah, Japan tak membiarkan jalan-jalannya sumpek dengan kendaraan meskipun dia adalah salah satu negara yang paling banyak memproduksi kendaraan. Kembali ke teman saya, hanya butuh dua minggu baginya masuk kantor untuk ambruk (red:sakit). Tak hanya capek karena tiap pagi dan sore hari jadi ikan pepes di commuter line, stress membuat daya tahan tubuh menurun.
Teman saya yang banyak menghabiskan waktunya di timur indonesia, suatu hari nyeletuk, saya tidak habis pikir kenapa kalian bisa hidup di tempat seperti ini (red:Jakarta). Yahh, hanya orang-orang terpilih yang bisa menekuni hidup serupa ini, menghabiskan waktu 3 sampai 4 jam di jalan, untuk bisa mendapatkan nafkah, yang kemudian habis jika tidak minus di bulan itu juga. Jangan tanya soal memiliki rumah. Harga rumah di sini sudah gila-gilaan. Pekerja rendahan seperti saya tak usah bermimpi memiliki rumah dekat dari tempat kerja. Satu-satunya cara memiliki rumah adalah dengan menyingkir ke pinggiran kota atau ke luar kota sekalian, dan menyicilnya paling tidak 15 tahun. Setelah itu, tak ada lagi family space fiscal, syukur kalau masih bisa makan daging sapi segar sekali dalam sebulan.
Kau tentu sangat paham dengan alienasi. kelompok kiri atau kanan kritis menyebut bahwa kita manusia modern yang hidup di kota besar dan sumpek seperti Jakarta adalah gerombolah orang-orang teralienasi. Kau ingat Dimas Pangestu yang kumisnya aduhai itu, menurutnya alienasi atau proses menuju keterasingan dapat diperiksa dalam empat hal. Pertama, saat anda terasing terhadap objek yang sedang anda kerjakan. Pada beberapa jenis pekerjaan terkadang anda bahkan tidak dapat mengakses produk hasil kerja keras anda. Misalkan anda bekerja membuat sepatu merek terkenal, namun upah anda jika dikumpulkan sampai kapanpun tidak akan cukup untuk membeli sepatu tersebut. Kedua, saat anda terasing terhadap proses-proses yang berlangsung dalam pekerjaan anda, anda tidak diberi hak untuk berkontribusi terhadap arah dari pekerjaan anda. Anda sama sekali tidak diperkenankan untuk merubah sistem yang sudah ditetapkan atas pekerjaan anda sekalipun ide anda benar. Ketiga, anda terasing dari orang-orang karena pekerjaan anda, jam kerja yang berlebihan akan membuat anda bahkan tidak punya sisa waktu yang cukup untuk berintraksi dengan keluarga, teman, dan orang-orang di sekitar anda. Terakhir, anda terasing dengan diri anda sendiri akibat pekerjaan anda. Pekerjaan anda membuat anda tidak mampu memenuhi hasrat manusiawi anda. Anda tidak lagi menjadi diri anda sendiri. Anda seolah-olah adalah mesin, atau bahkan menjadi sekrup yang menopang roda gerigi pada mesin. Pekerjaan anda tidak akan pernah peduli apakah anda sedang tidak enak badan, sedang haid, atau sedang berduka, pilihan yang tersedia hanyalah “bekerja, atau dipecat.”
Alhamdulillah, hidup saya masih lebih beruntung dari parameter-parameter yang dikatakan dimas, tapi tinggal beberapa langkah lagi saya akan tergelincir ke sana, jika tak pintar-pintar mengatur diri. Saya mencintai pekerjaan saya, orang-orang di sekitar saya, dan lingkungan kerja saya. Hanya saja, kota ini seperti sudah tak tertolong lagi. Macet, stres, kacau!
Saat melihat nenek-nenek atau anak-anak duduk di jalan menengadahkan tangan, yang terlintas di pikiran saya, mereka pasti di organisir, lalu kuurungkan niat untuk membantunya. Saat melihat manusia gerobak dengan anak-anak yang tidak sedikit tidur di emperan jalan, saya berpikir sebetulnya mereka punya pilihan untuk hidup di kampung atau jangan-jangan rumah mereka di kampung besar. Hegemoni media sudah merasuk keotakku, belas kasihanku memudar, lama-lama empatiku hilang. Purnama, ini menakutkan!