Bukan mimpi namanya, jika itu
terlalu mudah bagimu, mimpi sepatutnya setinggi-tinggi imajinasi. Anak-anak
sepertinya sangat memahami konsep itu. Tidak heran, sebagian besar anak-anak
akan memilih profesi dokter, astronot, atau pilot sebagai cita-cita dan impiannya. Selain
itu, profesi tersebut hampir mirip dengan kerjaan tukang sulap, expecto patrunum!, maka jadilah ia, si
fulan yang sakit seketika menjadi sehat, berada diluar angkasa--apa yang lebih
menakjubkan dari itu, apalagi terbang bak superhero-- hemm pastilah sangat
menyenangkan. Namun seiring dengan bertambahnya usia, logika bercampur
kenyataan hidup terkadang membawa kita pada kutub yang berbeda, mimpi yang
tadinya setinggi langit berlahan menyusut cetek. Hanya sedikit yang bisa
menjaga dan mengawal mimpinya menjadi kenyataan. Siapa yang menyangka teori
relativitas Enstein yang besar dan revolusioner itu berawal dari imajinasi anak
berusia enam tahun tentang bagaimana rasanya berkendara dengan kecepatan
cahaya bersama seberkas sinar. Enstein
konsisten mengembangkan imaginasinya, dan beberapa dekade kemudian, seluruh
dunia makfum terhadap teori itu. Seharusnya seperti itu cara merawat mimpi.
Saya pernah, bahkan cukup lama,
mengagumi dan merawat mimpi menjadi seorang dokter, sampai akhirnya hasil SPMB
menghempaskan mimpi itu atau tepatnya nyali saya. Meskipun pada akhirnya saya
memahami bahwa menjadi orang berguna tidak harus menjadi dokter, tapi sampai
saat ini, saya tetap menyimpan 6 bintang untuk profesi itu. Betapa tidak, saat
kau merasakan sakit tak berdaya, kau melangkahkan kakimu menuju rumah sakit
menemui dokter, seluruh harapan seolah kau limpahkan ke dia, hidup dan matimu
tergantung dari keuletan dan intelegensinya.
Sebelum ilmu pengobatan modern
seperti yang kita kenal saat ini berkembang, sebagian besar kebudayaan dalam
masyarakat awal menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal
dan hewan
untuk tindakan pengobatan. Sebetulnya metode pengobatan alamiah tidak pernah benar-benar
punah. Saat ini metode pengobatan herbal malah menjadi alternatif pengobatan
yang cukup digandrungi menyusul issu konspirasi perusahaan farmasi dalam meraup
untung.
Di desa, pengobatan herbal tidak
pernah surut, masyarakat tak pernah takut jauh dari dokter, karena mereka punya
dokter keluarga masing-masing, sekiranya setiap orang yang bisa menyembuhkan
penyakit bisa disebut dokter. Sayangnya sebagian besar dokter keluarga ini
sudah uzur. Di keluarga saya, mama tua (nenek) adalah dokter andalan di
keluarga kami. Setiap ada salah seorang dari kami keturunannya yang sakit,
terlebih dahulu kami akan berkonsultasi ke mama tua. Tak lama kemudian, mama
tua akan datang membawa daun-daunan yang dia dapatkan di kebun belakang rumah
atau kebun tetangga. Dan saya bisa memastikan, sejauh ini, pengobatan mama tua
mujarab. Kami baru akan ke dokter, jika lebih dari 3 hari, penyakitnya tak
kunjung surut, dan biasanya penyakit kami tak akan berlanjut ke dokter. Ironisnya,
tak ada minat untuk mempelajari resep pengobatan mama tua, kami bahkan sangat jarang
memberikan kredit kepada mama tua atas kemampuan pengobatannya tersebut, hanya
karena dia tidak memperoleh pengetahuannya secara formal. Berbeda dengan
profesi dokter, dengan jas putih bersih mentereng, stetoskop menggantung di
pundak, tulisan tangan yang tak bisa dibaca, dan alat kedokteran yang canggih,
membuatnya beribu-ribu kali lipat lebih keren dari mama tua. Profesi dokter hampir
selalu ada dalam list cita-cita seorang anak,
profesi dokter dihormati, mulia, putih serupa peri penolong yang menentukan
hidup matimu.
Lalu, belakangan, dokter menjadi mahluk
baru bermuka dua, mereka dipuja, sekali waktu dicaci. Pemujaan terhadap profesi
dokter membuat mereka membangun dunianya sendiri, eksklusif, dan nyaris tidak
dapat dijangkau oleh masyarakat kecil. Tak banyak yang bisa dihasilkan oleh popularitas
dan pemujaan yang berlebihan selain kecongkakan. Ditambah lagi kasus malpraktek,
mahalnya biaya konsultasi ke dokter berikut biaya obat-obatan dan fasilitas
kesehatan lainnya, attitude sebagian dokter yang memperlakukan pasien seperti
onggokan sampah yang tinggal menunggu waktu terurai, dan dokter yang
berafiliasi dengan perusahaan farmasi, dokter muda wefie-wefiean saat sedang
belajar operasi, membuat dokter menjadi semakin berjarak dengan masyarakat. Sebetulnya
dokter tidak berdiri sendiri dalam mambangun stigma ini, sistem pendidikan dan
regulasi kesehatan kitalah yang membuatnya menjadi lebih buruk. Tapi kita tak
akan membahasnya sampai ke sana.
===
Saya masih mengagumi profesi dokter,
dan juga masih menyimpan stigma sebagian besar dokter congkak, sampai akhirnya
saya berurusan dengan dokter dan harus menginap di rumah sakit dengan jarum
menancap di nadi. Saya adalah pasien BPJS, dan sudah siap diperlakukan setengah
hati oleh dokter dan seluruh crew rumah sakit. Saya sudah siap menelan ludah
menahan perasaan sedih karena tidak dianggap, dan berbisik dalam hati sekiranya
petugas rumah sakit itu tahu betapa penghargaan mereka kepada pasien adalah
obat yang bisa menyembuhkan. Saya sungguh sudah siap dengan seluruh kenyataan
dan stigma itu.
Namun, harapan tak selalu menjadi
kenyataan, dan ini sangat langka, harapan buruk berakhir dengan kenyataan
memuaskan, what a releaf! Kami mendapati semua petugas di RS itu melakukan
fungsinya dengan sangat baik, sebelum masuk ruang tindakan, saya sudah merasa
sembuh. Saya bisa merasakan dokter memperlakukan saya sepenuh hati, misalnya
menjelaskan segala sesuatunya dengan rinci, memberikan dorongan dan semangat,
menjelaskan tindakan apa yang mau diberikan kepada saya, bahkan sebelum dibius,
dokter anastesinya (yang dari perawakannya sudah sangat senior dan
berpengalaman) memperkenalkan diri dan menjelaskan saya akan disuntik apa dan
akan kehilangan kesadaran selama berapa menit. Selesai tindakan, tak ada masalah
dengan administrasi, hanya butuh beberapa menit, urusan dengan rumah sakit
beres.
Saya memilih dokter itu secara
acak, ekspektasi sayapun tak terlalu tinggi. Namun sekali control dengannya,
saya sudah berkesimpulan, saya memilih dokter yang tepat. Satu hal yang paling
menarik, dia pelit memberikan resep obat. Saat dia harus memberikan resep obat,
dia menganjurkan saya membelinya di apotik umum, katanya dia tidak suka obat di
RS tempat dia praktek, harganya terlalu mahal, kamu beli di apotik umum saja,
lebih murah! Hahah, see, tidak semua
dokter berafiliasi dengan perusahaan farmasi. Terberkatilah dokter-dokter baik
hati dan punya prinsip.
Saya sangat percaya, pelayanan
dan kehangatan dokter dan petugas rumah sakit merupakan hal yang tidak
terpisahkan dari upaya penyembuhan pasien. Saya merasa perlu menulis pengalaman
ini, di tengah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap kredibiltas dokter,
selain itu saya masih terlalu respek dengan profesi dokter. Bagiku, dia masih
seperti tukang sulap, perpanjangan tangan Tuhan, expecto patrunum, kunfayakun, maka sembuhlah kamu.
===