Rabu, 20 Mei 2015

MANUSIA PERAHU, KEMANA HARUS BERLABUH?




Dosa apa yang telah dilakukan oleh minoritas muslim Rohingya, sehingga tak ada lagi tempat untuk mereka di muka bumi ini? Bagaimana bisa, jagad raya maha luas yang diciptakan oleh Tuhan ini, gratis untuk seluruh mahluk hidup dan tak hidup sekalipun, menjadi begitu mahal harganya, oleh ulah sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai negara? Beritahu logika apa yang bisa digunakan untuk memahami, ribuan orang, wanita dan anak-anak, kelaparan, sakit dan depresi, terapung-apung di tengah lautan, mencari daratan dan perlindungan, namun tak ada lagi empati dan sedikit saja rasa iba untuk membiarkan mereka sekedar berlabuh, dengan mengatas namakan keinginan rakyat dan Negara?

Sekiranya, pangeran Sidharta atau yang lebih dikenal dengan Gauthama Buddha masih hidup, tentu dia akan menangis sejadi-jadinya, menyaksikan sekelompok pengikutnya kehilangan nurani dan melupakan pokok ajaran Buddha yang kedua; tidak memikirkan kepentingan diri sendiri dan terbelenggu oleh nafsu. Pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama Buddha menolak suku Rohingya sebagai warga Negara mereka. Bahkan, sebutan Rohingya bagi masyarakat Myanmar adalah hal yang tabu. Mereka menyebut kelompok muslim Rohingya dengan nama Bengalis. Bengali adalah sebutan diskriminasi bagi kelompok Rohingya, yang mengekpersikan kebencian (xenophobia), dan mengimplikasikan bahwa suku Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh.  Tahun lalu, 40 orang Rohingya termasuk anak-anak dibunuh secara kejam di Desa Du Chee Yar Tan oleh penduduk setempat. Sudah beberapa dekade, minoritas Rohingya mengalami diskiriminasi dan penganiayaan oleh Myanmar. Bagi minoritas Rohingya, hanya ada dua pilihan, Live and die or leave by boat. Sementara itu, Aung San Suu Kyi, penerima nobel perdamaian yang terkenal itu, yang katanya lagi kepengen jadi presiden Myanmar tahun 2015, hanya bergeming, menjadi penonton pasif, menyaksikan kejahatan kemanusiaan bergulir selama bertahun-tahun di negaranya. Katanya, dia tidak berkomentar karena takut memperkeruh suasana. Spekulasi lain beredar, dia memilih menjadi pendiam, untuk mengamankan dan merebut hati rakyat Myanmar dalam pemilihan presiden mendatang.

Selama berbulan-bulan, ribuan migran Myanmar dan Bangladesh terapung-apung di lautan Hindia, tanpa tahu harus kemana, setelah Pemerintah Thailand menolak kapal tersebut untuk bersandar, dan juga di usir oleh otoritas Malaysia kembali ke tengah lautan, dan akhirnya ditelantarkan oleh agen perdagangan manusia asal Thailand di tengah lautan Asia Tenggara. Kemana gerangan hati nurani, menelantarkan ratusan wanita dan ibu-ibu yang menangis, anak-anak yang memohon pertolongan, kelaparan, sakit-sakitan, bahkan sampai meminum urinenya sendiri karena kehausan? Otoritas Thailand secara resmi menyatakan menolak kapal berisi migran tersebut, termasuk didalamnya wanita dan anak-anak, dan beralibi sudah melakukan tanggungjawabnya dengan memberikan makanan dan minuman. Sementara otoritas Malaysia menyatakan, mereka mengirim migran tersebut kembali ke tengah lautan, karena Myanmar dan Bangladesh tidak dalam kondisi perang, jadi tak ada alasan untuk menerima migran tersebut. Mereka beralasan penolakan tersebut merupakan keinginan warga negaranya yang tidak menginginkan migran tersebut masuk ke negaranya. Malaysia memang telah menampung ribuan pengungsi Rohingya pasca kerusuhan yang terjadi di Miyanmar tahun lalu, tetapi bukankan dalam kondisi seperti ini, prioritas pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan hidup, menyelamatkan ribuan orang dari kelaparan dan ancaman kematian, dan itu adalah tanggungjawab setiap mahluk yang memiliki nurani apatah lagi institusi bernama negara!

Pada akhirnya, nelayanlah Acehlah, yang tanpa berpikir panjang, melaporkan dan memberikan pertolongan, disusul dengan tumpah ruahnya belas kasih penduduk Aceh kepada saudara-saudara kita yang malang itu. Saya menitikkan air mata menyaksikan foto-foto para pengungsi tersebut, membayangkan mereka kelaparan, kehausan, depresi, selama berbulan-bulan, di tengah lautan, tanpa tahu akan berlabuh dimana. Mereka, orang-orang tanpa negara, tak memiliki apapun. Di saat yang bersamaan, saya juga merasa begitu  bangga kepada suadara-saudara saya di Aceh, kepada Pemerintah Aceh, yang dengan tangan terbuka, memberikan pertolongan kepada para pengungsi tersebut, kebaikan mereka ditakzimi oleh seluruh dunia. 



Menerima migran Rohingya memang merupakan masalah yang pelik, apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Boro-boro memberikan kehidupan yang lebih baik kepada para pengungsi tersebut, penduduk sendiri saja masih banyak yang menganggur dan miskin, belum lagi gesekan sosial yang akan timbul pada saat pengungsi tersebut berbaur dengan masyarakat setempat, dimana para pengungsi tersebut akan menerima banyak bantuan dari UNHCR, NGO, lembaga donor, dan negara lainnya. Apa yang dilakukan oleh Pemda Aceh dan pemerintah Indonesia patut diapresiasi, ini adalah krisis kemanusiaan yang serius, sepatutnya semua negara khususnya negara Asian berkerja secara bersama-sama menyelesaikan masalah ini.

***