Selasa, 14 April 2015

TENTANG SI KECIL PAHIT YANG MEMUKAU


Saya bukanlah pecinta kopi. Meskipun tak menganggapnya penting, saya masih mengkonsumsinya, dengan kuantitas yang bisa dihitung dengan satu tangan dalam sebulan. Biasanya dengan tujuan khusus, menahan kantuk saat rapat, atau dalam rangka begadang jika weekend tiba. Konon, kopi pertama kali ditemukan sebagai minuman penambah energi oleh seorang petani Ethiopia bernama Khalid saat mengembala kambingnya. Kambing Khalid tiba-tiba menjadi sangat atraktif sesaat setelah memakan biji kopi. Saya berharap, reaksi tubuh saya setelah meminum kopi sama seperti kambing-kambingnya Khalid. Tapi itu tak terjadi, seringkali efek dari kopi yang saya minum malah seperti efek obat tidur, saya malah semakin tak berdaya melawan kantuk.

Sampai akhirnya saya nonton film bertema kopi yang diproduksi oleh seorang sutradara muda bernama Anggi Dwimas Sasongko. Sepertinya saya harus membuka mata, kopi bukan hanya sekedar minuman yang ngehits, lebih dari itu, kopi mengandung banyak cerita dan makna dibaliknya. Film berjudul Filosofi Kopi ini diadaptasi dari cerita pendek Dee lestari yang juga berjudul "Filosofi Kopi". Saya menyukai hampir semua cerpen dan prosa dalam buku Filosofi Kopi. Yang paling saya sukai adalah Spasi, namun seperti terserang amnesia lokal, cerita Filosofi Kopi tak mampu kuingat sama sekali. Jadi pada saat menyaksikan film Filosofi Kopi, saya tak perlu membanding-bandingkannya dengan cerita aslinya dalam buku.



Sejak pertama kali isu Filosofi Kopi akan difilmkan muncul, saya langsung antusias ingin menontonnya. Entah kenapa saya punya firasat film ini akan berhasil mencuri perhatian---tidak seperti Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang "sorry to say" terkesan serba maksa, Songong, dan Sok. Menurutku tak ada yang berhasil dari film yang diadaptasi dari Series Supernova-nya Dee Lestari itu. Bukunya sih keren, filmnya yang gagal fokus---. Dan tanggal 9 April kemarin, tepat di hari pertama tayang di bioskop, saya dan dua orang teman saya si batak Rimbi dan putri keraton Dian, berhasil nonton cantik di bioskop murah meriah Atrium. Kami bahkan nonton dua kali! Yang kedua terjadi karena kecerobohanku menghilangkan potongan tiket berikut tiket teman-temanku, padahal tiket XXI itu bisa dijadikan tiket masuk ke kafe Rolling Stone menyaksikan konser Filosofi kopi. Akhirnya kami nonton (lagi) kilat pada saat jam istirahat makan siang, demi untuk mendapatkan potongan tiket dan bisa nonton konser filosofi kopi. Kurang militan apa coba?

Saya suka dan puas, meskipun ada beberapa bagian yang agak silly. Sound effectnya kurang greget, akhirnya terkesan krik krik dibeberapa bagian. Ada juga scene yang meaningless, contoh adegan curcolnya El dan Jodi di kebun kopi, dialog panjang si Jodi dan cicinya yang terlalu sepi dari sound effect, atau dialog panjang si debt kolektor dengan Jodi yang lagi-lagi kurang greget. Terlepas dari itu, saya sangat mengapresiasi film ini. Film ini tidak hanya bercerita soal produksi kopi mulai dari cara penanamannya sampai cara penyajiannya, tapi juga banyak mengeksplor hubungan persahabatan,  dan yang lebih menarik, film ini menyentil nasib petani kopi yang banyak tersingkir akibat dari ekspansi perusahaan besar dan godaan mengganti komoditi kopi dengan komoditi lain yang lebih menguntungkan. Dalam sebuah wawancara, Glen Fredly sang co-produser bilang, film ini memang didedikasikan kepada para petani kopi di Indonesia. Ini merupakan angin segar bagi perfilman indonesia, film dengan pesan yang kuat sudah terlalu jarang kita temui di perfilman kita. Jika ingin mengangkat kembali perfilman indonesia, maka paling pertama yang bisa dilakukan adalah memperkuat tema ceritanya terlebih dahulu, sekiranya kecanggihan masih terlalu jauh untuk kita jamah. Kita tidak akan belajar jika terus-terusan membebek selera pasar dan godaan profit yang menggiurkan. Kampanye untuk nonton film Indonesia secara besar-besaran dan gratis beberapa hari yang lalu tidak ubahnya seperti layanan operator yang menawarkan fasilitas gratis, tapi dengan syarat dan ketentuan berlaku, parahnya lagi sinyal dan kualitasnya tiarap. Mau sebanyak apapun film gratisnya, kalau yang ditawarkan film pocong pocong, atau tema percintaan ababil akut, tidak akan membawa kita kemana-mana. Tawaran itu tak mampu menandingi film hollywood atau film negara lain yang jauh lebih maju dari sudut pandang manapun kita melihatnya.

Saya tak begitu menyukai kopi dan tak paham kenapa teman-teman cowok saya begitu mencintai kopi hitam, pacar saya bahkan mengakui dengan sangat fulgarnya bahwa kopi hitam adalah cinta sejatinya. Namun, tetap saja si kecil, hitam, dan pahit itu tak pernah kuanggap penting. Sampai akhirnya, film filosofi kopi berhasil membalikkan segalanya, saya memang tetap tak rutin mengkonsumsinya, tetapi penghargaanku terhadap kopi jauh lebih maju saat ini. Bahwa negara kita adalah penghasil kopi terbesar kelima di dunia. Bahwa negara kita ditopang oleh petani kopi yang berada di berbagai pelosok indonesia. Bahwa kopi yang baik akan selalu menemukan penikmatnya, kopilah yang menyatukan anak-anak muda di warung kopi atau di teras rumah menyulam impian kecil mereka menjadi rencana yang maha besar, kopilah yang menjadi lampu berkekuatan 500 watt di kepala para sastrawan, para peneliti, mahasiswa, doktor, profesor, wartawan, di malam-malamnnya yang sunyi. Bahwa petani kopi kita adalah kelas/lapisan terbawah yang sangat mudah tersingkir dan tertindas dalam bisnis kopi kapitalis yang terus menggurita. Bahwa kita sebagian besar masyarakat indonesia tidak menyadari betapa beruntungnya kita memiliki kopi-kopi terbaik. Bahwa barista bernama Ben di film Filosofi Kopi  itu, guaaaaantengnya pooooooooooolllllllllllll uaaaaaanjeeeeeeng. ^_^
Ben, Al, dan Jodi di Konser Filosofi Kopi Kafe Rolling Stone

Chicco Jerikho, tiba-tiba saja mengalami metamorfosis yang sangat pesat. Sebelumnya, dia hanya pemain FTV dan sinetron yang biasa-biasa saja. Namun setelah main di Cahaya dari Timur Beta Maluku dan memenangi piala citra 2014, dia seperti baru terlahir kembali dengan segala pesona  yang dia miliki. Pemeran Ben dalam Filosofi Kopi itu memiliki tanggung jawab yang cukup besar jika tidak bisa dikatakan sangat besar atas kesuksesan film tersebut. Kegantengannya melebihi Tristan dalam film The Legend Of The Fall. Dia berhasil menghidupkan karakter Ben dengan sangat sempurna, Ben si barista ambisius, cuek, dan cinta mati sama yang namanya kopi. Keberhasilan tersebut tidak bisa lepas dari tandemnya Rio Dewanto yang berperan sebagai Jodi "si paman gober" yang pelit dan perhitungan. Jodi merupakan sahabat Ben dari kecil sekaligus pemilik modal dan mesin penghitung cuan kedai Filosofi Kopi. Ben dan Jodi menganalogikan dirinya sebagai kepala dan hati, Jodi sebagai kepala yang selalu realistis, sementara Ben adalah hati yang selalu idealis dan melakukan segala sesuatu hanya dengan satu alasan, karena cinta. Berlatar belakang kota Jakarta, film ini tidak lantas menipu diri dengan terus menjual Jakarta dengan segala keglamorannya. Gang-gang yang sempit, pasar tradisional, warteg dan es tehnya yang selalu menyegarkan, menjadi pemandangan yang biasa dalamfilm ini. Bahasa yang digunakan juga santai dan sangat natural, terkadang disisipi dengan bahasa kotor, dan inilah realitas yang kita temui di jalan tiap hari.


Konser filosofi kopi


Hal lain yang membuat film ini sangat layak untuk diapresiasi, bukan hanya karena subtansi dari ceritanya sendiri yang bagus, tetapi juga melibatkan musisi-musisi hebat baik yang sudah terkenal maupun baru untuk mengisi soundtrack film tersebut. Mereka adalah Maliq & d'Essentials, Gilbert Pohan, Sidepony, dan band yang dijaring melalui kompetisi ngeracik musik SVARNA. Dan yang bertanggung jawab atas keterlibatan musisi musisi tersebut adalah Glend Fredly.

Empat hari setelah tayang premier, pada tanggal 13 April 2015 kemarin, bertempat di Kafe Rolling Stone, Filosofi Kopi movie mengadakan konser dengan menghadirkan seluruh penyanyi soundtrack, produser, sutradara, casts, dan crew dari film tersebut. Saya termasuk orang yang percaya bahwa film yang bagus selalu didukung oleh soundtrack yang bagus pula. Pada malam itu, di konser yang cukup intimate, dihalaman belakang kafe Rolling Stone, bersama teman sebangsa dan setanah air yang kece tapi norak Rimbi Dian dan Langun, saya merasakan energi dan otimisme terhadap musik dan film indonesia. Sayang lagu-lagunya belum rilis, dan belum bisa dibajak juga. hahaha

Ngopi dulu, sebetulnya cuma rimbi yg ngopi, yang lain minum soda

Ada satu hal yang membuat saya terenyuh malam itu, pada seorang pria berkemeja biru muda, mengaku sebagai petani kopi, dan menyanyikan lagu-lagu bertema sosial dan lingkungan dengan petikan gitar yang rada-rada ngecountry. Setelah menyanyikan beberapa lagu, dia turun ke sisi kiri panggung, merapikan gitarnya dan memasukkannya ke dalam tas sambil jongkok. Setiap kali ada orang yang datang mengajak untuk berfoto, dia selalu meladeninya dengan ramah, lalu lanjut mengepack alat musiknya lagi. Setelah itu, dia berdiri di sisi panggung itu sampai konser hampir ditutup. Dia tidak memperlihatkan sedikitpun lagak, bahwa dia adalah seorang vokalis band yang sudah berpetualang ke banyak penjuru negeri menyuarakan isu sosial dan ekologis, jika dia adalah seorang aktifis lingkungan yang mendedikasikan banyak waktunya untuk menjaga alam Indonesia dari kerusakan dan kerakusan manusia-manusia bumi. Sementara orang-orang yang baru melakukan sedikit saja kampanye sosial, terlena dalam selebrasi dan pujian di atas panggung. Pria itu selain berilmu, dia juga telah banyak melakukan hal bermanfaat, namun kepalanya terus merunduk ke bawah. I really adore you Robi Navicula.
Me and Robi Navicula

Saya selalu menikmati momen dimana saya menggilai sesuatu, menggilai ketampanan Chicco, menggilai Filosofi Kopi the movie, menggilai kesederhanaan para petani-petani kopi, dan menggilai kejeniusan dan kesederhanaan musisi-musisi hebat. Saya memaklumi rimbi yang histeris dan gemetaran saat dirangkul dan dicium oleh chicco, sementara dian merengut tak karuan karena tak mendapatkan kesempatan yang sama. Saya rela diserang demam chicco selama berhari-hari dan tak tahu obat penawarnya apa.
Dari kiri ke kanan, Chicco, Jempol Rimbi, dan Rio

Meskipun yang keliatan cuma gigi, tak apalah, ini bukti kongkrit rimbi habis dirangkul chicco. Haha

Karena terkadang hidup butuh kegilaan untuk membuatnya lebih hidup.

------
Nb: Para pecinta kopi seharusnya nonton film ini. Ini bukan hanya sekedar mengapresiasi film indonesia, tetapi juga bentuk apresiasi kita kepada petani-petani kopi di indonesia dan pecinta kopi itu sendiri.