Selasa, 02 September 2014

Festival Film Jerman day #2 Goethe



Matahari masih sangat bersemangat menyiramkan hangatnya di bumi Jakarta, bisa jadi sebesar semangatku bergerak menuju Goethe siang itu, 24 Agustus 2014. Goethe merupakan lembaga pusat bahasa dan kebudayaan jerman bertempat di Jl. Sam Ratulangi No 9-15  Jakarta. Tanggal 22 – 31 Agustus 2014 kemarin, Pemerintah Jerman mengadakan festival film Jerman dibeberapa wilayah Indonesia, salah satunya di Jakarta, dan patut dicatat seluruh pemutaran filmnya gratis! 

Jam 2 siang, tempat itu sudah mulai ramai dikunjungi, mulai dari anak-anak muda sampai orang tua. Perbedaan mencolok dari kedua generasi ini adalah anak muda selalu datang bergerombol, sementara orang tua datang sendirian atau setidaknya berdua. Anak muda berteman riuh riah kebersamaan, orang tua berteman kesepian, begitukah? Haha. Apapun itu, satu hal yang menyatukan kami di sana adalah kecintaan pada film. Film serupa taman bermain tempat mempalajari nilai-nilai universal dan kebudayaan, wadah mengapresiasi kebaikan dan memasung kejahatan, tempat imaginasi beranak pinak, seperti halnya kau akan menemukannya pada buku lebih dalam lagi.

Hari itu, ada tiga film yang diputar di Goethe, Kaddisch fur einen freund, Oh Boy, dan Westen. Saya hanya bisa nonton dua film saja Kaddisch Fur Einen Freund dan Oh Boy. Untuk film pertama, saya menyimpan sobekan karcis saya di wadah yang disediakan oleh panitia, sebagai tanda saya menyukai film itu. Sementara film oh boy, saya tidak terlalu menikmatinya, karena diserang keram leher dan mata juling selama dalam teater, akibat kebagian tempat duduk paling depan. 

----------

Kaddisch Fur Einen Freund

Meskipun rilis di tahun 2012, nampaknya film ini patut untuk diangkat dan disimak lagi. Pembantaian warga Gaza yang telah menembus angka lebih dari 2.000 jiwa menyusul perebutan tanah Palestina dan genozida keji oleh Israel selama bertahun-tahun,  dibarengi dengan pembantaian yang dilakukan ISIS terhadap kaum minoritas di Suriah dan Irak, tidak bisa dipungkiri melahirkan kemarahan bagi siapapun yang berakal sehat, dan olehnya sangat rawan untuk berkembang menjadi  permusuhan yang serius, bahkan bagi mereka yang berada di luar konflik.
Dari serangkaian peristiwa itu, otak kita kemudian membuat sebuah cabang sendiri, bernama stigma paranoid. Apa yang kamu ingat ketika mendengar Yahudi, terbayang negara bengis yang tega membunuh ribuan orang tak bersalah dan melakukan cara apapun untuk merebut tanah rakyat Palestina. Sebaliknya apa yang kamu ingat ketika mendengar Islam, jika kau menanyakan itu pada orang-orang eropa atau negara-negara nonmuslim, Islam adalah mereka pria dan wanita diselimuti bom, meledakkan dirinya di tengah keramaian, kelompok orang-orang ekstrim fanatik, tempat berkumpulnya para teroris.



Film ini, ingin meluruskan stigma itu. Tidak betul bahwa semua orang islam adalah teroris, begitu juga tidak betul jika kau menganggap semua orang yahudi Jahat. Pembantaian rakyat Palestina yang sudah tidak bisa diterima nalar manusia bahkan setan sekalipun, harus diperangi dan diakhiri!!! Pemenggalan secara biadab yang dilakukan oleh ISIS  kepada kelompok minoritas di Suriah dan Irak juga tidak bisa dibiarkan. Dunia harus bergerak mengakhiri ini. Bukan cuma celotehan prihatin dan basa basi---jangan pernah berharap itu akan dilakukan oleh Amerika Serikat, Fuck them!. Di lain pihak, satu hal yang perlu selalu diingat, jangan membenci secara membabi buta, itu adalah cara berpikir yang tidak adil. Film ini mengajak kita untuk keluar dari hegemoni cara berfikir mengeneralisir.

Dua tokoh utama dalam film ini berasal dari dua generasi yang sangat jauh berbeda, Ali remaja Palestina dan Alexander veteran Yahudi asal Rusia. Sang Sutradar Leo Khasin sedari awal sekali, mencoba membangun hubungan yang unik antara Ali dan Alexander. Hubungan yang sangat intim namun malu untuk diakui yang berujung kekocakan yang natural. Kekakuan mereka mungkin disebabkan karena history masa lalu—latar belakang-- mereka yang pahit. 

Ali dan keluarganya terusir dari Palestina, beberapa lama hidup di pengungsian Libanon, dan akhirnya memutuskan untuk pindah dan memulai menata hidup di Berlin. Dari sini, bisa dimaklumi kenapa ayah Ali sangat anti terhadap Yahudi. Mereka tinggal di Apartemen dimana Alexander juga tinggal selama berpuluh-puluh tahun tepat di atas apartemen mereka. Alexander hidup sendiri, sesekali dirawat oleh perawat, dan secara berkala dikunjungi oleh petugas sosial untuk memastikan apaka Alexander masih mampu hidup sendiri atau sudah saatnya diangkut ke dinas sosial.
Konflik bermula saat Ali ikut bergabung dengan geng sepupunya. Mereka melakukan aksi terencana, masuk ke apartemen Alexander, mengobrak-abrik seisi ruangan, dan melakukan vandalisme rasis yang serius. Akibat kelakuannya itu, Ali sekeluarga terancam di deportase. Ibu Ali yang sedang hamil tua, menghukum Ali dengan memerintahkan Ali memperbaiki kekacauan dan kerusakan di rumah orang tua yang sudah sepuh itu. Ali diharuskan membantu Alexander mengecat dinding, menyusun rak-rak yang rusak, dan membuat dinas sosial setempat yakin bahwa alexander masih mampu hidup sendiri dengar rumah yang tertata rapi. Ibu Ali menyembunyikan perihal itu dari Suaminya yang sangat membenci Yahudi.

Dalam masa Ali mengunjungi Alexander secara sembunyi-sembunyi dan membantu Alexander membenahi apartemennya yang hancur, hubungan emosional mereka perlahan terbangun. Mereka menjadi sahabat yang kocak. Perdebatan tentang islam vs yahudi tidak pernah bisa berujung. Namun di luar itu semua, mereka menyadari bahwa islam dan yahudi yang mereka rasakan saat itu, berbeda dengan apa yang mereka dengar di luar sana. Alexander diam-diam mendatangi kantor polisi dan mencabut laporannya. Namun laporan sudah sampai ke meja hijau dan tidak bisa dicabut lagi. Alexander terserang struk saat memberikan kesaksian dan memaksa hakim menghentikan tuntutannya kepada Ali dan akhirnya meninggal.

Film ini dibuka dengan lantunan ayat suci Alqur’an Alfatihah, dan ditutup dengan Kaddisch Fur Einen Freund. Kaddisch Fur Einen Freund adalah nyanyian (doa-doa) bagi seorang yahudi yang akan dikuburkan. Ali menyanyikan lagu itu untuk sahabatnya Alexander. Sahabat yang megajarnya banyak hal, sahabat yang mengajarkannya berpikir adil sejak dalam pikiran.

--------------
Dari dua film yang saya tonton hari itu, saya mengambil satu asumsi bahwa film Jerman memiliki selera humor yang manis dan spontan dibanding dengan film Eropa lainnya. Kau tidak perlu menyediakan kesabaran saat menyaksikannya, seperti kau harus melakukannya saat menonton film Prancis. Tidak usah khawatir kebosanan akan menyergapmu di tengah-tengah atau bahkan mungkin dari awal, tetapi harus menunggu sampai ending dan kemudian bernapas lega lalu berujar, wauuu filmnya bagus. Di film ini, spontanitas, selera humor yang pas, dan pesan yang tersampaikan dengan jernih, membuat saya rela menyimpan sobekan karcis saya dan menyerahkannya ke panitia. Film ini layak mendapat apresiasi.

Semoga tahun depan bisa bertemu dengan film-film Jerman yang lebih baik lagi. Semoga perfilman indonesia bisa belajar dari yang lebih baik, dan bisa move on dari genre hantu jadi-jadian, beralih ke film yang lebih cerdas dan edukatif. Semoga Indonesia bisa membuat event yang setidaknya sama seperti Festival Film German ini atau festival Film Prancis, yang selalu disosialisasikan secara luas dan GRATIS, gratis seperti udara.

 Danke Goethe