Minggu, 12 Januari 2014

Surat untuk Purnama #6


Sudah lama kita tidak saling menyapa. Mungkin menurutmu ini hanyalah alibi yang sengaja saya buat untuk menutupi kemalasanku, tidak apa, tapi saya memang seperti baru saja mengalami koma, detik-detik kehidupanku serasa berhenti. Atau, mungkin saja saya sedang membuat spasi kehidupan. Entahlah...

Menyaksikan penderitaan om saya melawan sakitnya selama hampir dua minggu, sebelum akhirnya menyerah dan menghembuskan nafas terakhirnya berlahan dan senyap, resmi menjadi kado awal tahun yang suram dan hikmat di tahun 2014 ini (060120141930). Hidup sungguh adalah sebuah misteri. Kematian adalah teman setia yang selalu mengintai kapan saja.

Untuk pertama kalinya saya menyaksikan seseorang yang mengalami sakratul maut. Sebelumnya, bayangan saya tentang sakratul maut itu sangatlah menakutkan dan mistis. Akan tetapi, ternyata tidak menakutkan sama sekali, yang ada saya melihat kebesaran Tuhan di sana. Saya sepakat dengan frase “sering-seringlah melayat  dan menjenguk orang sakit”, karena dengan begitu engkau akan menyadari betapa kecil dirimu dan betapa Maha Besar Tuhanmu. Kematian datang dengan dua cara, mendadak atau dengan berlahan, sangat berlahan, butuh waktu bertahun-tahun, seperti yang dialami oleh om saya.

Saya masih ingat sekali. Di sore hari yang gerimis, sehabis shalat Ashar, saya ingin sekali menjenguk om saya yang dirawat di rumah nenek. Sesampai disana, istrinya sedang membacakan surah Yasin di sampingnya, sementara om saya hanya terdiam baring menatap nanar ke depan. Pandangan matanya kosong, saya mencoba mengajaknya bicara, tak ada respon dan tak ada lagi bayangan saya di bola matanya. Bergantian kami mencoba membangunkannya, dia tetap saja bergeming. Lalu kemudian ada sekat di ubun-ubunnya yang kemudian melembek. Satu persatu denyut nadinya menghilang. Dan kemudian jantungnya berhenti berdetak. Matanya semakin meredup. Dan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya lembut dan pelan. Dia mengalami sakratul maut selama tiga jaman, tetapi penyakit itu menyiksanya hampir dua tahun. Kini dia telah menghadap ke Sang Khalik. Semoga penyakit yang dia derita sebelum meninggal menjadi penghapus dosa-dosanya, semoga Tuhan memberikan tempat terbaik untuknya. Dan untuk ketiga anak yatim itu, semoga kami semua bisa bertanggung jawab dan ikut membesarkan mereka sampai kelak mereka mandiri dan menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat bagi sesamanya.

Siklus hidup ini memang seperti lingkaran. Kita terlahir dalam kondisi yang sangat lemah dengan indra yang belumlah berfungsi sama sekali. Demikian juga ketika memasuki masa uzur. Satu persatu fungsi indra kita menghilang. Saat menghadapi sakratul maut, kondisi fisik manusia persis seperti bayi yang baru dilahirkan. Ubun-ubun yang lembek, bola mata hitam yang tidak memantulkan bayangan, dan air mata yang menetes di sudut mata. Tuhan sungguh luar biasa memberikan tanda itu.

Purnama
Apakah kau masih di sana?........

Minggu 12 Januari 2014

Mafia Dangdut #1


Saya punya cerita, lucu sih, tapi saya tidak yakin ceritanya akan menjadi lucu jika saya yang menceritakannya. Berdasarkan pengalaman, setiap kali saya berusaha bercerita lucu, selalu berakhir dengan ekspresi alis yang merengut disertai tatapan yang aneh oleh pendengar saya, di barengi dengan kata “apa sih, garing!”. Tapi tak ada kata menyerah dalam kamus saya. Jadi terima saja cerita garing ini. ciaaat.

Ini tentang tentangga saya, yang saya sebut MAFIA DANGDUT. Sebetulnya istilah mafia dangdut ini berasal dari Wawan, karena terlalu sering saya ceritakan tentang tetangga saya yang berisik dengan musik dandutnya yang membahana, akhirnya dia merekomendasikan tetangga saya itu di sebut saja sebagai Mafia Dandut.

Selama tiga tahun tinggal di gang itu, sudah tidak terhitung lagi berapa kali pesta dangdut nan asoi di gelar, tepat di samping kos saya. Sejak si rizki keturunan ke tiga dalam keluarga itu baru lahir, sampai kemarin saat Rizky berulang tahun ke tiga, pesta dandut selalui merajai jagad raya gang kramat sawah III Paseban dan tak tertandingi sama sekali.

Bukan hanya di hari ulang tahun Rizki, di malam tahun baru, atau di malam-malam yang random lainnya, pesta dangdut kerap kali mengalun sepanjang malam di gang kami itu. Tidak ada masalah sama sekali dengan kebiasaan itu, dan tidak ada yang salah, meskipun terkadang bising dan mengganggu. Cuma menjadi istimewa, karena mereka (keluarga itu) menikmati pesta dangdut itu dengan penuh suka cita, mereka tahu cara bersenang-senang.

Di malam yang hanya keluarga itu dan Tuhan yang tahu pesta dangdut akan di gelar, satu set salon dan organ tunggal sudah mejeng di depan rumah, satu persatu keluarga mereka datang, kebanyakan ibu-ibu, dan pesta joged dangdutpun di mulai. Mereka joged, tidak berhenti, joged sepanjang malam, asoiiii men, tarik mangg, sampai lemas. Jika tidak ada organ tunggal, alat karaokepun jadi.

Saya menduga, yang menjadi God of Mother dari Mafia Dangdut itu adalah si nenek yang punya tahi lalat di atas bibirnya dengan potongan rambut hampir cepak. Perawakannya memang tak ubahnya seperti bos besar, bos mafia dangdut maksudnya. Yang menjadi koordinator perlengkapan adalah cucu menantunya yang laki-laki (bapaknya Rizky), Rizky adalah adalah keturunan ketiga alias cicit. Sementara yang bertindak sebagai penyanyi adalah cucunya yang masih belia kira-kira masih sekolah di SMP, jika tidak menyewa penyanyi dangdut khusus. Dan yang menjadi anggota perjogedan adalah anak-anak dan kemenakan dari God of Mother yang kebanyakan adalah ibu-ibu. Rizky yang masih berumur tiga tahun pun sering begadang menemani nenek dan buyutnya joged sampai larut.

Semalam terakhir kali mereka menggelar pesta dangdut (lagi). Siangnya risky ulang tahun yang ketiga dan pesta dangdut sudah menggelegar kemana-mana. Dilanjutkan pada malam hari sampai jam 2 malam. Jaringan mafia dangdut ini semakin meluas dan besar. Tidak hanya ibu-ibu, bapak-bapak juga sudah mulai turun tangan eh kaki. Lampu disko yang berkelap kelip bikin pusing melengkapi meriahnya pesta semalam. Asap rokok membumbung ke udara, bapak-bapak dan ibu-ibu saling berhadapan menikmati alunan musik dangdut yang ajib. List yang entah berapa kali diulang adalah “oplosan, goyang Caesar, tukitakituk, dan bang jali”. Goyang oplosan yang vulgar itu tak terhitung berapa kali di ulang, mereka berbaris sepanjang gang dan bergoyang oplosan sambil teriak-teriak dan tertawa. Mereka menikmati betul pesta itu.

Saya menikmati menonton ritual mereka itu dari balkon. Mereka bahagia, tidak peduli apa kata orang, atau apa yang sedang terjadi diluar sana, selama mereka masih bisa berdangdut ria. Dangdut sangat melekat dengan masyarakat kita, terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sejujurnya jempol saya sudah mulai ikut bergoyang,  jika saja saya diundang untuk ikutan joged, uhhh seandainya. 

12 Januari 2014
Banjir mulai menyerbu Jakarta
Merintih Perih "Sore"