Selasa, 29 Oktober 2013

Growing with You, Mickys

Jika di kampung, Mickys sangat jarang terlihat, berbeda halnya di rumah ini, Mickys meraja lela dimana-mana. Jika di kampung Mickys akan diuber semalaman suntuk karena berani-beraninya menampakkan batang hidungnya di rumah, di sini Mickys bebas lenggak lenggok di kamar mandi, di dapur, di tali jemuran pakaian, di terali jendela, di atas flapon, di laci meja, mengerat makanan, plastik-plastik, tripleks, celana dalam, sesukanya dia. Jika di kampung, hidup Mickys akan berakhir dengan ciaaaat bug bug $$///&&&!!!!anddead, di sini kami tak berkutik menghadapinya.

Kami diserang sekawanan, bukan sekawanan, tapi sekoloni Mickys, mulai dari buyut kakek nenek ibu bapak cucu cucu cicit cicit cit cit cit cit, kami tak berdaya, lontoooooong, eh toloooooooooong. Tak ada satupun di antara kami yang berani memegang tikus dan membuangnya, itu alasan kami untuk tidak membasmi mereka dengan racun atau perangkap atau lem. pernah sekali kami bersepakat untuk tidak menggubris mereka, bahkan tidak membicarakan mereka, kalau terpaksa, kami harus berbisik jika menyebut namanya. Konon si Mickys ini akan bertambah ganas jika ada yang menggosipinya, bahkan akan memanggil teman-temannya dengan jumlah yang jauh lebih banyak, ihhhhh ngeri. Sayang, trik kami untuk tidak menggosipi dan memakinya, sia-sia! Jumlah mereka semakin banyak, dan semakin mengganas.

Jika kami semua telah masuk kamar, mereka berpesta pora di luar, menghabisi semua makanan, jika makanan habis, papan-papan, plastik, dan triplekspun di kerat. Jangan coba-coba bangun di tengah malam dan langsung ke luar kamar dengan iler yang menempel di pipi, khawatir mereka akan mengkerubuti wajahmu, tidak lucukan, mukamu tersisa setengah karena dimakan tikus, dan diberitakan di media.

Mungkin got-got di luar sana tidak mampu lagi menampungnya, sehingga mereka mengungsi ke kosan kami. Sebenarnya saya malu menceritakan ini, ketahuan kosan saya jorok. huaaaaaa. Tapi hampir tiap hari kok kosan kami dibersihkan sama ibu kos, mungkin karena yang menghuni rumah tersebut manis-manis, makanya  si Mickys doyan. 

Lagi pula, hidup bersama mereka, menandakan bahwa saya masih seperti dulu, setia dengan hidup "memprihatinkan", ini penting, untuk menjagaku dari rasa pongah. 

Yahhh, i'm "happy" to be with you, Mickys! hiks hiks

Minggu, 27 Oktober 2013

Surat untuk Purnama #3


Purnama

Kenapa suratku belum juga kau balas. apa kau marah atas sikap reaksionerku? aku meminta maaf. aku tidak bermaksud mengerdilkanmu atau semacamnya. aku hanya masih agak bingung dengan surat tiba-tiba itu. sekali lagi, aku meminta maaf.

semoga kamu sehat selalu Purnama, diusiamu yang menghampiri 60. semoga penyakit nyeri tulang yang sedari kecil selalu menyerangmu tidak semakin parah. perbanyaklah minum susu kalsium. oh iya, apa kamu masih senang olahraga lari? mungkin sudah kau turunkan levelnya menjadi jalan cepat saja, tidak apa-apa, itupun sudah cukup. apa kamu mengkonsumsi anti aging? apa rambutmu sudah berwarna putih semua? oh Tuhan, aku sungguh penasaran bagaimana rupamu saat ini. kau tahu, entah kenapa, aku merindukanmu. kamu pasti jauh lebih bijaksana sekarang, aku masih sangat impulsif saat ini, keras kepala, dan terlalu keras pada diri sendiri.

Kemarin aku menghadiri acara anniversary kantorku. acaranya berantakan, tidak ada yang menarik selain door prize dan lomba goyang Cesar para cleaning service dan honorer. sebagian besar acaranya sangat simbolik, dimulai dengan penanaman pohon oleh Menteri, senam yang telat dan terburu-buru karena menunggu para pejabat sarapan atau entah apa, sambutan-sambutan, dan pelepasan merpati oleh para pejabat-pejabat. Sound systemnya kacau. Panggungnya mengarah ke tenda yang dikhususkan untuk pak menteri dan jajarannya. Kami yang ditugaskan  untuk datang,  hanya jadi penggembira. Perayaan itu sebenarnya bukan untuk instansi kami dan mesin-mesin di bawahnya, melainkan hanya untuk menyenangkan sang Tuan kita. Budaya kita sepertinya masih sangat susah untuk lepas dari yang namanya mendewakan atasan. Apakah kehidupan setara suatu saat benar-benar akan ada? aku mengeluh lagi, kuharap kau mengerti, presiden kita saja tak hentinya mengeluh tentang kehidupan pribadi dan partainya, seolah dialah yang paling menderita di negeri Indonesia ini. hahaha.

Saat ini aku membaca buku Catatan Seorang Demonstran, telat yahh, setelah tak menjadi mahasiswa, aku baru membacanya. Tak apalah, aku memerlukan buku-buku “galau” seperti itu, untuk menjagaku dari rasa mapan. Di buku itu, Gie menulis catatan harian sejak umur 15 tahun. diusia remajanya itu, Gie lebih banyak menulis tentang nilai-nilai pelajarannya di sekolah, teman-temannya, dan gurunya yang tak segan-segan dia katai  bodoh, atau teman-teman ceweknya yang dia sebut manis tapi bodoh. Sejak kecil, gie sudah mempunyai konsep hidup yang orang tuapun belum tentu memikirkannya. Sejak kecil dia sudah mengakui kalau dia tidak percaya agama, dia tidak percaya pada institusi pernikahan, sejak remaja ketertarikannya pada sastra memudar (bukan karena tidak menarik, tapi karena sudah dia khatami) dan kemudian level minatnya meningkat pada pelajaran filsafat. Aku baru membacanya di seperempat awal, anak muda itu memang tidak biasa.

Kau ingat masa-masa tahun 2000-an, sewaktu film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) sangat booming? Satu-satunya film indonesia yang tak bosan-bosan aku tonton adalah film itu. Adegan yang paling aku sukai adalah sewaktu Cinta di interogasi oleh teman-temannya di lapangan basket sekolah, apakah dia jatuh cinta pada rangga atau tidak, disertai tangis yang meledak Cinta mengakuinya, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Menurutku adegan itu sweet sekali, actingnya natural, dan selalu membuat jiwa mudaku terpanggil kembali. Aku bisa mengulang adegan itu berkali-kali. hahaha. Sosok rangga dalam film itu, diidentikkan dengan Gie (menurut pengakuan sutradarnya Mira Lesmana dan Riri Riza), sosok pendiam, penyendiri, cerdas, suka sastra, atau jika dirangkum dalam satu kata, disebut cool. Disitulah letak kehebatan sebuah film Purnama, dia mampu mempengaruhi kepala remaja-remaja indonesia dalam waktu sepersekian detik. Anak-anak SMA waktu itu tanpa berpikir dua kali, menjadikan rangga sebagai defenisi cool, yang tadinya tak punya ketertarikan pada sastra, tiba-tiba menjadi suka sastra, yang tadinya cerewet tiba-tiba jadi kalem. Cewek-cewek tak mau kalah, berpenampilan persis seperti Cinta dan kawan-kawannya, dan geng-gengpun menjamur dimana-mana. Terlepas dari efek menimbulkan kepribadian palsu bagi remaja waktu itu, AADC menjadi tonggak bangkitnya perfilman indonesia, sebelum kembali berkubang dalam kenistaan gendre hantu jadi-jadian, pocong, dan sejenisnya. terus salah guwe, salah temen-temen guwe?

Oh ya hari ini, 28 Oktober 2013, semua orang memperingatinya sebagai hari Soempah Pemoeda. Jalanan ke kantor macet, entah sableng atau apa, ada sekelompok orang upacara di tengah jalan. sebuah acara musik di TV mempertontontankan lomba membaca Soempah Pemoeda dengan kostum macam-macam. Cuma sejauh itu, sebagian besar dari kita memaknai hari soempah pemoeda, sangat ceremonial, tidak lebih. sementara sekelompok pemuda yang turun ke jalan menuntut keadilan kemudian dikatai goblok. perkara benar dan salah sudah tidak jelas lagi batasnya dimana.

Purnama, aku telah bercerita banyak, kuharap kamu akan menepati janjimu, akan menjadi teman berbagiku.

Regards
Purnama
28 Oktober 2013


Selasa, 22 Oktober 2013

Surat untuk Purnama #2

Purnama

Aku baru saja membaca suratmu (yang sok tahu itu). Kau tau, aku tak bisa menunggu sampai malam untuk membalasnya. Kamu senang sekarang? Aku seperti ditodong dengan sekontainer tuduhan dan nasehat dari orang yang belum aku kenal dan tak kuketahui bentuknya seperti apa. sekontainer, kamu duluan yang menyebutkan box besi itu sebagai ukuran banyak, besaran, atau volume. Asal kamu tahu, akupun memiliki kemampuan mendramatisir yang mumpuni.

Jika menurutmu tidak sopan menyapamu dengan kata ganti kamu, mengingat umurmu 33 tahun diatasku (menurut pengakuanmu), aku tidak keberatan memanggilmu nek atau ibu? Kamu keberatan? Bisa kutebak, kamu pasti ibu-ibu berusia 60 tahun yang mengaku berjiwa muda dan tidak rela dipanggil ibu olehku. baiklah, anggap saja kita setara, jika kamu merasa berhak menasehatiku, aku akan berusaha memercayai bahwa kamu memang lebih bijak dengan ilmu dan pengalaman yang lebih banyak.

Menyebalkan, itu kesan pertama  yang kutangkap dari dirimu melalui surat itu, tapi jujur, aku terharu. aku tak bisa mengingat, kapan terakhir menerima surat dari seseorang. Surat-surat yang aku terima di email, tidak cukup untuk dikatakan surat, hanya berisi surat menyurat perihal pekerjaan, selebihnya berisi spam. suratmu, seperti angin segar di musim panas, namun membuatku masuk angin, menusuk sampai ke tulang-tulang. 

Aku tak bisa menerima, kamu menganggap aku kesepian dan diselimuti kebosanan. Di luar sana sangat bingar, bagaimana bisa kamu menyebutku kesepian? begitu banyak hal yang bisa dilakukan, jika aku diselimuti kebosanan, pantaslah jika kau sebut aku dungu. 

Purnama, banyak hal yang bisa membuat orang merasa kesepian dan tak berguna. Menyaksikan satu kampung penduduk makan nasi basi yang sudah dikeringkan sementara pemimpinnya bermandikan harta dan tahta, mendengar salah seorang keluargaku terbaring lemah kesakitan di rumah mertuanya dan tidak punya biaya berobat ke rumah sakit, melemparku jauh ke dalam satu sudut ruangan yang sangat asing dan sepi, perasaan sedih dan marah menyeruak menembus pori-poriku, dan yang lebih menyakitkan, kusadari aku tak berbuat apa-apa. yah aku memang kesepian.
Kamu pun pasti memahami, terkadang, kebenaran itu menyakitkan dan sulit untuk diterima.

Bagaimana mungkin saya melupakan cerita itu. Aku mendengar cerpen itu untuk pertama kalinya dari dia, baru kemudian membeli bukunya. cerita itu sudah kubaca beberapa kali. setelah membaca suratmu, aku membacanya sekali lagi. Kesoktahuanmu bahwa aku pemalas, tidak sepenuhnya benar. tapi, terimakasih sudah mengingatkan.

oh ya, saat ini usiamu 60 tahun? jika kita memang orang yang sama, aku sungguh penasaran, bagaimana rupamu saat ini. maukah kamu menggambarkannya disuratmu yang berikutnya? katamu kau tak punya daya untuk menjawabnya, tapi bisakah kau mengimajinasikannya untukku? aku bahkan tidak punya keberanian membayangkannya.

Tawaranmu untuk menjadi teman berimajinasi dan berbagi kuterima dengan penuh suka cita. Sikap reaksionerku di awal-awal kuharap tidak membuatmu tersinggung. Kamu tentu jauh lebih paham. jika kita memang orang yang sama, tentu kamu pernah melalui ruang dan waktuku saat ini. iya kan?



Regards,
Purnama
22 Oktober 2013

Minggu, 20 Oktober 2013

Surat untuk Purnama #1


Dear Purnama

Hai, bagaimana kabarmu? semoga kebaikan selalu menyertaimu. Apa yang membuatmu gelisah? Berhentilah mengkhawatirkan apa yang akan terjadi esok. Jika kamu masih saja keras kepala dan terus melakukannya, kupastikan kerutan di bawah mata dan di sudut bibirmu akan semakin bertambah. Kumohon berhentilah. kamu bisa gila jika terus memikirkan apa saja yang tidak berjalan sesuai dengan keinginanmu. Belajarlah untuk rileks. Bukankah dunia ini hanya senda gurau, itu kata Tuhan loh, bukan banyolan kosong dariku. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan selama kamu teguh berpegang pada kebenaran dan berusaha menjadi hamba Allah SWT yang sebaik-baiknya. Salah satu kegelisahan yang selalu aku sepakati darimu adalah kegelisahanmu akan ketidakadilan diluar sana, itu menandakan bahwa kamu masih waras. untuk yang satu itu aku harus belajar darimu. saat ini aku mulai kehilangan getarannya.

haha kamu mungkin sudah muntah, tanpa ba bi bu, aku menggempurmu dengan deretan nasihat-nasihat, mungkin picisan menurutmu, tapi percayalah aku tidak membual. aku lebih tua 33 tahun darimu. bagaimanapun, garam dan asam yang telah aku kecap jauh lebih banyak darimu, aku sudah seluas danau, kamu baru seluas kolam ikan dirumah ibu ayah di kampung.

Oh yah, kamu tentu kaget dengan surat  misterius ini. Di akhir surat, akan kuberi tahu siapa diriku, tapi jika kamu menanyakan aku tinggal dimana, apakah aku masih hidup, apakah badanku membungkuk karena penyakit osteoporosis, atau hal-hal yang bersifat real, maafkanlah, aku tak punya daya untuk menjawabnya. Tapi aku berjanji, akan menjadi teman yang bisa diajak berimajinasi, siap memberikan sekontainer nasihat, atau menjadi gudang sampahmu, whatever you want!


Rabu, 02 Oktober 2013

TAOK


Kami ingin Anda memutarnya, membicarakannya, menyebarkannya kepada teman-teman di seluruh pelosok Nusantara. Kami bekerjasama selama tujuh tahun untuk membuka sebuah ruang agar masalah ini bisa dibicarakan tanpa rasa takut, dengan harapan bahwa hal ini dapat membantu Anda semua memperjuangkan kebenaran, rekonsiliasi, dan keadilan--Joshua Oppenheimer.

Saya kira, Ini merupakan hadiah paling berharga bagi bangsa ini,  dan mungkin akan mengguncang Indonesia, tepat sehari setelah sebagian orang--yang terus menutup mata terhadap kebenaran sejarah-- memperingati hari yang mereka sebut hari Penghianatan G 30 S/PKI. Ironisnya, hadiah ini didedikasikan oleh seorang sutradara asal Amerika, Joshua Oppenheimer,  yang menghabiskan waktunya selama tujuh tahun (2005-2012) di Medan Sumatera Utara untuk sebuah film dokumenter berjudul The Act of Killing/ Jagal.

Setahun sebelumnya, majalah Tempo menerbitkan Edisi khusus berisi pengakuan para algojo-algojo peristiwa 1965 yang merupakan pengembangan dari The Act of Killing. Sayangnya, tidak banyak orang yang bisa mengaksesnya, seperti ditelan bumi, majalah edisi oktober 2012 tersebut tetiba menghilang dari peredaran dunia real. Mungkin masih ada pihak yang belum rela membuka fakta sebenarnya, terkait apa sebenarnya yang terjadi di tahun-tahun paling berdarah di negeri ini, saat-saat dimana setengah juta orang dibunuh dan dihilangkan secara kejam. Tapi waktu berlahan akan mengungkap segalanya, arwah orang-orang tak bersalah itu akan terus bergentayangan menghantui dan menjadi mimpi buruk bagi para pembantainya, bagi para penguasa yang ditutup mata batinnya akan kebenaran sejarah. 

Jagal sejak setahun lalu telah menuai banyak penghargaan di dunia internasional, sementara di Indonesia sendiri, tempat dimana persitiwa tersebut terjadi, tidak mudah untuk diakses, jika tidak dikatakan terlarang. Ada beberapa lembaga yang berani memutar dan mendiskusikannya, tetapi tidak banyak dan tertutup, takut diserang kelompok-kelompok tertentu. Sejak pertama kali di putar pada Toronto International Film Festival 2012, sampai saat ini The Act of Killing telah memenangkan banyak penghargaan internasional, antara lain Panorama Audience Award dan Prize of the Ecumenical Jury dari Berlin International Film Festival 2013, Robert Award dari Film Academy of Denmark, Bodil Awards dari Asosiasi Kritikus Film Nasional Denmark, Penghargaan Aung San Suu Kyi pada Festival Film Internasional Hak Azasi dan Martabat Manusia 2013 Yangon Myanmar, Grand Prize pada Biogra film Festival 2013 di Bologna Italia, penghargaan Golden Chair dari Grimstad Short and Documentary Film Festival 2013 di Norwegia, dan Basil Wright Prize dari Royal Anthropological Institute Film Festival 2013 di Edinburgh Skotlandia. Bahkan, Situs agregator ulasan Rotten Tomatoes memberikan penilaian positif 97% dengan nilai rata-rata 8.8/10 berdasarkan 104 ulasan. Konsensusnya adalah, "Keras, mengerikan, dan sangat sulit untuk ditonton. The Act of Killing adalah bukti menakutkan dari kekuatan film dokumenter yang mendidik dan frontal.