Rabu, 16 Januari 2013

Pesona Reza Rahardian Menyelamatkan Habibie Ainun


Sutradara Faozan Rizal harus berterimakasih kepada Reza Rahardian. Karena rezalah yang menjadi roh dari keseluruhan film yang digarapnya “Ainun Habibie”. Reza telah menyelamatkan film ini dengan actingnya yang begitu cemerlang.  
Tidak mudah untuk menggarap film yang diangkat dari buku best seller. Film tersebut tentu selalu akan disandingkan dengan bukunya, dan sangat jarang yang mampu menyamai apalagi melampaui kepuasan pembaca terhadap bukunya. Sebut saja Perahu Kertas. Buku itu telah gagal diterjemahkan menjadi sebuah film yang sukses seperti bukunya. Meskipun animo penonton lumayan tinggi, tapi bagi pecinta tulisan Dee pasti akan kecewa dengan film yang dipecah menjadi dua bagian tersebut. Bagaimana bisa buku sebagus Perahu Kertas menjadi begitu membosankan di layar kaca.
Saya ngotot nonton “Habibie Ainun” sampai dua kali tidak lain karena saya hanya penasaran dan terpesona terhadap acting Reza Rahardian. Selebihnya saya keluar dari bioskop dengan list protes dan kritikan atas kejanggalan dan ketidakpuasan saya terhadap film tersebut.

Senin, 07 Januari 2013

Pray For Sulsel

Tunggulah, Jika pohon terakhir telah ditebang, jika ikan terakhir telah ditangkap, jika sungai terakhir telah tercemar. Maka manusia akan sadar bahwa manusia tidak dapat memakan uang (Pepatah Indian Kuno). 

Bancana banjir dan longsor yang terjadi di Makassar semoga menjadi pelajaran dan cambuk bagi kita semua. Bahwa sudah cukuplah keserakahan ini. Pemerintah harus menghentikan pengembangan dan dukungan terhadap proyek dan mega proyek ambisius APAPUN yang tidak memerhatikan keselamatan lingkungan. Masyarakat harus sadar, bahwa kita harus mencintai alam ini, maka jagalah. 


Minggu, 06 Januari 2013

Pengakuan Dosa



Film belum juga dimulai, ponsel saya terus berdering. Saya mengabaikannya, karena jika diangkat, kedok saya akan terbongkar. Tempat itu seperti pasar, yang isinya hampir berjenis kelamin perempuan semua, kalau tidak ada pria yang saya jebak untuk ikut melakukan konspirasi ini.

Ponsel saya terus saja berdering. Mau tidak mau saya harus mengangkatnya jika tidak ingin kena damprat disertai semburan busa-busa air liur dan bau busuk sebusuk bau jempol kaki si penelpon. Saya langsung memutar otak, alasan apa yang bisa digunakan agar terhindar dari serangan busa-busa air liur dan bau busuk jempol kaki mengerikan itu. Tapi karena saya adalah manusia terjujur yang pernah saya kenal seumur hidup saya, saya tidak mampu melahirkan satupun ide untuk berbohong. Untung  pria baik, imut, dan lucu yang saya ajak untuk melakukan konspirasi ini  punya segudang ide brilliant. Akhirnya lahirlah alasan bahwa saya masih dijalan, tadi ada urusan sama seorang teman di bone makanya telat sampai ke makassar. Saya tidak berani mengangkat telpon itu didalam gedung teater karena suara filmnya pasti kedengaran. Tapi saya juga tidak bisa keluar dari dalam gedung teater karena suara ”pintu teater 1 telah dibuka, bla bla bla..”. ahgggrrrrr, itulah kenapa saya malas berbohong, karena saya harus terus membuat kebohongan baru untuk menutupi kebohongan lama saya (percayakan kalau saya memang sejujur jujurnya manusia? Heu heuu).